SELASA MALAM, 1 Oktober 2024, bersamaan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila, rombonganwidyawisata SMA Negeri 2 Kuta Selatan Shopping di Jalan Malioboro Yogyakarta. Jarak dari Hotel Grage tempat rombongan menginap hanya sekitar 200 meter ke Jalan Malioboro. Cukup dengan berjalan kaki. Bila ingin merasakan sensasi becak, cukup dengan biaya Rp 20.000,00 sudah dapat menyusuri sepanjang Jalan Malioboro sebagai ikon jalan legendaris bagi kota Pelajar Yogyakarta.
Menyusuri sepanjang Jalan Malioboro, tiba-tiba saya ingat dengan Umbu Landu Paranggi (ULP) yang pernah menggelandang di sini mengasuh rubrik Puisi Koran Pelopor Yogyakarta (1969 – 1977). Mengingat ULP tiba-tiba saja saya teringat buku berjudul “Metiyem : Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. Buku ini disusun oleh Imam Budhi Santosa, Mustofa W. Hasyim, Sutirman Eka Ardhana, dan Budi Sardjono, dengan Prolog Sapardi Djoko Damono dan epilog oleh Emha Ainun Nadjib. Mereka semua adalah anak-anak ULP yang setia berguru pada ningrat Sumba yang rela menanggalkan keningratannya, menggelandang di Yogyakarta. “Bersyukurlah Pelopor, Persada Studi Klub (PSK), dan Yogya. Bersyukurlah Bali Post, Sanggar Minum Kopi (SMK) dan Denpasar. Bersyukurlah Jawa dan Bali. Bersyukurlah Sumba punya Indonesia, punya seorang ULP”, demikian tulis Boedi Ismanto SA dalam Metiyem.
Penulis di Jalan Malioboro Yogyakarta | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Buku setebal 244 halaman ini memuat 7 bagian dengan rincian : Epilog, Jejak Tapak, Siut, Dengung, Gema, Desir, dan Epilog. Keseluruhan isinya menggambarkan pergumulan penulisnya dengan ULP yang membangun komunikasi lintas ilmu, lintas Perguruan Tinggi, lintas geografi, lintas etnis tanpa membedakan asal-usul. Bahkan ULP sendiri menanggalkan keningratannya sebagaimana Ki Hadjar Dewantara lebih memilih merakyat melalui Perguruan Taman Siswa. ULP merakyat -bahkan- menggelandang melalui pintu masuk ; puisi, karena kata Putri Suastini Koster, “Puisi membasuh jiwa yang keruh”. Dengan kalimat lain, puisi itu menjernihkan.
Menanggalkan keningratan bagi ULP sama dengan perjuangan Chairil Anwar yang hidup menggelandang di Jakarta padahal di kampungnya, ia adalah keluarga berada. Baik ULP dan Chairil Anwar menggelandang di jalur yang sama : puisi. Kedua-duanya juga datang ke Jawa, mula-mula untuk menuntut ilmu lalu bertualang di medan perjuangan kata-kata dengan puisi sebagai alas. “Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan”, tulis ULP dalam sajak Melodia. Sementara Chairil Anwar, menulis, “Rumahku dari unggun timbun sajak…”, dalam sajak berjudul “Rumahku” (1943).
Masuk akal setiap melintas di Jalan Malioboro saya ingat ULP karena Koran Pelopor yang diasuh memuat puisi untuk pemula dan senior dalam rubrik Persada Study Kub (PSK) dan Sabana. Pertama, Jalan Malioboro dengan Gunung Merapi-UGM-Keraton dan Pantai Parangtritis adalah satu garis mistis dengan kekuatan magis yang dapat diraih dengan jalan sunyi. Emha Ainun Najib mengatakan, Malioboro berarti Wali yang mengembara ke Alam Sunyi melalui Margo Utomo. Jalan Margo Mulyo adalah jalan sastra purba dengan produk puisi.
Kedua, dari Jalan Malioboro ULP berhasil mendidik murid-muridnya dari berbagai daerah memetik buah sunyi yang ditulis dalam puisi, sebagai aksara bermakna. Kelak murid-murid itulah yang namanya tercatat dalam khasanah Sastra Indonesia, khususnya dalam bidang puisi. Sementara itu, ULP sudah bangga menjadi guru yang meneruskan cita-cita Ki Hadjar Dewantara dengan semangat saling asah, asih,asuh. Walaupun ULP gagal bersekolah di Perguruan Taman Siswa, ia dengan penuh wibawa memuliakan ajaran Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi penggembala bagi anak-anak zaman di persimpangan jalan.
Ketiga, sebagai guru di Jalan Universitas Kehidupan, ULP selalu menghamba kepada sang anak dengan laku hidup prihatin menerapkan tapabrata sebagaimana orang-orang Bali tempo doeloe meraih prestasi puncak kemanusiaan. Inilah yang disebut oleh Ida Pedanda Made Sidemen, dalam karyanya Selampah Laku, “Tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin”. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, menyebut, “Orang Bali harus mengenali dirinya sendiri sebagai sumber kreativitas”.
Keempat, melalui Jalan Malioboro melewati Margo Mulyo menuju Keraton, ULP akhirnya bersembunyi di Lembah Pujian Denpasar seraya menjadi penggembala bagi bibit-bibit unggul di Bali Post (1979-2022). Pembibitan dan pemupukan bibit unggul pada fase awal di Bali melalui Sanggar Minum Kopi (SMK). Inilah sekolah kehidupan yang berkearifan lokal dengan laku hidup, silayukti. Ibarat bermeditasi belajar ke dalam mem-Bali setelah melewati fase belajar ke luar men-Jawa.
Pada akhirnya, ULP pun berserah diri di Bali. Pasrah tanpa pamrih setelah murid-muridnya rajin bercocok tanam lalu memetik buah ranum di taman yang indah. Murid yang berakhlak mulia adalah murid yang tahu membayar hutang budi, maka lahirlah, “Metiyem : Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. Saya bersyukur, dihadiahi buku ini oleh ULP dengan tulisan indah melalui seorang teman, I Made Sujaya dosen di UPMI Denpasar (dulu : IKIP PGRI Bali).
Buku berjudul “Metiyem : Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. | Foto: Nyoman Tingkat
Begitulah, mengingat ULP di Malioboro terngiang dialog intensif kebudayaan dari pemuda rantau yang memantau perkembangan budaya bangsanya melalui jalan pendidikan, membangun jiwa bangsanya. Di Jalan inilah ladang luas kebudayaan disempitkan dalam rubrik-rubrik Koran Pelopor memuat parade puisi.
Puisi menjadi mantra Kebudayaan Nasional Indonesia yang telah diimpikan oleh Muhamad Yamin, 17 tahun sebelum Indonesia Merdeka, 28 Oktober 2028. ULP menyebut, Sumpah Pemuda adalah mahakarya puisi yang lahir dari proses kontemplasi di kedalaman. Diperoleh dengan menyelam penuh seluruh, tidak tergesa-gesa, apalagi instan. Itulah api semangat Sumpah Pemuda yang pantang dipadamkan. Senyampang bulan Oktober, momentum bertanah air, berbangsa, dan berbahasa Indonesia layak untuk direfleksikan kembali.
Berguru pada ULP adalah dengan menjadi murid yang bersahaja di jalan sunyi di tengah riuh Malioboro. “Jadilah Wali yang mengembara dengan kata-kata : Sunyi, bekerjalah kau. Maka orang menyimpulkan, sebagai penyair”, demikian kata Emha Ainun Nadjib murid yang berguru pada ULP di Jalan Kebudayaan, Malioboro. [T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT