DI bawah pohon palem di sebuah taman kecil, diskusi manis tergelar begitu saja. Sebelum diskusi—literasi dan menulis itu—dilakukan, sebentar lagi, diskusi lain akan berlangsung di lantai II Gedung Pusat Layananan Haji dan Umroh Terpadu (PLHUT) Kementrian Agama (Kemenag) Kabupaten Buleleng pada Sabtu, 12 Oktober 2024.
Sebagai pemateri, Made Adnyana Ole—penyair sekaligus wartawan senior itu—mengobrol tanpa sekat, jurang pengetahuan, dengan peserta yang berlatar penyuluh agama Hindu itu. Sambil merokok, dengan hangat mereka mengobrol di beranda gedung. Sangat santai.
Tidak lama setelah rokok menjadi abu, obrolan kemudian disudahi dan secara bersamaan mereka menuju lantai II dan di sana para peserta lain sudah menanti dengan apik dengan busana adat madya duduk di kursi masing-masing. Sekitar 45 peserta mengikuti pelatihan “Penyuluh Sebagai Garda Terdepan dalam Pembinaan Umat Menjelang Pilkada Tahun 2024”.
“Saya berharap, melalui kegiatan pembinaan ini dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi Penyuluh Agama Hindu dalam membina umat,” kata I Made Subawa saat sambutan sekaligus membuka acara.
Dalam acara pelatihan Kemenag itu, setidaknya ada beberapa hal yang disampaikan oleh Made Adnyana Ole kepada para penyuluh ketika memberikan materinya. Tentu selain tentang teknis dasar menulis jurnalistik, ia juga menjelaskan bagaimana melihat sebuah posisi itu penting ketika berselancar di media sosial. Terlebih tentang siapa yang berhak menulis suatu berita, yang dalam hal ini, berhak serius dan mendalam.
Suasana pelatihan “Penyuluh Sebagai Garda Terdepan dalam Pembinaan Umat Menjelang Pilkada Tahun 2024” | Foto: tatkala.co/Son
Antara pegiat media sosial yang menulis isu sosial di laman Fesbuknya dengan wartawan yang juga menulis isu sosial, katanya, di koran media online, itu memiliki perbedaan posisi dan tanggung jawabnya pada publik.
“Jika wartawan, selain didasari fakta, tetapi juga meliputi proses verifikasi data yang ketat. Sementara pada pegiat media sosial, itu biasanya tidak. Ia hanya sekadar menuliskan bagaimana yang muncul di masyarakat tanpa lebih dulu melewati verifikasi data yang serius…” kata Made Adnyana Ole saat memberikan materi Menulis Berita di Media Sosial.
Sampai di sini, ia melanjutkan penjelasannya, bahwa potensi terkena jerat UU ITE kepada pengguna media social—dalam hal ini Fesbuk, misalnya—itu sangat dekat. Karena pegiat media sosial biasanya sangat rentan terkena hoak atau ikut serta dalam memroduksi hoak.
Sebab itulah pegiat media sosial tidak bisa secara frontal dalam menuliskan sesuatu yang bersifat sensitif—yang berbau hukum, yang mana berpotensi mencemari nama baik seseorang.
“Ada proses konfirmasi. Misalnya, ada seseorang dituntut menggelapkan dana. Kan banyak orang yang kena kasus ITE itu hanya karena ikut-ikutan menyebarkan informasi itu [hanya karena katanya-katanya], tanpa kembali konfrmasi tentang kebenarannya,” ujar Pemred tatkala.co itu.
Proses konfirmasi itu biasanya, bisa melewati pertanyaan kebenarannya kepada narasumber utama. “Misalnya proses konfirmasinya, Pak, bapak dituduh seperti ini, bagaimana tanggapan bapak? Terus yang bersangkutan menjawab, Oh, tidak bener ini! Nah, kalau tidak bener, bagaimana kejadiannya. Nah, itu kita mesti kutip juga. Isunya kita tulis, bantahannya kita tulis. Itu baru bener,” ujar Ole memberi contoh.
Menurut Ole, itu yang sering tidak dilakukan sama pegiat media sosial, merasa sudah upload, merasa sudah menyebarkan informasi. Padahal itu salah. Nah, itu yang disebut proses jurnalistik, dan proses jurnalistik hanya dilakukan oleh seorang wartawan.
“Karena bapak ibu tidak ingin jadi wartawan, saya tahu. Sudah jadi penyuluh, cukuplah, ngapain jadi wartawan, ribet…hehe…” lanjut kolumnis Lolohin Malu itu sambil bercanda.
Melihat Peristiwa seperti Wartawan
Seperti tidak ingin membuat keruwetan berpikir tentang kesulitan para pesertanya, Made Adnyana Ole kemudian menurunkan pembahasannya dan langsung menarik diri kepada teknis. Siapa saja bisa membuat berita dengan rumus yang sama, katanya, yaitu 5 W + 1 H.
“Makanya, sekarang ngupload di media sosial, mengunggah sesuatu informasi, setidaknya kita melakukan proses yang lengkap [apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana], gitu aja sebenarnya sudah cukup, dan hindari persoalan-persoalan yang sensitif.
“Misalnya, kemungkinan mencemarkan nama baik orang. Ada kemungkinan berkaitan dengan pornografi. Yang gitu-gitu tuh harus dihindari, diwaspadai,” kata Pak Ole, panggilan akrab dari Made Adnyana Ole ketika mulai membicarakan teknik.
Salah satu perserta bertanya saat sesi tanya jawab | Foto: tatkala.co/Son
Di dalam menulis berita, terdapat beberapa jenis fakta di masyarakat yang dapat dituliskan. Seperti seremonial, kejadian tak terduga, dan kejadian terjadwal.
Seremonial itu seperti upacara bendera, peringatan hari-hari besar nasional, misalnya. itu adalah fakta. Tapi tidak semua acara seremonial itu penting untuk diberitakan. Maksud kata penting di sini, tidak semuanya dibaca oleh semua orang atau dibutuhkan oleh semua orang.
“Makdudnya gini, semisal, di Kementrian Agama upacara hari Senin, setiap di hari itu upacara di depan. Nah, itu tidak penting bagi orang lain, gitu. Tapi sebagai informasi internal, itu gak papa,” terang Ole.
Sementara kejadian tak terduga misalnya kebakaran, kecelakaan, banjir, bencana. Atau kemalingan, atau yang lain, seperti, tiba-tiba dapat undian seratus juta gitu. “Nah itu nasib untung pun tak terduga gitu. Itu juga adalah fakta,” lanjutnya.
Begitupun dengan kejadian terjadwal. Misalnya, pertandingan sepak bola. Itu juga adalah fakta. “Bahkan sejak sebelum akan ada kejadiannya, kita sudah tahu,” kata Ole.
Sampai di sini, dalam membuka tulisan, lead menjadi penting untuk diperhatikan sebelum menulis. Dan lead, itu bagaimana cara kita dalam memandang sebuah fenomena sosial itu, dicarikan sisi yang menariknya.
“Lead yang menarik itu, adalah pertanyaan orang pertama kali. Misalnya gini, ada pertandingan sepak bola, terus kacau, wasit dipukuli. Di sana, skor sudah tidak menarik lagi. Siapa yang menang sudah tidak menarik lagi. Yang kita ceritrakan adalah bagaimana kacaunya pertandingan itu, gitu.
“Jangan pas udah ada kekacauan, sudah ada wasit dipukuli, kita tiba-tiba menulis informasi. Baru terakhir sebutkan, oh iya, di pertandinga itu juga ada wasit dipukuli,” Ole menjelaskan.
Akhirnya, Ole kemudian menjelaskan bahwa bagi seorang penyuluh, sudah tidak lagi menarik jika mengkabarkan sesuatu langsung kepada inti, siraman rohani, misalnya. Tetapi bagaimana peristiwa itu mesti diceritakan agar menarik, dan masyarakat bisa membacanya tanpa tahu sedang disiram rohaninya.[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto