SIANG hari pada tanggal 12 September 2024 asap dupa suci mengepul serta menyerbakkan bau wangi dari Utama Mandala Pura Desa lan Puseh Desa Adat Padangtegal. Saat itu di utama mandala sedang berlangsung kegiatan nedunan Ida Betara Ratu Lingsir yang akan tedun–lunga (menyatakan pergi untuk hal yang dianggap suci) ke Desa Adat Kebon Tegalalang.
Sepetedun (kegiatan berpergian untuk konteks suci) Ida Ratu Lingsir kali ini dapat dikatakan sebagai petedunan “spesial”. Mengapa spesial? Karena baru pertama kali Ida Ratu Lingsir lunga dengan jarak yang jauh. Biasanya petedunan Ida Ratu Lingsir paling jauh hanya sampai segara (pantai) di selatan Gianyar untuk prosesi melasti piodalan atau untuk Hari Raya Nyepi.
Selain itu yang menjadi spesial juga karena Ida Ratu Lingsir akan lunga ke Desa Adat Kebon. Lalu mengapa ketika lunga ke Desa Adat Kebon dianggap spesial? Apa makna yang terkandung dari petedunan ke Desa Adat Kebon.
Desa Adat Kebon, Tegalalang, adalah nama desa adat yang tidak asing bagi kami krama Desa Adat Padangtegal.
Pelawatan berasal dari kata lawat yang berarti bayangan. Pelawatan adalah sarana atau simbol bayangan dari Ida Sang Hyang Widhi berupa barong macan dan bangkal bergelar Ida Ratu Gede dan Ida Ratu Alit yang berstana di Pura Dalem Desa Adat Kebon berhulu taru (tuwed) di Pura Dalem Agung Desa Adat Padangtegal tepatnya pada pohon pule depan Prahyangan Prajapati.
Menurut kepercayaan masyarakat Desa Adat Kebon yang diwarisi secara gugon tuwon-turun temurun Ida Ratu Lingsir Desa Adat Padangtegal yang berwujud barong macan dahulunya adalah sesuhunan dari Desa Adat Kebon yang bergelar Ratu Kompyang. Ratu Kompyang (Ida Ratu Lingsir) diyakini dibuat oleh Pekak Banban utawi I Banban oleh masyarakat Desa Adat Kebon. Sedangkan menurut I Ketut Budiana, salah satu maestro lukis yang selalu menangai pawodakan (perbaikan) Ida Ratu Lingsir Padangtegal yang sempat saya wawancarai pada tanggal 10 April 2023, yang membuat Ratu Kompyang/Ida Ratu Lingsir adalah Ki Banban dari Tegalalang.
Lebih lanjut, menurut Budiana, Ki Banban adalah undagi (ahli arsitektur) utusan Puri Agung Peliatan yang juga menjadi arsitek pembangunan Pura Dalem Agung Padangtegal. Antara Pekak Banban/I Banban dan Ki Banban menurut analisis penulis adalah orang yang sama, yaitu pertama antara predikat pekak dan ki sama-sama merujuk makna orang tua, bahkan “ki” dalam konteks tertentu adalah predikat gelar pada orang yang dianggap memiliki keahlian khusus atau pintar. Maka benar asumsi Budiana jika Ki Banban diberikan gelar ki oleh Puri Agung Peliatan karena keahliaannya sebagai undagi.
Kedua, predikat “I” adalah untuk menyatakan seseorang dengan jenis kelamin pria/laki-laik kalau perempuan disebut dengan “Ni” dan jelas kalau dikorelasikan dengan predikat “pekak” yang artinya pria/lelaki sepuh (tua) maka Pekak Banban adalah sebutan penghalusan untuk orang yang sudah sepuh/tua. Ketiga, perlu dicatat bahwa Tegalalang sebagai asal Ki Banban menurut Budiana adalah nama kecamatan dari Desa Adat Kebon, oleh sebab itu secara letak sangat mungkin kalau yang disebut Pekak Banban/I Banban itu adalah Ki Banban.
Ida Ratu Lingsir tiba di Desa Adat Kebon | Foto: Dok: Km Wiraadhi
Selanjutnya, pertalian antara Desa Adat Kebon dengan Desa Adat Padangtegal juga diyakini berawal dari sebuah peristiwa saat masih bergelar Ratu Kompyang melakukan kegiatan ngelawang, yaitu menari berkeliling dari desa ke desa, menari di setiap depan rumah (lawang) warga masyarakat yang dilalui. Menurut data dari humas media sosial Desa Adat Kebon, pada saat ngelawang ketika malam hari tiba Ratu Kompyang mererepan (beristirahat) di Pura Dalem Agung Padangtegal, lalu ketika akan balik menuju Desa Adat Kebon badan barong macan yang bergelar Ratu Kompyang dibelit oleh ratusan ular.
Pada saat badan barong dililit oleh ratusan ular, masyarakat Desa Kebon yang saat itu ikut ngelawang tidak henti-hentinya memanjatkan doa agar ular-ular tersebut segera pergi. Namun, ternyata alam berkehendak lain atau mungkin sudah jodoh Ratu Kompyang jenek (menetap) di Pura Dalem Agung Padangtegal sampai saat ini.
Sehingga, oleh masyarakat Kebon barong macan bergelar Ratu Kompyang tersebut dibiarkan dan masyarakat Desa Kebon kembali pulang ke desanya. Mulai saat itu Ratu Kompyang kemudian berstana di Desa Adat Padangtegal dan kemudian bergelar Ida Ratu Lingsir.
Cerita di atas juga diwarisi oleh masyarakat Desa Adat Padangtegal. Dari kedua hubungan tersebut jelas terdapat pertalian spiritual melalui media barong antara Desa Adat Padangtegal dan Desa Adat Kebon. Lebih lanjut, dari cerita bahwa Ratu Lingsir (Ratu Kompyang) Desa Adat Padangtegal yang diyakini oleh masyarakat Desa Adat Kebon berasal dari desa mereka maka petedunan Ratu Lingsir kali ini dianggap sebagai peristiwa budal (kembali).
Jika berpijak pada cerita Desa Adat Kebon maka petedunan ini adalah kali pertama sejak peristiwa Ratu Kompyang dibelit ratusan ular di Pura Dalem Agung Padangtegal. Dua hal ini yang menyebabkan petedunan Ratu Lingsir ke Desa Adat Kebon dianggap spesial. Rasa spesial itu terlihat terutama dari antusiasme krama Desa Adat Kebon mempersiapkan segala hal untuk memendak (menyambut) tedunnya Ida Ratu Lingsir.
Kulkul pejenengan duwe Khayangan Tiga Desa Adat Kebon dibunyikan pada tiap perbatasan desa. Hal ini adalah sebagai tanda Ida Betara Ratu Lingsir (Ratu Kompyang) sampun budal, begitu narasi dari humas Desa Adat Kebon. Sekali lagi petedunan Ratu Lingsir kali ini ke Kebon atau bahkan nanti sekalipun akan tetap dipandang sebagai moment budalnya (kembalinya) Ratu Kompyang oleh masyarakat Desa Adat Kebon.
Setibanya Ida Ratu Lingsir di ujung utara Desa Adat Kebon tepatnya di Pura Puseh, masyarakat sudah siap untuk melakukan ritual pemendakan. Kober, tedung, canang rebong sebagai sarana pemendakan sudah siap dan disiapkan dengan matang. Tidak lupa Baleganjur dari pemuda Desa Adat Kebon juga sudah disiagakan.
Begitu Ida Ratu Lingsir turun dari truck dan mulai menapaki jalan, tampak laki-perempuan masyarakat Desa Adat Kebon duduk bersila dan bersimpuh dengan tangan mencangkup ke atas. Khusyuk, hening, khidmat, walaupun gamelan Baleganjur sudah bertalu-talu dengan sigrak. Penulis yang juga ikut dan ngabih (memapah) Ida Ratu Lingsir merasakan sikap sujud bakti yang disertai kerinduan. Dada seperti sesak rasanya melihat peristiwa ini.
Masyarakat Desa Adat Kebon menghaturkan bhakti | Foto: Dok. Km Wiraadhi
Di Sepanjang jalan dari Pura Puseh di sisi utara desa menuju Pura Dalem yang berlokasi di sisi selatan desa, masyarakat Desa Adat Kebon duduk bersila di depan rumah mereka sembari menghaturkan bhakti. Para tetua yang masih ingat dan yakin akan cerita Ratu Kompyang yang kini disebut Ida Ratu Lingsir adalah sesuhunan desa mereka dahulu. Merka menatap pelawatan Ida Ratu Lingsir dengan sangat dalam, bhakti, bahkan sangat kasih sekali. Sekali lagi saya yang kebetulan dapat melihat peristiwa ini menjadi sangat terharu. Suara hingar bingar Baleganjur dan Gong Suling seperti teredam oleh rasa bhakti masyarakat Desa Adat Kebon.
Sesampainya Ida Ratu Lingsir di Jaba Pura Dalem Desa Adat Kebon dilaksanakan bhakti segeh agung dan pesambleh. Setelah usai bhakti segeh agung dan pesambleh Ida Ratu Lingsir diiring menuju utama mandala untuk kemudian melinggih di paruman (sebuah balai suci yang berukuran agak lebar). Di paruman telah melinggih pula Ida Ratu Mas (pelawatan berwujud barong ket) yang berstana di Pura Puseh Desa Adat Kebon.
Sedangkan Ida Ratu Gede dan Ratu Alit melinggih di Gedong beliau. Setelah katuran melinggih Ida Ratu Lingsir dihaturkan bhakti pereman yang merupakan persembahan dari krama Desa Adat Kebon. Pada persembahan bhakti pereman ini krama Desa Adat Kebon dan Desa Adat Padangtegal bersama-sama menghaturkan bhakti kehadapan Ida Betara sami.
Ida Ratu Lingsir tiba di Pura Dalem Desa Adat Kebon | Foto: Dok. Km Wiraadhi
Setelah puput (selesai) katuran bhakti maka tiba saatnya Ida Ratu Lingsir untuk metulak wali (kembali) menuju Desa Adat Padangtegal. Momen haru kembali terjadi, seorang wanita paruh baya di samping saya berguman sembari mencangkupkan tangan. “Mih be sagat budal Ida, jeg mekite ngetel yeh peningalane.”—artinya: “Wah, tidak terasa Ida (Ratu Lingsir) akan kembali, serasa ingin menangis.”
Belum hilang rasa haru saya yang kebetulan saat itu diberikan tugas untuk memastikan pengawin dan tedung ada yang memundut bersama ketua Yowana Desa Adat Padangtegal, krama Desa Adat Kebon tua muda berebut untuk meminta ngayah mundut kober dan tedung Ida Ratu Lingsir.
Setelah Ida Ratu Lingsir budal menurut humas Desa Adat Kebon, di desa mereka terjadi hujan disertai angin dan setelah hujan reda muncul bintang gemintang. Hal ini diyakini sebagai tanda Ida Ratu Lingsir telah memberikan anugrahnya. Sungguh melalui peristiwa petedunan Ida Ratu Lingsir ke Desa Adat Kebon seperti menggurat Ratu Kompyang pada masa lalu serta memaknai Ida Ratu Lingsir ke depan.
Membangun Solidaritas Melalui Media Pelawatan Barong
Petedunan Ida Ratu Lingsir (Ratu Kompyang) ke Desa Adat Kebon secara spiritual adalah urusan keyakinan. Keyakinan mengenai apa yang dipercaya dan telah terinternalisasi dalam sanubari. Lebih dalam ketika berbicara masalah keyakinan, dalam konsep Hindu di Bali terdapat sarana atau media konsentrasi berupa pretima atau pelawatan.
Pretima atau pelawatan merupakan bayangan dari Tuhan yang kita puja. Pretima dan pelawatan hadir mengingat sebagai manusia kita memiliki kekurangan untuk dapat mengkonsentrasikan pikiran ketika akan menyembah Tuhan. Selain memang masuk unsur kesenian yang menjadi salah satu penting dalam tatanan agama Hindu di Bali. Ratu Kompyang adalah salah satu pelawatan berwujud barong macan yang dipuja oleh Desa Adat Padangtegal dan juga diyakini oleh Desa Adat Kebon. Melalui pelawatan Ratu Kompyang Desa Adat Padangtegal dengan Desa Adat Kebon memiliki hubungan keakraban bahkan persaudaran walaupun tidak turun langsung secara genealogi.
Barong sebagai salah satu artefak seni sering dimaknasi sebagai perekat kebersamaan. Dimaknai sebagai perekat kebersamaan mengingat kata barong sebagai bareng. Jadi, dengan mengusung barong maka kita dapat bareng–bareng atau berbarengan. Karena faktanya kalau sudah merujuk pada artefak barong maka dibutuhkan kebersamaan tidak cukup satu atau dua orang.
Selain itu, menurut Anak Agung Gede Rahma, salah seorang seniman bereputasi dari Kapal, Barong itu berasal dari kata bara dan Ong. Bara adalah kekuatan sedangkan Ong merujuk pada kesemestaan, jadi barong merupakan sari pati energi alam semesta. Tjokorda Gede Raka Sukawati, salah satu undagi barong dari Puri Agung Ubud, juga menyatakan bahwa barong adalah wujud dari semesta yang kita kelola.
Ketut Budiana mengatakan barong adalah penyatuan beragam rasa yang dielaborasi dengan aturan-aturan sakral dan sentuhan seni. Maka jika disimpulkan dari beberapa pernyataan tokoh tersebut tentang barong adalah sebuah sarana untuk merekatkan kebersamaan bhuana agung dan bhuana alit (alam besar alam kecil), antara semesta dan manusia melalui sentuhan rasa indah-kesenian.
Ida Ratu Lingsir Katurang Bkahti Pereman di Pura Dalem Desa Adat Kebon | Foto: Dok. Km Wiraadhi
Momentum sepetedun Ratu Lingsir Desa Adat Padangtegal lunga ke Pura Dalem Desa Adat Kebon adalah peristiwa yang tidak terjadi secara rutin. Hal ini mengingat beberapa hal seperti ketentuan adat (awig/perarem) serta hari baik yang dianggap tepat untuk nuwur (mengundang) Ratu Lingsir Desa Adat Padangtegal untuk lunga katuran bhakti oleh krama Desa Adat Kebon.
Bagi Desa Adat Kebon peristiwa tedunnya Ida Ratu Lingsir Desa Adat Padangtegal dimaknai sangat khusus. Tercatat dalam pengamatan saya yang juga sebagai baga (seksi) kesenian Desa Adat Padangtegal begitu paruman (rapat) prejuru Desa Adat Padangtegal memutuskan bahwa Ida Ratu Lingsir akan tedun ke Pura Dalem Desa Adat Kebon pada tanggal 12 September 2024, seketika humas media sosial Desa Adat Kebon memposting instagram story dengan unggahan foto Ida Ratu Lingsir berikut keterangan narasi (caption) yang menerangkan bahwa pada tanggal tersebut Ida Ratu Lingsir akan lunga.
Sampai tahap ini saya dapat merasakan antusias bahkan ada rasa kangen/rindu yang membuncah dari pihak Desa Adat Kebon akan menyambut peristiwa ini. Di samping itu, dari pihak Desa Adat Padangtegal juga menyambut antusias petedunan Ida Ratu Lingsir ini dengan membuat eed (round down) yang akan digunakan sebagai acuan teknis, pembagian tugas serta informasi bagi seluruh warga.
Kemudian, pada hari Kamis tanggal 12 September 2024 sekitar pukul 17.00 Wita Ida Ratu Lingsir sudah tiba di Desa Adat Kebon. Masyarakat kedua Desa Adat Padangtegal dan Kebon mulai berbaur tanpa sekat. Momen inilah yang kemudian saya amati serta tangkap.
Masyarakat Desa Adat Padangtegal dan Kebon mulai saling sapa. Yang belum kenal berkenalan, yang sudah kenal menanyakan kabar serta para prejuru saling bercakup tangan kemudian bergandengan sambil bercengkrama ringan. Sungguh, di balik pelawatan barong Ida Ratu Lingsir terjalin sisi humanis yang rasanya tidak seintim ini pada rutinitas biasa. Mungkin dalam rutinitas biasa kedua masyarakat Desa Adat Padangtegal dan Kebon sering bertemu dalam pekerjaan atau sekedar melintasi desa, akan tetapi tidak terjadi sapaan, cengkrama bahkan rangkulan yang begitu intim.
Boleh dikatakan karena sepetedun Ida Ratu Lingsir masyarakat guyub dalam keintiman. Tidakah ini yang sejatinya kita puja sebagai manusia yang zoon politicon? Mendudukan sisi sosial-humanis sebagai hal yang utama dalam kehidupan ini? Tidakah pelawatan barong adalah sebagai sarana dan simbol rajutan humanis sosial-manusia?
Melihat peristiwa petedunan Ida Ratu Lingsir ke Desa Adat Kebon, lebih jauh saya memaknai bahwa ini adalah perayaan pertemuan. Pertemuan insan masyarakat yang mungkin belum pernah kenal menjadi kenal dan bahkan jika belum berelasi menjadi berelasi.
Jika dalam kehidupan ini manusia harus mengisi tidak hanya persoalan spiritual tetapi bagaimana mengisi hidup untuk saling menghidupi dari sisi ekonomi, misalnya. Salah satu contoh, pada salah satu kerumunan yang di dalamnya terdiri dari campuran krama Desa Adat Padangtegal dan Kebon saya mendengar sebuah dialog menarik.
“Oh, uli dini (jaba Pura Dalem Desa Adat Kebon sisi barat) ngidang ke obyek Cekinge e? Yeh lung asane men ngajak tamu mejalan uli dini sing rame ajak krodit.”—Dari sini (jaba Pura Dalem Desa Adat Kebon sisi barat) ternyata terdapat akses menuju ke obyek wisata Ceking? Dan sangat bagus untuk mengajak tourist jalan-jalan karena tidak ramai dan crowded.
Bagi pelaku jasa pariwisata percakapan ini adalah awal kegiatan ekonomi yang digunakan untuk menghidupi bahkan menunjang kegiatan spiritualnya. Maka saat peristiwa petedunan Ida Ratu Lingsir lunga ke Desa Adat Kebon tidak hanya mengenai peristiwa spiritual sebagai tujuan utama, namun juga melahirkan hubungan persaudaran bahkan jalinan relasi ekonomi yang dapat dibangun oleh kedua belah pihak.
Saya yakin masih banyak lagi dialog yang dapat membangun relasi dalam bentuk apapun itu. Bathin/rohani kita dipupuk oleh bhakti dan jasmani masyarakat ditautkan dengan relasi-relasi humanis. Inilah realitas barong yang bareng dan mebarengan yang sejatinya bermakna kebersamaan.
Peristiwa petedunan Ida Ratu Lingsir Desa Adat Padangtegal ke Pura Dalem Desa Adat Kebon merupakan peristiwa yang, sekali lagi, tidak sering terjadi. Dibutuhkan momentum yang tepat berdasarkan hari baik serta kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu Desa Adat Padangtegal dan Desa Adat Kebon untuk kembali menggelar petedunan Ida Ratu Lingsir.
Momentum yang dapat dikatakan langka ini harusnya dimaknai sebagai sebuah awal dalam membangun relasi bahkan solidaritas. Tidak hanya dalam cakupan religiusitas, namun ke depan sinergi membangun desa masing-masing lewat kerja sama dari segi moril dan material dapat diwujudkan. Ida Ratu Lingsir adalah pelawatan atau bayangan dari Sang Hyang Widhi sebagai penguasa semesta.
Sebagai penguasa semesta Beliau menggerakkan hal paling esensial yang tersirat dalam pemujaannya, yaitu stimulus jalinan solidaritas antara masyarakat. Semoga antara Desa Adat Padangtegal dengan Desa Adat Kebon selalu diberkahi kesehatan, kesadaran, kecerdasan, serta etos kerja tinggi untuk saling mendukung dan membangun bhuana agung dan bhuana alit—tentu atas anugrah dari Ida Ratu Lingsir-Ratu Kompyang sebagai bayangan dari kekuatan semesta.[T]
Gumi Galang Apadang, 2024