DI sebuah kursi panjang yang empuk di ruang makan elit dan nyaman di Jakarta, lelaki berusia 77 tahun itu begitu akrab berbincang dan bersendagurau dengan Sardjono (seniman karawitan dan pedalangan) yang sudah sangat sepuh itu—Sardjono berjalan menggunakan kursi roda. Kedua seniman tua tersebut bercakap-cakap dengan bahasa Jawa yang campur, kadang krama, kadang ngoko, tak jarang madya.
Tak mengherankan jika kedua seniman tersebut dapat menggunakan ketiga jenis bahasa Jawa itu sekaligus. Mengingat, Sardjono adalah dalang dalam seni pewayangan. Sedangkan Kartolo, lelaki 77 tahun itu, seniman Ludruk pilih tanding di Jawa Timur. Kesenian Ludruk sangat dekat dengan penguasaan bahasa, khususnya Jawa Timuran.
Mengenai pertemuan Kartolo dan Sardjono di Jakarta, tak lain dan tak bukan ialah karena mereka berdua sama-sama mendapat Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Kartolo mendapat penghargaan dan terpilih sebagai maestro seni tradisi. Sedangkan Sardjono mendapat penghargaan untuk kategori pelestari.
Sosok Kartolo—atau yang akrab dipanggil Cak Kartolo—sudah tidak asing bagi para pecinta kesenian tradisional, khususnya Ludruk, pada dekade 80-an hingga 2000-an. Pria kelahiran Watuagung, Prigen, Pasuruan 2 Juli 1947 ini, belakangan namanya juga dikenal generasi muda karena perannya dalam sejumlah film layar lebar di Tanah Air.
Tontonlah Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), misalnya, maka Anda akan menemukan Kartolo sebagai seniman di Panti Harsojo. Atau di film Yowis Ben (2018), Terbang Menembus Langit (2018), Yowis Ben 2 (2019), Yowis Ben 3 (2021), Yowis Ben Finale (2021), Lara Ati (2022), Kartolo Numpang Terang Bulan (2024), dan Sekawan Limo (2024), Anda akan menjumpai Kartolo sebagai dirinya sendiri, tukang nasi goreng, Bandi, dan seorang dukun.
Kartolo (kanan) saat berbincang dengan Sardjono (kiri) di Jakarta | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Tetapi, satu hal yang tak dapat lepas dari sosok Kartolo, entah saat di panggung Ludruk atau di layar sinema, adalah kelucuannya yang khas, kelakar-kelakar wong cilik-nya yang seperti spontan, blak-blakan, khas Jawa Timuran, dan tak jarang mengandung satire dan kritis terhadap realitas sosial-politik kita hari-hari ini.
Sebagai seorang yang dianggap maestro, perjalanan hidupnya tentu menarik untuk diikuti, dipelajari, digali, juga didokumentasikan dengan rapi. Sebab, banyak maestro yang pada akhirnya tak banyak dikenal dan dipelajari setelah akhir hayatnya karena tak dapat satu pun arsip atau catatan tentang hidup sang maestro. Maka tulisan ini anggaplah sebagai semacam usaha sederhana dalam mengarsipkan, mencatat, perjalanan hidup Cak Kartolo—walaupun, tentu saja, masih jauh dari kata lengkap.
Menjadi Seniman Ludruk
Kartolo lahir dari pasangan Aliman dan Payamah. Ayahnya merupakan buruh pabrik tenun di kawasan Juwingan, Surabaya. Sedangkan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga yang menyambi berdagang di warung kelontong.Artinya, meskipun lahir di Pasuruan, bisa dibilang sejak kecil Kartolo sudah tinggal di Surabaya.
Perjalanan dan pergaulan hidup di Surabaya, membuat Kartolo bersinggunggan dengan dunia seni, terutama Ludruk. Setelah mahir dalam dunia kesenian pada 1971, Cak Kartolo bergabung dalam grup Ludruk RRI Surabaya. Ia pentas dengan grup Ludruk tersebut selama tiga tahun. Hingga pada 1974, Kartolo keluar dari grup tersebut dan kemudian bergabung dengan grup Ludruk Persada Malang.
Ludruk, kesenian tradisional tua di Jawa Timur. Bisa dibilang Ludruk merupakan teater tradisional atau seni drama—meski tentu juga berbeda dengan kesenian Ketoprak di Jawa Tengah—yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akar rumput sejak tahun 1890-an. Ludruk identik dengan pementasan kisah yang biasa, sehari-hari, meski tak jarang pula mengangkat cerita-cerita perjuangan, dengan tetap diselingi humor-humor atau lelucon kritis dari para pemainnya—dan itulah ciri khasnya.
Pada abad ke-20, tepatnya pada masa perjuangan nasional, Ludruk tak hanya dipandang sebatas hiburan rakyat semata, pula sebagai media perjuangan dalam melawan penjajah melalui narasi, cerita-cerita, atau dialog-dialog yang digunakan seniman. Tersebutlah Ludruk Sandriwara—yang memasukkan unsur-unsur cerita kondisi lingkungan sekitar atau situasi sosial-politik pada masa itu.
Jauh sebelum nama Kartolo tertuang dalam khazanah Ludruk, pada masa penjajahan Jepang, sosok Durasim adalah legenda. Cak Durasim, sebagaimana ia akrab dipanggil, adalah momok bagi Jepang. Melalui Ludruk Cak Durasim mengkritik Jepang. Bacalah kelakarnya dalam parikan ini: “Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara”—Pagupon rumahnya burung dara, ikut Nippon tambah sengsara.
Parikan di atas sangat terkenal di Jawa Timur, dulu. Pula karena kelakar sederhara itulah Cak Durasim ditangkap dan meninggal sebagai tahanan Jepang. Nama Durasim melegenda di Jawa Timur, terpacak dalam ingatan kolektif masyarakat dari generasi ke generasi. Dan perjuangannya tersebut, khususnya dalam mementaskan dan melestarikan Ludruk, sepertinya diteruskan oleh Cak Kartolo hingga hari ini.
“Tapi menjadi seniman Ludruk sebenarnya bukan cita-cita saya,” katanya dengan mimik muka yang karikatural. Kartolo mengungkapkan bahwa ia, dulu, bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil. “Tapi apa daya, saya cuma lulusan Sekolah Rakyat,” ujarnya, kemudian.
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, atau setara dengan Sekolah Dasar pada 1959 di Surabaya, pria kelahiran Pasuruan yang diajak merantau ke Surabaya oleh ayahnya itu, lantas bertemu seniman Ludruk bernama Cak Basman, yang kelak menjadi ayah mertuanya, setelah Kartolo mempersunting putrinya, Ning Kastini. “Saya belajar karawitan dan kemudian pentas Ludruk bersama Cak Basman dan kawan-kawan,” ucapnya.
Pada era 1970-an, Kartolo menjalani pentas Ludruk “Tobong”, berpindah-pindah gedung pertunjukan dari satu kampung ke kampung lainnya di wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya. Tapi menginjak tahun 1980-an, ketika masyarakat mulai memiliki televisi di rumah masing-masing, berdampak pada sepinya penonton di tiap pementasan Ludruk tobong. Padahal, pada era itu nama Kartolo sudah cukup tenar.
Pada era di mana televisi—temuan yang dapat menjangkau antarbenua dan membuat jarak sudah tidak jadi persoalan, orang Skot itu telah mempermak Bumi menjadi bulatan ukuran kantong—menjamur dan menghiasi ruang tamu orang-orang urban Surabaya, menurut catatan Sensus Kesenian yang dilakukan Kanwil K dan P Jawa Timur, sampai tahun 1985 terdapat 58 perkumpulan Ludruk dengan 1.530 orang pemain. Jumlah ini, tentu saja, sangat banyak. Dan menjadi indikasi bahwa Ludurk memang sangat digandrungi oleh masyarakat Surabaya, khususnya, dan Jawa Timur pada umumnya.
Namun, di tengah gempuran teknologi audio dan visual pada era 80-an, Kartolo tak mau bergeming. Ia tetap setia menjadi seniman Ludruk dan justru “menggila” dengan melakukan, katakanlah, reformasi di tubuh kesenian Ludruk. Ia dianggap sebagai pelopor kekidungan dalam seni Ludruk. Dari situlah, Kartolo dikenal pula sebagai ahli guyonan, kidungan/tembang, dan karawitan.
Hingga kini, Kartolo masih aktif di panggung-panggung Ludruk, khususnya di Surabaya atau di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya.
Pelopor Ludruk Modern
Pada 1980, Cak Kartolo mulai dikontrak oleh perusahaan rekaman Nirwana Record untuk merekam tembang berjudul Jula Juli Guyonan. Tembang ini dilagukan ketika melakukan pementasan Ludruk. Dari sinilah Cak Kartolo menjadi seniman yang meletakkan dasar-dasar Ludruk modern. Sudah banyak kekidungan dan lawakannya yang direkam ke dalam bentuk kaset maupun CD.
Kartolo mengatakan, Nirwana Record, yang melambungkan namanya itu, telah merekam sebanyak 79 episode audio cerita Ludruk-nya. Pada era 1980 hingga penghujung tahun 1990-an, banyak stasiun radio di wilayah Jawa Timur yang memutar seluruh episode cerita Ludruk dari audio kaset yang diedarkan oleh Nirwana Record.
Kartolo saat di acara puncak Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 di Jakarta | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Bahkan, potongan rekaman audio Ludruk dari Nirwana Record tersebut belakangan menjadi “viral”, selama hampir dua tahun terakhir menghiasi media sosial Tik-Tok, Instagram, Facebook, Youtube, dan Whatsapp, salah satunya kidungan yang dilontarkan mendiang Basman: “Angel, angel… Angel temen tuturanmu…” yang menjalar seperti virus itu.
“Itu royaltinya masuk ke Nirwana Record. Sebab waktu awal rekaman, dulu, kontraknya disepakati tanpa royalti. Kami, para seniman Ludruk, tak dapat apa-apa karena perjanjian tersebut,” ujar Cak Kartolo, mengasihani diri sendiri.
Kartolo sebagai seniman Ludruk, seperti kata Henri Supriyanto dalam Ludruk Jawa Timur Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon (2001), selalu mengikuti perubahan zaman. Ludruk dalam ritus modernisasi merupakan agen perubahan yang mendorong masyarakat menuju gerak peralihan dalam konteks sosial komunitas masyarakatnya.
Kondisi masyarakat yang berubah dari situasi tradisional ke situasi modern tidak dapat dihindari. Dengan demikian ekspresi seni pertunjukan Ludruk pun mengalami perubahan pula—dan Kartolo, dengan cerdas, malah memanfaatkannya alih-alih mengumpati perubahan sosial yang terjadi begitu cepat itu.
Membahas Kartolo dalam lanskap Ludruk, tentu saja, tak bisa meninggalkan apa itu yang disebut jula-juli—parikan khas Jawa Timuran, sejenis pantun jenaka berbahasa Jawa. Kesenian olah-kata tradisional ini sudah ada sejak zaman dulu kala dan diwariskan secara turun-temurun sebenarnya. Tapi berkat Ludruk, parikan ini semakin populer.
Jula-juli kidungan terdiri 2 atau 4 bait. Bait pertama atau kedua merupakan “umpan pembuka”. Sedang bait ke 3 dan ke 4 adalah isi atau inti dari pesan yang hendak disampaikan. Bunyi terakhir dari bait “pembuka” harus mirip dengan bunyi kata terakhir dari bait “isi” sehingga “jatuhnya” terdengar enak. Jula-juli yang baik bukan sekadar rangkaian kata-kata lucu semata. Tapi harus memberi makna bermanfaat bagi pendengar serta pembacanya—seperti, sekali lagi, jula-juli-nya Cak Durasim: “Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara”.
Dalam Ludruk Suroboyoan, jula-juli terdiri dari lima sampai delapan parikan yang saling terkait. Isi dari jula-juli biasanya menggambarkan benang merah dari lakon atau cerita yang akan dipentaskan.
Kelompok Ludruk Suroboyoan yang sering menggunakan jula-juli yang paling terkenal ialah Cak Kartolo Cs., dan belakangan Supali Cs., dan Kirun Cs. Nama Kartolo, Supali, dan Kirun, memang sangat terkenal. Lelucon dan kelakar-kelakar kritis Kartolo dan Basman, Supali bersama Trobus, dan Kirun dengan Cak Bagio, menghiasi radio, kaset/CD, televisi, dan panggung-panggung hajatan warga di desa-desa.
Tetapi, jika Anda membaca beberapa penelitian mengenai kidungan jula-juli guyonan kelompok Cak Kartolo Cs. pada zaman Orde Baru (1966-1998), maka Anda akan menemukan pesan-pesan yang menyampaikan soal pembangunan. Pada era Orba ini, tema yang diberikan oleh produser diolah sendiri oleh kelompok Cak Kartolo. Kidungan dibuat oleh Cak Kartolo, yang lainnya mendapat tanggung jawab menghafal materi yang sudah disepakati bersama, seperti yang telah dilakukan dalam “Kidungan Jula-Juli Guyonan Lakon Basman Juragan Gentong”.
Awan-awan jok mangan nongko
Mangan nongko dicampur micin
Dadi perawan jok ngenyek joko
Joko saiki mengandung vitamin
Atau
Luwe-luwe wong manggono nang kampong
Lek onok kerja bakti ayo podo gotong rotong
Gotong royong supoyo ndang rampung
Nuruto praturan karep e ben gak bingung
Menurut Raudha Mukaromah dalam Proses Kreatif Cak Kartolo dalam Jula-Juli (2018), kidungan jula-juli goyonan yang lahir dari Ludruk sebagai drama tradisional di Indonesia memiliki cara ekspresi yang tidak langsung, misalnya memakai sampiran dan isi. Hal ini merupakan kekhasan sosiolek pendukung kesenian Ludruk. Kidungan Cak Kartolo memiliki sasaran, yakni pihak-pihak yang dituju dengan dilantunkannya kata demi kata dalam kidungan atau tentang siapakah yang dilukiskan dalam lantunan kidungan itu.
Kidung Ludruk yang Kartolo ciptakan tidak hanya berisi kalimat jenaka, pula memotret persoalan rakyat dengan memuat kritik sosial, pesan moral populer, yang merepresentasikan kearifan wong cilik. Ia melakukan pembaruan pada seni Ludruk dengan memposisikan Ludruk sebagai wahana kritik sosial, sebagaimana Cak Durasim pada era penjajahan Jepang, dan membuka imajinasi kultural yang baru.
Masa Depan Ludruk
Sepanjang kariernya, Kartolo telah menghasilkan 65 karya rekaman lagu-lagu Ludruk. Ia menerima Piagam Prestasi dan Pengabdian Bidang Seni Budaya yang diberikan oleh Gubernur Jawa Timur pada tahun 2005. Pada 2023, ia juga menerima Special Achievement Award Jawa Timur sebagai Tokoh Peduli Budaya. Dan 2024, Kartolo mendapat Anugerah Kebudayaan Indonesia oleh Kemendikbudristek untuk katogori maestro seni tradiri.
Seorang Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menilai Cak Kartolo telah berkontribusi atas pelestarian kesenian tradisional khas budaya ”Arek”, khususnya Tari Remo dan kidungan ”jula-juli” yang merupakan bagian dari pertunjukan Ludruk.
Meskipun sudah malang melintang di dunia Ludruk, Kartolo sebenarnya galau dengan masa depan kesenian yang mengocok perut dan membuka wawasan kritis itu. Ketertarikan anak muda, khsususnya Surabaya, terhadap kesenian tradisional sangat minim—mungkin di beberapa daerah di Indonesia juga mengalami hal yang sama.
Kesenian tradisional seperti Ludruk maupun wayang, misalnya, dianggap kuno oleh kaum milenial—bahkan terbelakang; kesenian yang hanya pantas untuk kakek-nenek mereka. Hal ini sangat berpengaruh terhadap regenerasi kesenian Ludruk di Jawa Timur, meskipun nama-nama baru seperti Cak Silo, Cak Precil, mulai mendapat tempat di hati masyarakat, termasuk generasi pemuda.
Namun, sebagai seorang maestro, Kartolo tetap berharap—sekaligus khawatir—pada generasi penerus agar tidak meninggalkan kesenian tradisional supaya tetap lestari. “Mencintai kesenian harus dengan kesadaran hati dan tidak bisa dipaksakan,” kata Kartolo.
“Bagi generasi muda, yang penting jangan sampai melupakan kesenian tradisional, seperti Ludruk, wayang, maupun Remo. Eman, podo koyok wong Suroboyo tapi gak iso ngomong Suroboyoan [Sayang sekali, sama seperti orang Surabaya tapi tidak bisa ngomong Surabaya],” lanjutnya.
Kartolo menilai, anak muda Surabaya saat ini lebih gandrung dengan budaya pop-modern lintas negara, seperti budaya Korea Selatan, Jepang, dan Barat, yang datang secara membabibuta. Ketika ada pementasan kesenian tradisional, katakanlah Ludruk, Ketoprak, atau wayang kulit, tak banyak anak muda yang hadir dan menonton. Yang ada hanya tinggal mereka, orang-orang lanjut usia, yang masih setia menikmati seni tradisional—walaupun mungkin hanya untuk sekadar kelangenan semata.
“Generasi muda saat ini tak banyak yang peduli terhadap kesenian tradisional. Mereka kadung senang artis luar negeri seperti dari Korea,” tutur seniman Ludruk yang pernah memerankan Joko Berek itu, dengan nada prihatin.
Terkait masa depan Ludruk dan kesenian tradisi Jawa Timur lainnya, Cak Kartolo berharap kepada pemerintah supaya bisa memfasilitasi anak muda yang masih berkenan atau berkecimpung dalam kesenian tradisional.
Usaha yang lebih serius, menurut Kartolo, bisa dilakukan dengan, misalnya, memasukkan seni tradisional ke dalam kurikulum pendidikan. Dengan begitu eksistensi seni tradisional akan terus berjalan—dibicarakan, dikenalkan, dan untung-untung diajarkan.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole