DISKUSI terpumpun atau focus group discussion (FGD) pada hari itu berlangsung dengan hangat, serius namun tidak kaku. Forum tersebut membahas berbagai hal terkait tradisi lisan dan ritus sebagai bagian dari kebudayaan Bali.
Diskusi yang dilaksanakan di Ruang Sarasehan, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Centre), pada 12 November 2024 itu mengusung topik “Tradisi Lisan dan Ritus”, dan menghadirkan Prof. Ida Bagus Gde Yudha Triguna M.S. dan Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum. sebagai narasumber, serta dimoderatori oleh Ida Bagus Putra Manik Aryana, S.S., M.Si.
Kegiatan tersebut merupakan salah satu agenda dari 6 sesi diskusi terpumpun, serangkaian perhelatan Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024, Desember mendatang. Kegiatan tersebut dilaksanakan sedari 11 – 18 November 2024 dengan mengangkat berbagai tematik seputar penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali.
Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024 yang kali ini mengambil tema “Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah sebagai Akselerasi Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali” itu, menjadi upaya percepatan yang komprehensif dalam memperkokoh ketahanan seluruh objek pemajuan kebudayaan serta cagar budaya yang ada di Bali.
Diskusi terpumpun “Tradisi Lisan dan Ritus” diikuti oleh 30 peserta yang terdiri dari akademisi, praktisi, budayawan, dan seniman. Setelah kedua narasumber memaparkan materinya, seluruh peserta satu-persatu mengajukan pendapat, pertanyaan, serta memberikan tanggapan terhadap problematika kebudayaan Bali, khususnya yang berkaitan dengan tradisi lisan dan ritus.
Diskusi Terpumpun “Tradisi Lisan dan Ritus” | Foto: tatkala.co/Dede
Ida Bagus Gde Yudha Triguna M.S. pada saat itu mempresentasikan materi tentang “Ritus pada Masyarakat Bali”. Ia menyebutkan dalam materinya, dalam konteks masyarakat Bali (Hindu), terdapat beragam ritus, baik dalam hubungannya dengan peralihan hidup manusia, cara menjaga keharmonisan alam, maupun ritus dalam kaitannya dengan aktivitas sosial dan budaya.
“Seluruh ritus yang dilaksanakan masyarakat Hindu di Bali selama ini berjalan apa adanya. Artinya, seluruh ritus berjalan di bawah kendali orang yang tahu, atau sekelompok orang yang ‘tahu dan penting’, sementara yang melaksanakan ritus bisa jadi hanya mengikuti arahan orang yang tahu dan penting itu. Ritus-ritus dijalankan, dipahami sekaligus dijaga hanya oleh sekelompok kecil orang tahu dan penting,” ungkap Yudha Triguna.
Sementara Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum. memaparkan materi seputar “Tradisi Lisan Bali”. Ia mengungkapkan, tradisi lisan Bali sungguh menakjubkan mengingat dia adalah cikal bakal peradaban Bali meskipun Bali telah memiliki aksara tersendiri.
Namun, akibat terabaikannya tradisi aksara Bali, mengingat tidak dimanfaatkannya lagi sebagai wahana pencatatan pengetahuan leluhur Bali, maka lambat laun tradisi lisan menjadi semakin terlupakan bahkan sudah musnah.
“Untuk itu, penguatan tradisi lisan dalam bidang pelindungan mutlak dilakukan inventarisasi secara menyeluruh terhadap tradisi lisan Bali di masing-masing Kabupaten/Kota, baik yang berupa tuturan murni maupun yang sudah tersuratkan,” tegas Wayan Suardiana.
Para partisipan mengacungkan tangan agar ditunjuk untuk mengemukakan pendapat | Foto: tatkala.co/Dede
Salah satu peserta diskusi, Dr. Kadek Aria Prima Dewi PF, S.Ag., M.Pd. dari Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar tampak berkali-kali mengacungkan tangannya, berharap bisa mengemukakan pendapat.
Sejauh diskusi berlangsung, Prima Dewi menyimak dengan saksama, semua yang disampaikan oleh narasumber dan partisipan lain ia catat. Pada akhirnya, ia pun diberi kesempatan bersuara, meskipun saat sesi diskusi akan segera berakhir.
Bagi Prima Dewi, semua kalangan masyarakat harus berada pada posisi sebagai orang yang tahu dan menganggap penting terhadap ritus dan tradisi lisan. Menurut Prima Dewi, yang terjadi sekarang ini jika tidak dilakukan penguatan, maka kita akan memiliki generasi yang menganggap semua ini tidak penting.
Kadek Aria Prima Dewi saat menyampaikan pandangannya | Foto: tatkala.co/Dede
Ia juga mengatakan, Salah satu lembaga yang memang berkontribusi dalam upaya penguatan ini adalah lembaga pendidikan, yaitu sekolah.
“Tetapi sekolah tidak bisa berdiri sendiri, harus sinergi. Kalau sekolah itu berdiri sendiri, apa yang disampaikan sekolah akan dimentahkan lagi di bale banjar, dimentahkan lagi oleh orang tuanya di rumah. Nah, itulah tantangan yang kita hadapi dan harus dipikirkan bersama,” ungkapnya.
Suasana kala itu begitu akademis, tidak ada peserta yang pasif dalam diskusi tersebut. Semua memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap topik yang tengah dibahas. Meskipun tidak semua pendapat bisa diterima, yang tentunya ada pro dan kontra, namun mereka menyikapi dengan menerima segala pendapat yang disampaikan.
Nantinya, seluruh pandangan ataupun pendapat akan didiskusikan dan dikaji kembali untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Diskusi Terpumpun “Tradisi Lisan dan Ritus” | Foto: tatkala.co/Dede
Tujuan dari dilangsungkannya 6 sesi diskusi terpumpun ini adalah untuk mematangkan materi-materi yang akan disampaikan saat kongres pada Desember mendatang. Ada 10 objek pemajuan kebudayaan yang dibahas, yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.
Dari apa yang disampaikan oleh kedua narasumber dan berbagai tanggapan dari seluruh peserta diskusi terpumpun “Tradisi Lisan dan Ritus”, dinamika tradisi lisan dan ritus ada yang diabaikan, ada pula yang dihilangkan. Kemudian, yang melestarikan tradisi lisan dan ritus hanya segelintir pihak, hanya yang tahu dan menganggap itu penting.
Tentu, permasalahan utamanya adalah apa upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan tradisi lisan dan ritus. Ini menjadi sesuatu yang akan dikaji lebih dalam dan perlu penyamaan persepsi kepada seluruh lapisan masyarakat, agar kebudayaan Bali tidak berujung terabaikan atau bahkan hilang tergerus kemajuan zaman.[T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Jaswanto