9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Mengenang 13 Tahun Tragedi Sebelas (4): I Nyoman Sulatra, Menggantung Nyawa pada Dingklik Reong

I Ketut SerawanbyI Ketut Serawan
September 24, 2024
inKhas
Mengenang 13 Tahun Tragedi Sebelas (4): I Nyoman Sulatra, Menggantung Nyawa pada Dingklik Reong

Ilustrasi ombak diolah dari Canva

PUKUL 24.00 wita adalah waktu bagi malam mencapai paripurna. Waktu yang membuat I Nyoman Sulatra tak kuasa menahan kantuk. Di kepalanya, hanya ingin tidur meskipun sebentar. Karena itu, ia memilih duduk paling depan, jauh dari suara mesin, lalu bersender pada bagian lambung kiri sampan yang ditumpanginya. Sampan melaju. Sesekali berguncang. Membuat tubuh Sulatra sedikit oleng. Namun, bukan alangan bagi Sulatra untuk memejamkan mata.

Ia terlelap. Hanya beberapa detik ketika sampan yang ditumpanginya tiba-tiba dihantam gelombang besar. Tak ada komproni. Gelombang besar itu datang menjulang dari kegelapan, lalu menghantam lambung kiri sampan tanpa ampun. Hanya sekali hantaman, sampan yang ditumpangi Sulatra langsung terbalik.

Begitulah I Noman Sulatra memulai ceritanya. Pria yang akrab disapa Mansu ini merupakan salah satu korban yang selamat dari “tragedi sebelas” di perairan Jungutbatu (21/9/20211) bersama 10 sekaa angklung lainnya.

Ia tak menyangka jika Tuhan bermurah hati memanjangkan napasnya. Namun demikian, ia tetap merasa sedih setiap mengenang tragedi itu. Sambil menahan sisa kepiluannya, ia berusaha melanjutkan ceritanya.

Ketika sampan terbalik, ia mendapati diri terperangkap di bawah sampan. Terperangkap seorang diri dalam kondisi pengap. Tak ada celah udara. Napasnya seperti tersangkut di tenggorokan. Kemudian, ia berusaha menyelam lebih ke bawah agar bisa keluar dari kubangan badan sampan.

Namun, sial. Seseorang mencekik lehernya dari belakang. Padahal, sebelumnya ia tidak mengendus ada orang lain di dalam sampan. Entahlah. Tiba-tiba, dia menerima cekikan begitu kuat. Ia berusaha melepas tangan itu sambil menyelam lebih ke dalam. Kali ini usahanya berhasil. Ia terbebas dari cekikan entah dari tangan siapa.

Pria berkumis ini menyembul ke permukaan air, tak jauh dari badan sampan. Ia menarik napas panjang, sambil melihat sekaa lainnya berpegangan pada badan sampan. Lalu, Mansu hendak bergerak mendekati badan sampan itu. Kali kedua, lehernya dicekik oleh seseorang dari belakang. Kembali ia berjuang untuk melepaskan cengkraman tangan itu. 

Mansu terlambat muncul ke permukaan karena sempat sedikit terlelap (ketiduran). Ia beruntung karena mulutnya dihantam sesuatu. Hantaman itulah yang betul-betul membuat ia sadar. Ia sadar bahwa sampan yang ditumpanginya mengalami musibah.

Sambil menahan rasa sakit di mulutnya, ia berusaha berbagi pegangan pada badan sampan yang tergolek (terbalik) tak berdaya itu. Di samping insting dan spotanitas, berbagi pegangan tersebut merupakan instruksi dari sang kapten sampan. Tujuannya tiada lain yakni untuk menjaga badan tetap mengambang. Namun sialnya, beberapa detik kemudian, sebuah gelombang besar kembali datang menghantam sampan yang terkulai itu.

Akibatnya, Mansu dan kawan-kawan terpental tak tentu arah. Sekaa angklung itu pecah, tercerai burai. Badan sampan juga menghilang entah ke mana. Saat itulah, Mansu mencium aroma kematian begitu kuat. “Hidup sudah berakhir,” pikirnya. Lalu, bagaimana dengan nasib istri dan anak-anaknya? Tiba-tiba bayang-bayang istri dan anaknya terlintas silih berganti di kepalanya.

Rupanya, otaknya belum bisa menerima takdir kematian. Ia tetap hendak melawan walaupun tidak begitu mahir berenang. Maklum, ia termasuk anak pegunungan. Kalau toh bisa berenang, juga tidak menjamin selamat. Pasalnya, gelombang terus membuncah. Arus laut dirasakannya begitu kuat.

Saking kuatnya, dalam sekejap, tubuh Mansu terseret ke tengah laut melewati tinggangan (perbatasan pasang surut air laut). Mansu berada di ujung ajal. Jarak kematian begitu dekat. Mungkin, tinggal satu kedipan mata.

Bertahan dengan Dingklik

Dalam situasi kritis itulah, ia melihat papan bidang mengambang mendekati dirinya. Papan itu seperti lahir dari gemuruh gelombang. Seperti ada kiriman dari kegelapan malam. Awalnya, ia mengira papan itu serpihan dari badan sampan. Ia segera menangkap papan bidang tersebut. Ternyata, sebuah papan dingklik, tempat duduk penabuh reong angklung.

Dingklik itu menjadi “percik harapan baru” bagi Mansu. Harapan untuk bisa bertahan mengambang. Karena itu, pria asal Bukit Mungkul ini langsung menyambarnya. Ia pegang kuat-kuat agar tidak terlepas dari badannya.

“Kalau tidak ada dingklik  itu, mungkin saya sudah sampai pada alamat kematian,” terangnya dengan nada penuh syukur.

Dingklik membawa Mansu memasuki babak baru “pengambangan diri”.  Namun, ia tidak mau memegang dingklik itu secara terus-menerus. Karena ia sadar bahwa dingklik itu sewaktu-waktu bisa terlepas dari cengkraman tangannya. Dingklik itu bisa saja terlepas karena hantaman gelombang atau diseret arus laut yang kuat. Pun bisa terlepas karena faktor kelelahan.

Situasi boleh chaos dan panik, tetapi rasional tetap jalan. Itulah yang mendasari Mansu mengambil keputusan yang jitu. Ia melepas kamennya. Lalu, kamen itu dijadikan alat untuk mengikatkan dirinya dengan dingklik tersebut. Bukan sembarang ikatan, tetapi ikatan yang kuat dan permanen. Sebagai pengangon sapi, ia jelas memiliki keterampilan tali-temali yang mumpuni.

Mansu merasa sedikit bersyukur atas kehadiran dingklik itu. Setidaknya, ada  pelampung emergency. Perannya kurang lebih seperti lifejacket. Ya, karena kapal motor tradisional (seperti sampan) memang tidak menyediakan lifejacket. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada lifejacket, dingklik pun kanggo.

Karena itu, dingklik tersebut menjadi penguasaan Mansu sepenuhnya. Akan tetapi, “drama nyawa” belum berakhir. Ia akan menjalani adegan mengambang entah sampai kapan. Mansu menyadari bahwa hanya dia (dan Tuhan) yang bisa menyelamatkan nyawanya.

Berteriak minta tolong bukan solusi saat itu. Sebaliknya, berteriak minta tolong hanya menghambur-hamburkan tenaga untuk mempercepat menguras energi. Karena ia tahu, masyarakat sekitar Pantai Jungutbatu sedang larut dalam tidur nyenyaknya.

Sebetulnya, Mansu mendengar sayup-sayup orkestra teriakan minta tolong. Ia menduga teriakkan itu berasal dari teman-temannya yang terdampar ke pinggir pantai. Kedengarannya begitu padu dan kompak hingga membangunkan malam, membangunkan gemuruh air laut—tetapi tidak berhasil membangunkan warga.

Oleh sebab itu, Mansu memilih diam dan pasrah, sambil menjaga tetap mengambang. Tindakan ini pun cukup menguras energinya. Pelan-pelan ia mulai merasakan kakinya pegal-pegal. Lama-kelamaan, ia tidak merasakan apa-apa pada bagian kakinya. Padahal, menurut Mansu kondisi air laut tidak terlalu dingin waktu itu.

Energi bertahan Mansu mulai mengendor. Ketika badannya diseret makin ke tengah, Mansu sudah tak sanggup melawan. Ia biarkan tubuhnya diombang-ambing oleh arus laut. Semangat hidupnya menjadi sedikit meredup.

Tubuh Mansu luntang-lantung di tengah laut tak tentu arah. Waktu itu, arah memang tidak penting bagi Mansu. Yang terpenting bagi dia cuma mengambang, alias tidak tenggelam. Karena itu, ia terus berusaha menjaga keseimbangan dengan cara membenamkan sedikit mukanya di permukaan laut. Sementara tubuhnya dalam kondisi lurus, membentang. Kalau tidak demikian, dingklik itu tidak kuat menahan beban badannya. Hal ini tentu berbahaya bagi keselamatan Mansu.

Kurang lebih 4 jam, adegan luntang-lantung terjadi. Hanya langit, kegelapan dan laut yang menjadi saksi. Hanya langit, kegelapan dan laut pula yang bisa membaca pikiran Mansu saat itu. Bukan hanya tubuh Mansu yang mengambang tetapi pikirannya juga ikut mengambang. Pada saat inilah, Mansu mendengar suara mesin sampan kecil. Sekitar pukul 04.00 pagi. Makin lama semakin mendekati dirinya.

Mansu sedikit lega. Dari suaranya, ia tahu orang yang berada di atas sampan itu adalah warga sekitar Jungutbatu. Mansu digotong naik ke atas sampan, lalu dibawa ke daratan. Tenaganya mendadak bangkit lagi. Karena itu, ketika diturunkan ia nekat agar tidak dipapah. Namun apa daya. Ia terpelanting. Ia tidak bisa membohongi tubuhnya yang lemas. Karena itu, ia langsung dilarikan ke puskesma terdekat untuk dirawat.

Sambil terbaring lemas, ia membentangkan ingatan sebelum tragedi itu. Menurutnya, ada satu firasat buruk yang tak terbaca oleh diri dan sekaa lainnya. Ketika sekaa hendak naik ke sampan Sri Murah Rezeki, ada 3 sekaa jatuh tersungkur di tempat yang sama. Mereka  jatuh bersama alat angklung yang dibawanya. Akan tetapi, semua sekaa menganggap kejadian itu sebagai peristiwa biasa.

Setelah tragedi terjadi, ia baru menyadari bahwa jatuhnya tiga temannya itu adalah pertanda buruk. Pertanda bahwa penyeberangan malam itu memang tidak mendapat restu dari semesta. Selain itu, Mansu juga menuturkan bahwa pihak keluarga pemilik karya juga menyarankan untuk menyeberang keesokan harinya. Namun, sekaa angklung Desa Adat Sebunibus tidak mengindahkan saran tersebut. Akhirnya, nasi remuk menjadi bubur. “Tragedi sebelas” terjadi dan selalu membangunkan luka trauma setiap Mansu mengingatnya.[T]

BACA ARTIKEL SEBELUM DAN BERIKUTNYA:

Mengenang 13 Tahun “Tragedi Sebelas” [1]: Nusa Penida Kehilangan Seniman Ngaji Bersaudara Asal Sebunibus
Mengenang 13 Tahun “Tragedi Sebelas” [2]: Seniman I Nyoman Pindah, Asa yang Tersisa dari Sebunibus
Mengenang “Tragedi Sebelas” (3): Nusa Penida Kehilangan Patih Agung Legendaris Asal Sebunibus—I Made Sekat
Sembilan Tahun Sebelum “Tragedi Sebelas” (5), Nusa Penida Kehilangan Seniman Muda Bertalenta—I Gede Suradnya
Tags: Nusa Penida
Previous Post

Mengenang “Tragedi Sebelas” (3): Nusa Penida Kehilangan Patih Agung Legendaris Asal Sebunibus—I Made Sekat

Next Post

Sembilan Tahun Sebelum “Tragedi Sebelas” (5), Nusa Penida Kehilangan Seniman Muda Bertalenta—I Gede Suradnya

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

Next Post
Sembilan Tahun Sebelum “Tragedi Sebelas” (5), Nusa Penida Kehilangan Seniman Muda Bertalenta—I Gede Suradnya

Sembilan Tahun Sebelum “Tragedi Sebelas” (5), Nusa Penida Kehilangan Seniman Muda Bertalenta—I Gede Suradnya

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co