PADA 10 November 1945, peristiwa bersejarah di Surabaya tercatat sebagai momentum penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, ditandai dengan pengorbanan dan keberanian luar biasa dari rakyat Surabaya yang bersatu melawan penjajah. Di tengah gempuran pasukan Belanda yang dipersenjatai secara lengkap, tampil seorang tokoh revolusioner, Bung Tomo, sebagai pemimpin karismatik yang menyatu dengan rakyatnya.
Kepemimpinan Bung Tomo tidak hanya terlihat dari pidatonya yang membangkitkan semangat, tetapi dari keberaniannya turun langsung ke garis depan, berdiri sejajar dengan rakyat, serta merasakan kerasnya medan tempur demi mempertahankan martabat bangsa. Ia bukan sekadar orator ulung, ia adalah simbol keberanian, pemimpin yang tidak hanya piawai menyampaikan kata-kata, melainkan menghadirkan makna mendalam dalam tindakan.
Bung Tomo menginspirasi setiap individu untuk berjuang tanpa takut, mengedepankan kepemimpinan berbasis keberanian dan pengorbanan. Di bawah komando beliau, rakyat Surabaya tidak hanya mendengarkan pidato yang penuh semangat namun mereka merasakannya dalam tiap langkah dan tetesan darah di medan pertempuran.
Kepemimpinan Bung Tomo menampilkan esensi sejati kepemimpinan yaitu bertindak dengan ketulusan, bukan sekadar berbicara dalam konsep. Di sana, ia berada di garis depan bersama rakyat, melawan penjajah, membuktikan bahwa pemimpin sejati lahir dari keberanian yang tak tergoyahkan. Semangat kepemimpinan seperti ini terasa makin jarang terlihat di era kita sekarang.
Banyak pemimpin saat ini terjebak dalam kepentingan politik kekuasaan yang semu. Alih-alih menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama, sebagian besar pemimpin justru lebih fokus untuk mempertahankan kedudukan mereka. Sibuk memperpanjang masa jabatan dan membangun citra diri, sementara permasalahan nyata seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan cenderung terabaikan.
Media sosial yang sejatinya bisa menjadi wadah komunikasi langsung antara pemimpin dan rakyat kini beralih fungsi menjadi alat manipulasi. Banyak pemimpin memanfaatkannya untuk membangun “brand” diri yang tampak sempurna, menyebarkan narasi yang mendistorsi kenyataan demi dukungan publik. Hoaks dan propaganda menjadi senjata digital dalam politik modern, mengalihkan perhatian rakyat dari masalah yang mendasar.
Di dunia maya, popularitas palsu diraih dengan “likes” dan “followers,” bukan dengan prestasi nyata. Tindakan seperti ini merupakan pengkhianatan terhadap semangat Bung Tomo dan rakyat yang mendambakan kepemimpinan berani, jujur, dan tulus. Di era saat ini, kita sangat membutuhkan pemimpin yang sungguh-sungguh mengabdi kepada rakyat, bukan sekadar memperjuangkan kepentingan pribadinya.
Membangkitkan Semangat Juang Kepemimpinan Era Sekarang
Sudah saatnya kita membuka mata dan melihat dengan jernih, tidak lagi terbuai oleh pencitraan semu yang diciptakan oleh sebagian pemimpin melalui layar kaca dan media sosial. Kita hidup dalam era di mana citra di media sosial dapat dengan mudah mengalihkkan kenyataan, menciptakan ilusi tentang kepemimpinan yang hanya berlandaskan janji kosong dan retorika tanpa makna. Di balik senyum manis dan pidato penuh harapan, kenyataan pahit justru malah melanda rakyat yang semakin dibebani oleh ketimpangan sosial, kemiskinan, dan keadilan yang terasa semakin jauh panggang dari api.
Seorang pemimpin yang sejati bukanlah mereka yang hanya mampu berbicara namun tanpa bertindak, atau yang duduk nyaman di kursi kekuasaan sambil menatap angka di layar komputer. Pemimpin sejati adalah mereka yang berani menyatu dengan rakyat, yang tidak gentar menghadapi realitas di lapangan dan siap terjun langsung melihat kesulitan rakyat.
Bung Tomo adalah teladan semangat ini. Dia tidak hanya berkobar di atas podium, namun berdiri di garis depan bersama rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Kita seharusnya bertanya, di manakah pemimpin seperti itu sekarang? Mengapa kita masih dipimpin oleh mereka yang lebih sibuk membangun citra daripada memperjuangkan kesejahteraan rakyat?
Ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik yang semakin melebar tak bisa dibiarkan berlanjut. Rakyat semakin terpinggirkan, pendidikan maupun layanan kesehatan semakin tak terjangkau. Namun, sebagian pemimpin lebih memilih sibuk berpolitik identitas, menciptakan perpecahan yang semakin memperburuk keadaan, dan memberikan peluang bagi segelintir elit untuk menguasai ekonomi bangsa ini.
Sudah saatnya kita menuntut pemimpin yang berani bertindak berdasarkan hati nurani, yang siap mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Pemimpin seperti Bung Tomo, pemimpin yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak yang harus dipertahankan demi ambisi pribadi. Hanya dengan sosok yang rela berkorban dan turun langsung mendampingi rakyat, kita bisa mewujudkan bangsa yang adil dan sejahtera.
Menegaskan Bung Tomo Figur Pemimpin Sejati
Saat ini, mari kita merenung sejenak, apakah semangat perjuangan Bung Tomo masih hidup di antara kita? Apakah kita memiliki pemimpin yang benar-benar siap berjuang bersama rakyat, yang turun langsung ke lapangan, rela berkorban, dan merasakan penderitaan rakyat seperti Bung Tomo? Atau, apakah kita terjebak dalam permainan kekuasaan yang hanya memberi keuntungan bagi segelintir elit?
Peringatan 10 November bukan hanya untuk mengenang sejarah. Sesungguhnya ini adalah momen untuk menyadarkan kita bahwa perjuangan Bung Tomo tak berhenti di tahun 1945. Semangat juangnya harus tetap membara dan tetap kita pelihara. Kita harus menjadikan semangat ini bagian dari setiap langkah dan keputusan kita, termasuk dalam memilih pemimpin.
Jangan biarkan sejarah hanya menjadi narasi masa lalu. Peringatan ini harus menjadi titik tolak bagi kita untuk menuntut kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat. Kepemimpinan yang bukan sekadar wacana, tetapi yang berani mengambil langkah nyata menuju perubahan. Kepemimpinan yang tidak hanya berbicara soal visi besar, tetapi yang gigih berjuang demi kesejahteraan, keadilan, dan kemerdekaan seluruh rakyat. Semangat Bung Tomo adalah energi yang harus terus menggelora, menuntun kita untuk menuntut hadirnya pemimpin sejati, yaitu pemimpin yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk ambisi pribadi atau kelompok.
Sebagai rakyat, kita bukan sekadar penonton dalam panggung politik. Kita harus aktif, harus mengawasi, mengkritisi, dan menuntut pemimpin yang berani bertindak demi kepentingan bersama, bukan demi mempertahankan status quo yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Saatnya kita berani bertanya, berani menuntut, dan berani berdiri untuk apa yang benar, tanpa terpengaruh arus manipulasi di media sosial.
Sebagai warga negara, kita harus menuntut pemimpin yang siap melakukan perubahan nyata. Pemimpin yang tak sekadar pandai berbicara di depan kamera, tetapi yang berani mengambil langkah konkret demi perbaikan nasib rakyat. Pemimpin yang tahu bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak yang harus dipertahankan dengan segala cara.
Jika kita mendambakan Indonesia yang lebih baik, jika kita menginginkan kemerdekaan yang sejati, maka kita harus memilih pemimpin yang siap mengorbankan segalanya demi rakyat. Seperti Bung Tomo, pemimpin sejati adalah yang tak gentar berjuang bersama rakyat, yang tak takut melawan ketidakadilan, yang paham bahwa kemerdekaan kita belum sepenuhnya terwujud.
Peringatan 10 November harus menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan dan bertanya, apakah pemimpin kita benar-benar mengabdi pada rakyat atau hanya memperjuangkan kekuasaan semata? Jangan biarkan kita terus terjebak dalam permainan manipulasi politik yang hanya menguntungkan segelintir elit, sementara rakyat semakin terpinggirkan. Selamat Hari Pahlawan. Merdeka!! [T]