“Sitou Timou Tumou Tou—manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain.”
SEBAGAI direktur RS kabupaten, pejabat eselon 2, maka saya wajib mengikuti pendidikan kepemimpinan nasional (PKN) di badan diklat provinsi Bali. Salah satu agenda dari rangkaian diklat tersebut adalah melakukan kunjungan atau visitasi kepemimpinan nasional (VKN) ke Sulawesi Utara. Tujuannya adalah untuk praktik mengidentifikasi masalah manajerial dan kepemimpinan di lokus yang telah ditentukan, dalam hal ini di salah satu pemerintahan kabupaten di Sulawesi Utara. Membuat kajian, lalu memberikan rekomendasi rencana tindak lanjut sebagai sebuah terobosan solusi.
Di samping itu, peserta diklat juga diharapkan dapat mengambil pelajaran dari visitasi tersebut atau suatu lesson learnt yang kemudian dapat dijadikan referensi untuk menguatkan proyek perubahan atau inovasi yang dirancang di daerah asal masing-masing.
Namun demikian, di samping agenda-agenda diklat tersebut, saya sempat mencatat sejumlah hal yang unik dan menarik tentang Kota Manado. Dari jauh, yang kita sering dengar dari Sulawesi Utara dan Manado adalah gadisnya yang cantik dan berkulit putih, kuliner ekstrem di Kota Tomohon, dan tentunya bibir eh maaf, bubur Manado serta karakter masyarakatnya yang inklusif.
Jika diperhatikan warga Manado dari etnis Minahasa, suku utama di Sulawesi Utara, memang punya profil fisik berkulit putih dan mata cenderung sipit. Dari obrolan saya dengan warga Kota Manado, ada kemungkinan sangat besar asal usul mereka berasal dari bangsa Mongolia atau Tiongkok. Ini sama dengan suku Dayak, tempat dulu saya pernah bertugas, yang punya kemiripan fisik dengan orang Minahasa.
Ada dugaan kuat, asal usul mereka pun berasal dari bangsa China. Kemudian diyakini pula, orang Minahasa saat ini membawa gen bangsa Eropa, terutama Belanda yang cukup lama diketahui keberadaannya di Sulawesi Utara di masa penjajahan. Dari rujukan yang paling banyak disepakati selama ini, keberadaan suku Minahasa sangat dikaitkan dengan migrasi bangsa Austronesia dari wilayah Taiwan menuju kepulauan Filiphina lalu terus bergerak ke selatan menuju semenanjung Minahasa.
Data-data di atas tampaknya kemudian memberi pengaruh yang kuat dan telah menciptakan karakter atau kultur masyarakat Minahasa dan Sulawesi Utara secara umum yang inklusif, mudah menerima perbedaan. Selaras dengan falsafah adi luhung yang diusung tokoh terbesar masyarakat Sulawesi Utara, bapak Dr. Sam Ratulangi, yaitu Sitou Timou Tumou Tou yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain.
Saya sangat terkesan dengan ide besar pahlawan nasional yang juga ahli matematika tersebut, karena sama dengan falsafah kearifan lokal masyarakat Bali, yaitu Tat Twam Asi, yang punya makna aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Orang Manado bilang, “Torang samua basudara, karena torang samua ciptaan Tuhan.” Sitou Timou Tumou Tou danTat Twam Asi, keduanya menegaskan nilai-nilai kesetaraan semua manusia di muka bumi.
Kalau boleh diakui, hal yang paling menarik dan kontroversial dari Sulawesi Utara, dalam hal ini Kota Tomohon adalah kuliner ekstremnya. Di samping, tentu saja, juga dikenal sebagai kota bunga, sesuai dengan iklimnya yang sejuk.
Mungkin hanya satu-satunya di Nusantara ini, ada pasar yang menjajakan berbagi jenis daging yang tak lazim bagi kita. Mulai dari daging anjing, kucing, ular sanca atau phyton, kelelawar atau populer di sana disebut paniki, tikus hutan bahkan monyet. Sampai-sampai pemandu wisata kami berseloroh begini, “Di sini nyaris tidak ada kasus gigitan ular. Jarang sekali orang digigit ular. Karena di sini, orangnya-lah yang menggigit ular.” Tentu saja kami semua tersenyum.
Belakangan, terkait aspek etik hewan piaraan dan perlindungan hewan liar, pemerintah kabupaten telah melarang penjualan daging kucing dan monyet. Banyak dari kita yang mengira, daging tikus yang dijual dan dikonsumsi tersebut adalah tikus rumah atau got seperti di tempat kita. Faktanya, tikus yang dimaksud adalah tikus pohon atau hutan yang biasa memakan buah pohon aren.
Nah, dari sinilah kemudian tercipta brand untuk produk minuman keras terkenal dari Sulawesi, yaitu cap Tikus. Minuman berkadar alkohol 45% hasil dari fermentasi dan distilasi air nira dari pohon aren itu, saat ini menjadi produk unggulan masyarakat Sulawesi Utara, seperti arak kalau di Bali atau ciu di Kalimantan dan NTT.
Dan yang terkenal sampai ke seluruh negeri, adalah masakan RW. Istilah ini merupakan singkatan dari rintek wuuk yang artinya bulu halus sebagai konotasi dari hewan anjing yang dagingnya dimasak dengan bumbu khas dan menjadi hidangan favorit orang Manado.
Bagaimana dengan bubur Manado? Ini memang penganan khas Manado yang sebetulnya bahan-bahannya ada di seluruh Nusantara. Ciri khasnya adalah bubur beras diolah menjadi berwarna kuning karena diisi labu manis. Kandungan lainnya adalah berbagai sayuran hijau, jagung dan dapat ditambahkan ikan laut dan sambal terasi bagi yang suka, saat menikmatinya.
Yang paling unik menurut saya adalah sajian kuliner pisang gorengnya. Saat berkunjung ke Pulau Bunaken, yang terkenal dengan wisata bawah lautnya itu, kami memesan pisang goreng. Pisang gorengnya sendiri sih sama dengan yang ada di tempat kita, namun yang unik adalah pendampingnya bukan gula aren yang dicairkan seperti kebiasaan di Buleleng, melainkan semangkok sambal.
Yaitu sambal roa khas Manado yang terbuat dari komposisi ikan roa, tomat, bawang merah, gula, cabe rawit serta garam. Meskipun hal baru bagi saya, ternyata paduan kuliner tersebut langsung terasa gurih dan pas di lidah.
Lalu bagaimana dengan cerita tentang bibir Manado? Nah, para pembaca yang budiman, mohon bersabar, ya! Karena ulasan tentang bibir Manado ini akan ditayangkan pada waktu yang tepat. Hehehe. Selamat menikmati bibir, eh maaf, bubur Manado. Salam Kawanua![T]