“Mengapa kita cenderung ingin mengubah diri orang lain agar menyetujui apa yang kita anggap benar?” tanya sang Hati pada Logika
“Entah juga. Aku tak menyangka aku sekeras itu,” jawab Logika dengan penuh rasa bingung
Dalam setiap diskusi yang muncul di tengah keramaian, dalam setiap diskusi yang timbul dalam beragam perbedaan, akan selalu ada pihak yang ingin disetujui cara pandangnya. Mungkin, memang begitulah manusia.Kita kerap khawatir akan perbedaan yang ada, lantas mencoba memengaruhi bahkan memaksa agar yang berbeda bisa menjadi sama.
Semisal, sebuah diskusi tentang apakah sebuah pernikahan wajib dilakukan atau tidak. Kita bisa gunakan banyak dalil agar bisa menyatakan bahwa pernikahan adalah hal yang wajib untuk dijalankan – benar, dalil agama salah satunya. Terlebih, kita hidup di lingkungan sosial yang mungkin mayoritasnya menganggap sebuah pernikahan adalah sebuah “ibadah” yang harus dilakukan oleh setiap umat beragama.
Lalu pertanyaanku, “Bagaimana kita memberi paham paham ini pada mereka yang berprinsip untuk tidak melakukan pernikahan tersebut?”
Mereka tentu memiliki dalil dan alasan tersendiri juga mengapa mereka memiliki padangan yang berbeda. Diskusi seperti ini bukan tentang siapa yang benar dan salah karena semua pilihan itu sah-sah saja sesuai hak diri sendiri. Namun, kita kerap memaksakan kehendak pada orang lain. Berulang kali menceramahi, berulang kali menasehati dan berulang kali mengecam jika tak disepahami. Sepertinya, aku pun dulu begitu. Memaksakan apa yang ada dalam pikiranku agar bisa masuk ke perspektif orang lain. Memaksakan apa yang menjadi isi hatiku agar bisa dipahami oleh hati orang lain.
Hingga aku tiba pada sebuah kesadaran bernama “Takdir”, atau lebih mudah dipahami sebagai “jalannya”. Jika memang sebuah hal memiliki takdir demikian maka akan terjadilah. Jika memang jalannya seseorang akan menuju ke arah tersebut maka terjadilah. Kita tak pernah benar-benar tahu di mana letak celah hati manusia. Sebuah celah tempat kita bisa memahami dan menyentuh nurani manusia lain.
Jikalau perbedaan pandangan itu muncul seperti di antaranya pernikahan yang tak ingin dilakukan, kebiasaan berjudi yang tak mau dihentikan atau bahkan toleransi beragama yang kerap diabaikan, maka cukup rasanya sekali atau dua kali saja kita menasehati mereka. Selebihnya, biarkan semua bergerak sesuai “jalannya”. Kita tak perlu terus mempertanyakan “mengapa dan mengapa?”, karena mungkin memang benar, kita tak mengetahui letak celah hati mereka.
Hanya Sang Pencipta yang mengetahui celah hati para ciptaanNya. Bisa jadi seseorang tak mau berhenti berjudi meskipun sudah kau hujani dengan saran dan nasehat keagamaanmu, namun ia justru berhenti berjudi setelah melihat gelandangan di pinggiran jalan yang mengemis dan terlihat kelaparan – yang entah bagaimana hal itu mampu memasuki celah hatinya.
Bisa jadi seseorang tetap memilih tak ingin menikah meski sudah kau ceramahi puluhan kali, namun suatu hari ia mengubah pandangan hidupnya setelah melihat sepasang burung yang saling memeluk di atas ranting pohon. Maka sekali lagi, kita sungguh benar-benar tidak bisa menebak di mana celah hati manusia itu.
Sampai disini, semoga kita menjadi paham bahwa hati manusia memang serumit itu untuk dipahami namun tak berarti ia tak bisa “digerakkan”. [T]