PESTA demokrasi—Pilkada 2024, tak hanya meninggalkan menang dan kalah di antara para calon pemimpin di Bali, atau tepuk jidat itu bagi para pendukungnya yang kalah, atau hore untuk yang menang, tetapi juga kematian bagi salah satu petugas di TPS yang kelelahan, atau memang sudah takdirnya itu. Atau…
Beberapa orang telah tumbang lelah, gugur kandungan seorang perempuan, dan tak terduga—kematian menimpa seorang yang lain, bernama Muhammad Arif (atau Arifin)—seorang satlinmas dengan umur 64 (pada tulisan sebelumnya disebut 74) dari Kampung Bugis itu, terbujur lemas di rumahnya sehari setelah berjibakku di TPS 04 tempatnya bertugas, di Kelurahan Kampung Bugis pada Kamis, 28 November 2024.
Pagi. Tak ada nafas dan degup jantung berdetak lagi pada lelaki paruh baya itu di rumah. Diduga karena kelelahan bertugas, kulitnya yang berserat dan liat oleh usia—menjadikan ia pucat pasi. Dingin. Barangkali menghitung suara dan mempersiapkan tempat, benar-benar kerja sesungguhnya dari pesta demokrasi—yang tak party.
M. Arif saat bertugas di TPS 04 Kampung Bugis, Singaraja, sehari sebelum ia meninggal | Foto: tatkala.co/Son
Saya, pewarta dari tatkala.co, barangkali orang paling kaget mendengar berita meninggalnya M Arif, petugas linmas itu. Padahal, sehari sebelumnya, pada hari pencoblosan di hari Rabu itu, kami sempat asik mengobrol banyak hal (baca: Cerita Pilkada dari Sebuah TPS di Kampung Bugis: Ibu yang Terburu dan Dua Hansip Tanpa Bintang . Santap goreng pisang dan bersulang kopi itu di warung Bu Sumiyati (53) sekitar jam 9, kami saling tersenyum sambil bercerita. Bersantai. Tak ada yang menyangka, malaikat maut ternyata telah mengintai lelaki itu di atap-atap rumah. Atau bersembunyi mereka di tubuh seekor burung dara, barangkali di sebuah gang. Tak ada yang tahu. Kematian memang misteri.
Saya mendengar dari seorang teman sesama pewarta, lelaki itu disemayamkan di pemakaman Kayu Buntil, Kamis sore. Dan saya bergegas ke pemakaman Kayu buntil, Singaraja. Hujan masih turun. Lebat. Tak ada kilat dan bunyi guntur sore itu. Sepulang dari Lacosta, sebuah raya tancap gass ke sana membelah hujan.
Jendral tanpa bintang itu dikubur di bawah pohon jepun yang rindang bunganya. Lelaki itu sudah di pangkuan ibu bumi. Maaf, saya terlambat datang, Jendral. Terlihat sanak keluarganya sedang menaburkan bunga dan air di dalam botol. Suci. Doa dihaturkan dengan baik. Di kejauhan, saya melihat dari kejauhan.
O, satu pejuang telah gugur dan bintang itu jatuh di Kayu Buntil. Lalaki itu mendapat bintang, dari langit, bersemayam bersama di pekuburan. Bunga terjatuh dari pohonnya. Hujan reda dan tanah menjadi basah. Tuhan memberkati lelaki tua itu.
M Arif, Harsono dan saya (pewarta tatkala.co) berfoto bersama di hari pencoblosan | Foto: tatkala.co
Sebagai seorang hansip alias satlinmas, mendiang M. Arif bertugas menjaga keamanan, kenyamanan, juga angkat kursi, juga pungut sampah saat acara pemungutan suara sudah selesai dua hari yang lalu. Beres-beres. Ia bersama temannya—Harsono (74), setia menemaninya membersihkan tempat bersama panitia yang lain. Tugas bisa menghampirinya kapan saja. Begitulah dunia hansip, kira-kira. Jasanya besar. Upahnya?
Lelaki Itu Berpulang dengan Hormat, Walaupun Tanpa Bintang
Tak ada upah yang layak bagi seorang hansip berkulit serat umur dan pengabdian itu sejak puluhan tahun mengabdi—penuh ikhlas apalagi. Selain tanda bintang jasa kehormatan, apa yang lebih layak? Tetapi mana mungkin bagi seorang hansip akan memiliki itu.
Kecuali lencana keridoan—lisan dengan sematan kata, “Pahlawan Demokrasi”—lalu santunan diberikan secukupnya dan evaluasi kerja digelar seperti biasa untuk pesta demokrasi berikutnya.
“Sepertinya kelelahan. Almarhum sempat meminta membeli obat maag, karena almarhum punya sakit asam lambung. Kami sudah memberikan santunan kepada korban serta keluarganya. Selain itu, kami akan mengevaluasi mekanisme kerja agar kejadian serupa tidak terulang,” kata Komang Dudhi, ketua KPU Buleleng di tempat duka.
Sehari sebelum kematian, saya dan Pak Arif, juga teman karibnya Pak Harsono, berbincang cukup lama.
“Mau coba rokok kretek, Pak?” kata saya menawarkan ke Pak Arif sebatang rokok, pada Rabu di hari pencoblosan itu.
“Masih ada, Mas. Terima Kasih,” ucapnya lembut—dengan wajah lelah menunjukkan sepotong rokok sudah padam itu.
“Dia rokokknya Surya, Mas,” sela Harsono, teman karibnya sambil tersenyum.
“Iya. Tapi eceran,” jawab Pak Arif dengan humor. Kami pun tertawa.
Suasana penguburan almarhum M Arif di komplek pemakaman Kayu Buntil, Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Saya (pewarta tatkala.co) berdoa di makam M. Arif | Foto: tatkala.co
Muhammad Arif—lahir di Buleleng pada 31 Desember 1960. Semasa hidupnya selain menjadi seorang anggota satlinmas, ia bekerja sebagai buruh lepas. Dari pungut sampah, hingga gali kuburan—dan lainnya yang ia bisa, atau tetangganya meminta tolong ketika perlu. Lelaki tua itu mengerjakannya dengan penuh mulia.
Ia juga dikenal baik dan ulet, bahkan, selalu bangun pagi, kata Sudarmo (57). Hanya saja kemarin ia tak bangun pagi, ia pergi ke langit ketika merebah badannya terakhir itu lelah. Tugasnya selesai sebagai seorang hansip yang jujur.
Setelah prosesi penguburan selesai, orang-orang kemudian pergi-pulang, dan dari kejauhan saya mendekat, dan berdoa untuk pejuang tanpa bintang itu—membungkuk tubuh seraya, menaruh hormat. Alfatihah.
“Bella Ciao, Bella Ciao, Bella Ciao…” Batin saya bernyanyi sepanjang jalan pulang usai berdoa. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole