SETELAH masa kampanye dan minggu tenang, terbitlah hari pencoblosan. Yang dicoblos kartu suara yang berisi foto calon Bupati dan Wakil Bupati, serta calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali, Rabu, 27 November 2024.
Telah menyimpan cerita pinggiran, atau mereka yang dicoblos telah banyak memberi harapan di setiap pinggiran pelosok Bali, salah satunya di Kampung Bugis, Buleleng.
Masyarakat datang menentukan pilihannya di sana sesuai hati nurani—sehingga datang mereka ke TPS 04 tepat waktu di tengah kesibukkannya masing-masing.
TPS di Kampung Bugis, Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Dijinjingnya harapan oleh Sulistiani misalnya, nyambi gendong anak itu, ia agaknya datang terburu-buru, juga setelah mencoblos itu—keluar membawa tinta di jari klingkingnya juga buru-buru. Tanpa wasweswos lagi, langsung melengos.
“Maaf ya, Mas, saya buru-buru, hehe…,” katanya saat hendak berbincang tapi tak bisa. “Ada kerjaan lain soalnya di rumah,” kata ibu rumah tangga itu.
Seorang ibu setelah mencoblos | Foto: tatkala.co/Son
Sekitar 395 orang menentukkan pilihannya di TPS 04 Kampung Bugis. Di mana gang yang sempit dihimpit rumah dan beberapa burung dara di kandang salah satu rumah, TPS 04 disesakkan parkiran motor dan orang-orang yang mengantre memilih sejak jam 08.00.
Harapan masih dijinjing yang lain. Sekitar lima langkah dari tempat pencoblosan, goreng pisang masih diracik oleh Sumiyati (53). Ia berjualan sejak jam 4 pagi menemani panitia pemilihan itu berjaga di TPS.
“Saya sudah nyoblos tadi jam 9. Sekarang lagi goreng pisang,” katanya sambil goreng pisang.
Di sana, ia menjajakan segala macam makanan ringan. Ada kopi, mie, gorengan tahu dan tempe, dan tadi itu, pisang goreng menu andalan. Nyambi nunggu giliran mencoblos, orang-orang kerap memesannya lebih dulu terutama para panitia sejak kemarin sore setting tempat.
Penjual pisang goreng dekat TPS | Foto: tatkala.co/Son
Mengapa ibu mau nyoblos?
“Harus dong, Mas. Lima tahun sekali, kan?”0 jawabnya mantap.
Sebagai pelaku usaha, Sumiyati penuh harap kelak ada yang membantunya mendonorkan dana untuk usaha kecilnya itu, atau diturunkannya harga sembako agar ia banyak menjual sesuatu dengan bahan baku tak terlalu mahal di pasar.
“Siapapun itu. Semoga ada yang membantu saya haha!”
Burung merpati terbang kemudian di atas atap rumah, barangkal seperti kemungkinan harapnya yang terbang, atau hinggap di genting.
Di sana, udara cukup panas, laut tidak terlalu jauh di Kampung Bugis. Orang-orang banyak menjadi nelayan, pedagang, dan lainnya soal nafkah. Untuk lima tahun, mereka menaruh harapan. Termasuk Sumiyati tadi, sangat berharap.
Dua Sepuh Tanpa Bintang
Dari setting tempat yang nyaman, dan keamanan yang humanis, terdapat dua hero yang sepuh telah berjaga sejak jam 6 pagi. Ia Bernama Harsono (74) dan Muhamad Arif (74). Lelaki tua itu adalah teman sejawat sejak lama. Lahir di Buleleng tetapi berdarah Jember dan Solo.
Sebagai hansip—alias linmas, mereka berduet dengan lapang hati terbuka. Menerima risiko dari keadaan tertentu, sudah dilakoninya sejak 1981, tentu, dari rezim ke rezim. Gejolak sosial sudah tertancap di matanya sebagai peristiwa getir atau menyenangkan.
M. Arif | Foto: tatkala.co/Son
Kulit yang berserat, mata dan wajah lelah tak bisa dihilangkan dari wajah M. Arif. Lelaki tua itu menepi setelah berdiri di pintu masuk beberapa menit menunggu lama, menyapa masyarakat hendak mencoblos dengan riang.
Dekat kendang burung dara, ia duduk di sana, rokok dihisapnya kemudian. “Saya beli eceran, Mas. Rokok Surya, hehe..,” kata M. Arif.
Berbeda dengan Harsono, ia menyandarkan tubuh lelahnya di warung Sumiyati sambil minum kopi, tetapi tidak merokok. Lelaki itu telah berhenti merokok dan banyak minum air putih sekarang. Beberapa pisang goreng diembatnya perlahan.
“Gak hanya menjaga, Mas. Saya juga bantu-bantu angkat meja atau kursi, dan lainnya kalau disuruh,” kata Harsono. “Di sini ada 28 hansip, kebetulan saya berjaga di sini sama Pak Arif ini.”
Harsono adalah kepala regu pengamanan dari Satuan Perlindungan Masyarakat (SATLINMAS) Kelurahan Kampung Bugis. Tak ada bintang di pundaknya, juga lencana kehormatan apalagi, tetapi, apa yang membuat bapak bertahan menjadi seorang Linmas?
“Banyak Mas. Berguna bagi masyarakat, walaupun tidak ada gajihnya,” kata Harsono. “Saya senang kalau masyarakat merasa senang, saya merasa berguna dalam hidup,” lanjutnya.
Harsono | Foto: tatkala.co/Son
Walaupun tak digaji—seperti polisi atau tentara, Harsono dan M. Arif selalu sigap menerima tugas dari atasannya. Tak pernah luput dari absen. Dari hajatan, bersih-bersih kampung, atau lainnya—memerlukan jasanya, ia maju tanpa mundur. Tentu walaupun di samping tanpa pamrih itu, Harsono penuh harap jika kehidupan hansip juga diperhatikan.
Minimal, katanya, berikan kami pekerjaan lain agar ada pemasukkan lain. “Lebih penting lagi, Mas. Para anggota saya dapat kerjaan lain agar mereka layak hidup. Gak apa-apa kalo saya, yang penting mereka ada pemasukan. Ya itu tadi, minimal diberi kerjaan lain—selain sesekali bertugas,” kata Harsono.
Untuk memenuhi kehidupan selain menunggu perintah, Harsono nyambi jadi tukang servis dan M. Arif nyambil angkut sampah. Hormat. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole