MENGHADIRI peluncuran buku Dee Lestari adalah salah satu tujuan saya di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2024. Menerima undangan via Whatsapp langsung dari Dee adalah sebuah kehormatan dan kebahagiaan. Isi Whatsapp-nya humble, sebuah undangan hadir di peluncurannya. Tentu saya girang karena Dee adalah salah satu penulis favorit saya.
Saya pun menyusun rencana dengan matang. Tapi hidup tak selalu bisa direncanakan. Pada tanggal 24 Oktober itu, jadwal saya di UWRF 2024 sangatlah padat. Ada 4 acara hampir berentetan. Pertama, agenda memandu panel di main program bersama Bora Chung, penulis asal Korea dengan karya-karya fenomenal The Cursed Bunny (shortlisted for 2022 International Booker Prize) dan Your Utopia.
Agenda sore hampir berbarengan, yaitu book launch Pandora, Patiwangi, dan Saiban karya Oka Rusmini di Threads of Life, acara book launch Dee di Titik Dua, acara dinner dengan penulis, dan poetry slam di Casaluna.
Dee Lestari (tengah) bersama pembaca dan sahabatnya. Dari kiri ke kanan, Nova Aryani, Sophie Navita, Kadek Sonia Piscayanti, Pranita Dewi | Foto: Dok. Dee
Menghadiri sekian banyak agenda di tempat yang berbeda-beda dalam konteks Ubud yang macet dan padat, dan kompleks dengan acara yang mengalihkan lalu lintas, memerlukan sebuah keahlian khusus. Saya dan sahabat sejak belia penyair Pranita Dewi memutuskan mengejar agenda dengan motor. Kami berdua, masih sama seperti kami 20 tahun lalu, selalu tersesat tapi selalu percaya diri akan sampai. Apalagi kini dengan Google Map.
Dulu, 20 tahun lalu, waktu belum ada Google Map saja kami sampai, masa sekarang dengan Google Map ga sampai, demikianlah kira-kira. Namun benar saja, mencari Titik Dua dari Google Map bukan butuh titik dua, tapi titik-titik banyak sekali, yang membuat kami seperti biasa linglung, hahaha.
Akhirnya tibalah jua (kami skip cerita perjalanannya, tapi kurang lebih begini, Google Map mengatakan kami sudah sampai, tapi ternyata belum, lalu berbalik lagi, lalu belum lagi, repeat sampai sekitar 25 menit). Dan tiba di Titik Dua, acara pertama ternyata sudah berlalu. Lalu berlanjut ke acara intinya, syukurlah belum terlambat benar.
Dee, Ratih Kumala, dan Sonia | Foto: Rusdi
Akhirnya saya mendapat kesempatan membeli bukunya langsung, berfoto-foto dengan Dee, ngobrol singkat, dan menonton pentasnya membaca 2 karya dari buku Tanpa Rencana. Dee membaca karya soal kenangan dengan Bapaknya. Mengharukan hingga sumsum tulang, Dee menahan tangis sejak membaca menit pertama.
Yang kedua, soal Transedensi Ampas Insani, disingkat TAI. Sesuatu yang ringan, namun mindful. Mengapa karya Dee ini menjadi berbeda dari karya Dee yang sebelumnya, karena Dee lebih spontan, lebih mengalir, lebih lepas, lebih lapang, dan lebih tanpa beban di sini. Bahkan dia melibatkan kehadiran penggemarnya dalam karya ini.
Tanpa Rencana secara filosofis mengedepankan sisi Dee yang humble dan merangkul semua yang hadir padanya dengan natural dan tanpa rencana. Melihat sosok Dee saat ini dengan Dee belasan tahun lalu—karena saya memang sering satu panel bersamanya sejak dahulu di UWRF—saya melihat bahwa secara alami Dee memang lebih lepas, lebih mengalir, dan tanpa rencana, sebuah ideologi mindfulness yang dia terapkan dengan jelas sejak awal proses kreatifnya.
Buku Tanpa Rencana karya Dee Lestari | Foto: Mizanstore
Dari social media-nya saya memperhatikan bahwa Dee tahu benar yang dia inginkan, selalu mindful dalam semua yang dia kerjakan, dan selalu total dalam project-nya. Maka saya percaya, Dee akan berusia panjang dalam karya-karyanya. Secara natural dia telah meninggalkan legacy bukan hanya kepada pembacanya namun kepada sahabatnya-keluarganya-penggemarnya-siapa pun yang pernah hadir di hidupnya.
Berikut ini adalah bonus interview ringan dengan Dee di luar banyak sekali percakapan ringan-berat-sedang-somewhere in between yang bisa dijadikan referensi soal karyanya. Saya mengirim pertanyaan dengan cepat via Whatsapp. Yang dibalas dengan cepat juga, khusus untuk Tatkala.co.
Berikut isinya:
Sonia:
Anda mengatakan bahwa Tanpa Rencana adalah ‘benar-benar dirimu’. Apa yang membedakan karya ini dari karyamu yang lain?
Dee:
Selama ini saya dikenal sebagai penulis yang penuh perencanaan, terutama karena karya saya kebanyakan novel, dan sulit sekali membuat novel tanpa perencanaan sama sekali. Kita harus sangat strategis menata alur, struktur, sekaligus jadwal kerja.
Menulis Tanpa Rencana menjadi sebuah penyegaran buat saya karena prosesnya yang spontan dan minim—bahkan seringkali tanpa—perencanaan apa-apa. Satu-satunya “rencana” yang jelas adalah ketika saya memutuskan untuk membuat antologi kumpulan karya-karya cenderung spontan itu.
Tapi, apa konten serta temanya, saya lepaskan mengalir saja sesuai apa yang hinggap dan rasakan saat itu. Hasilnya adalah kumpulan karya yang cenderung katarsis. Saya hanya sepenuhnya bersandar pada aliran ide dan navigasi internal saja.
Otomatis banyak pengalaman pribadi yang keluar, perasaan-perasaan terkuat, bahkan diri saya sebagai “Sang Penulis” terkadang ikut bocor. Sesuatu yang tidak pernah saya lakukan dalam karya fiksi saya lainnya.
Dee sedang membaca karya saat peluncuran buku Tanpa Rencana | Foto: Nova Aryani
Plus, karakter-karakter berusia matang juga mulai muncul dalam karya ini, yang menurut saya menunjukkan evolusi saya secara pribadi dalam hal memandang cinta, relationship, dsb. Tentu saja ini pun menambah perspektif baru dalam bercerita, yang sebelumnya belum terlalu mengemuka di karya saya lainnya.
Sonia:
Karyamu TAI benar-benar menggelitik. Apakah ini refleksi dirimu yang sesungguhnya. Merayakan apa yang ada dalam dirimu?
Dee:
Buat orang yang mengenal saya secara langsung, mereka akan tahu bahwa saya sebetulnya orang yang sangat humoris dan relaks, meskipun tulisan saya banyak yang sangat serius. Dari kecil saya memang luwes dengan humor toilet, nggak ada masalah dengan jorok-jorokan, dan menulis cerpen Transendensi Ampas Insani menjadi pengalaman sangat menyenangkan, karena saya bisa mengombinasikan sisi humor saya yang “kacau” dan keseriusan saya memahami hidup dan meditasi.
Sonia:
Cerita soal Bapak benar-benar menyentuh. Bagaimana sosok Bapak membentukmu menjadi sekarang?
Dee saat peluncuran buku Tanpa Rencana | Foto: Nova Aryani
Dee:
Bapak baru berpulang Februari 2024. Saya sangat terbiasa memiliki Bapak dalam hidup, sehingga kepergian beliau benar-benar memukul. Hubungan kami sebetulnya cenderung santai, praktis, tidak sentimental. Karena itulah saya sendiri tidak menyangka rasa kehilangannya sedalam ini. Saya merasa kehilangan seorang Bapak dan sahabat terbaik sekaligus. I owe him my sense of humor, my practical approach in life. His strive for excellence and “get the job done” mentality really inspired me.
Sonia:
Saya melihat filosofi mindfulness dalam Tanpa Rencana. Hal ini seperti “being at the present moment” dan merayakan semua tanpa rencana.
Dee:
Very true. Lewat Tanpa Rencana, saya kembali diingatkan magisnya interaksi dengan alam ide, mendengarkan yang abstrak dan halus, serta menjadi seorang medium yang melayani dan rendah hati. Prinsip saya adalah melayani karya. Tanpa Rencana melatih saya menjadi pendengar ide yang baik, percaya penuh pada bisikan dan keajaibannya.
Demikianlah percakapan mengalir saya dengan Dee. Ubud masih akan macet hari ini, saya pun bergerak mengalir saja, tanpa banyak rencana.[T]
Ubud, 26 Oktober 2024