PADA November yang basah, dua ekor Jatayu terbang ke sana ke mari di Jatiluwih, terlihat gelisah dan tak jenak. Sesekali mereka mengepakkan sayap dan berputar-putar di atas lantai hitam. Tak jelas betul apa yang membuatnya demikian. Tapi saat diperhatikan lebih dekat, dua Jatayu itu ternyata sedang menari. (Kepakan sayap dan gerakan memutar-mutar itu mengingatkan kita pada tarian Ratu Paksi di pura-pura.)
Dua Jatayu masih berputar-putar mengikuti alunan kebyar. Gerakan mereka kadang tak sama, tak selaras, tak harmonis. Sementara di hadapannya orang-orang menonton, merekam, memotret, setiap gerak yang mereka pertontonkan. Bagi pengamat tari, atau seniman tari yang sudah mencerap selumbung ilmu dan segudang pengalaman, gerakan dua Jatayu itu bisa dikatakan masih “miskin” eksplorasi. Sebagai tari kreasi, ia jelas perlu digarap ulang—dengan lebih serius, tentu saja.
Namun, sesaat setelah mengetahui bahwa di balik Jatayu yang menari itu masih remaja ABG dan dalam tahap, katakanlah, coba-coba, sepertinya kita bisa memaklumi “kemiskinan” gerak yang disebut di atas. Ya, Jatayu yang terbang dan berputar-putar di panggung utama Subak Spirit Festival 2024 itu, bukan saja ditarikan, pun dilahirkan dari seorang remaja.
Shinta dan Intan saat menarikan Jatayu di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
(Agak kurang pas rasanya mengatakan hal-hal yang menyebabkan demotivasi kepada mereka yang baru belajar atau sedang dalam tahap mencoba-coba.)
“Saya sendiri yang mencoba membuat gerakannya,” ujar Ni Putu Shinta Anastasya Putri di samping panggung sesaat setelah ia dan Ni Luh Intan Kusuma Dewi menarikan Jatayu, Minggu (10/11/2024) sore. Shinta dan Intan masih mengenakan kostum Jatayu saat tatkala.co menemui mereka.
Jatayu, kata Shinta, memang lahir dari Tari Paksi. Beberapa gerakan ia ambil dari tarian garuda putih itu. Kemudian ia olah, bongkar-pasang, tambal-sulam dengan gerakan-gerakan atau variasi lain yang menurutnya cocok—supaya tidak kaku, katanya.
Menurut Shinta, pada pertengahan 2024 yang lalu, di Festival Jatiluwih V di Desa Jatiluwih, Penebel, Tabanan, Tari Jatayu juga dipentaskan. Dan Shinta pula yang menarikan.
Jatiluwih, menurut dongeng tetua, desa dengan panorama sawah berjenjang yang menjadi tujuan wisata para pelancong itu, memiliki keterkaitan dengan sosok mitologi Jatayu. Oleh karena itu orang-orang Jatiluwih menjadikan Jatayu sebagai ikon desa.
Shinta dan Intan saat menarikan Jatayu di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Meski tak terang betul narasi tersebut, banyak orang percaya bahwa keberadaan Jatayu berkaitan dengan sejarah nama Jatiluwih. Sesuai cerita para tetua, konon, di tengah desa terdapat kuburan binatang purba, yakni seekor Jatayu. Sebagaimana mitos berkembang, kemudian Jatayu di Jatiluwih mengalami perubahan bunyi menjadi Jaton Ayu yang berarti luwih dan bagus.
Tari Jatayu menggambarkan kisah heroik dari epos Ramayana. Dan sudah dapat ditebak, kisah heroik yang dimaksud ialah saat Jatayu hendak menyelamatkan Sinta dari Rahwana. Dalam cerita tersebut, Jatayu bertarung dengan Rahwana, meskipun akhirnya kalah dan tewas dalam drama tersebut. Makna dari tarian ini adalah simbol keberanian, pengorbanan diri, dan kesetiaan.
“Baru kali ini menarikan tarian pakem laki-laki,” terang Intan Kusuma Dewi. Ia mengaku diajak oleh Shinta dan baru belajar tarian tersebut. “Dua hari aja latihan. Makanya tadi ada gerakan yang tidak sama,” sambungnya sembari tersenyum, malu.
Shinta dan Intan saat menarikan Jatayu di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Intan dan Shinta sama-sama dari Jatiluwih. Namun mereka sekolah di tempat yang berbeda. Shinta masih duduk di bangku kelas 10 SMK Triatma Jaya Badung. Sedangkan Intan sudah merasakan bangku kelas 11 di SMK Pariwisata Dwi Tunggal Tabanan.
“Agak sulit cari guru tari di sini [Jatiluwih],” kata Intan. Dari segi kesenian, tampaknya Jatiluwih memang tak seperti desa-desa lain di sekitarnya. Tak hanya guru tari, sepertinya sanggar seni juga agak jarang di sana.
Tapi Shinta maupun Intan mengaku bahwa mereka berdua memang lahir dari keluarga seni. Nenek Shinta merupakan penari Joged pada zamannya. Sedangkan nenek dan ibu Intan juga penari pada saat masih muda.
“Pengen mencoba bikin-bikin gerakan tari lagi, sih. Tapi belum ada bayangan,” jawab Shinta setelah ditanya ada keinginan—atau sudah—membikin kreasi tarian baru atau (belum) tidak. Shinta, terlepas dari bagus-tidak-bagus karya yang ia lahirkan, keberaniannya berkreasi dalam bidang tarian patut kita apresiasi.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana