NGAMPAN adalah sebutan lain dari tebing-tebing dari timur ke barat sepanjang Pura Geger di Desa Adat Peminge hingga Uluwatu di Desa Adat Pecatu, bahkan sampai Jimbaran di Kecamatan Kuta Selatan, di Gumi Delod Ceking.
Istilah ngampan sama dengan Paparangan di Nusa Penida, kata I Ketut Langkir Kepala SMAN 1 Dawan, Klungkung. Secara topografi, antara Nusa Penida dan Gumi Delod Ceking memang mirip, baik flora maupun faunanya. Ikan-ikan laut Nusa Penida dan ikan laut Delod Ceking pun mirip.
Seperti telah saya ulas sebelumnya, ngampan di Gumi Delod Ceking berada di wilayah Desa Adat dengan status berbeda. Setidaknya ada lima desa adat memiliki wewidangan ngampan di Gumi Delod Ceking: Peminge, Kutuh, Ungasan, Pecatu, dan Jimbaran. Kelima Desa Adat yang ber-ngampan itu membentuk setengah lingkaran ibarat cincin yang membatasi laut Pantai Selatan Bali dari gempuran ombak, sebagai penahan gelombang.
Alam Delod Ceking telah menyiapkan sempedan pantai penawar abrasi, yaitu ngampan. Pasir-pasir pun secara alami disebar secara merata. Ketika dikeruk dan direkayasa kemudian dipindahkan karena kerakusan manusia, keselarasannya akan terganggu. Dampak ikutannya pun bisa abrasi pantai. Begitulah antara pasir laut dan ngampan sesungguhnya saling mendukung keseimbangan secara alamiah.
Namun, eksistensi ngampan di masing-masing desa adat berbeda-beda. Di Desa Adat Peminge, misalnya, ngampan sudah dikuasai investor. Akses turun ke laut bagi bandega tradisional pun menjadi terbatas padahal ia telah merawat sejak leluhurnya ada. Tidak ada lagi jalan tradisional berkearifan lokal yang disebut rurung klasiran menuju mulut pantai yang penuh taksu itu.
Rurung klasiran warisan Belanda itu sungguh visioner dalam memberikan akses berkeadaban dan berkebudayaan. Tiada krama yang kabebeng ‘buntu’ tanpa akses. Kabebeng identik dengan kasepekang dengan hukum pengucilan. Soal pemetaan akses, kita patut berguru kepada Belanda yang visioner memberikan jalan keluar dari isolasi terpencil.
Bersyukurlah, ngampan menjadi karang pamupon Desa Adat Kutuh sehingga hak kelolanya di bawah desa adat. Walaupun jalan-jalan tradisional yang disebut rurung klasiran selebar 3 meter menuju pantai sudah tiada.
Inisiatif membelah tebing pada awal reformasi (1999) telah memproteksi jalur menuju pantai sebagai jalan utama melasti sekaligus menjadi akses utama menuju kawasan Wisata Pantai Pandawa yang mendunia itu. Walaupun sejumlah rurung klasiran sudah tiada, setidaknya krama Desa Adat Kutuh punya dua akses utama menuju laut, di Pantai Gunung Payung dan di Pantai Pandawa.
Hal serupa juga terjadi di Desa Adat Ungasan dengan pengelolaan ngampan di bawah kendali desa adat. Sementara di Desa Adat Pecatu, hak kelola ngampan ada yang menjadi pelaba pura dan sebagian telah dikuasai investor.
Penguasaan ngampan oleh investor semestinya dapat dikendalikan oleh desa adat melalui pararem sehingga keasrian dan kelestariannya dapat dijaga dan dirawat. Harmoni pun dapat dinikmati tidak hanya oleh penduduk sekitar tetapi juga oleh mereka yang lewat sebagai pelancong.
Jika tebing-tebing di Gumi Delod Ceking itu disebut ngampan, maka daratan di tengah laut disebut lampan. Lampan tampak bila air surut biasanya pada bulan mati (tilem) dan purnama. Di sinilah bandega tradisional berburu ke laut untuk memenuhi kebutuhan pangan dan berguru untuk memenuhi kebutuhan spirit kehidupan yang dalam bin mahaluas, seluas samudera.
Di lampan, bandega tradisional bisa mendapatkan aneka kerang, kepiting, gurita, toro-toro ‘isi bulu babi’ yang mahaenak, juga bulung ‘rumput laut’. Semua itu sangat cocok untuk memenuhi gizi keluarga apalagi langsung diolah setelah didapat tanpa mampir ke kulkas.
Pastilah fresh maknyos. Begitulah lampan, daratan di tengah laut menyimpan aneka sumber makanan yang tiada habis asal dijaga dan dirawat dengan humanis sehingga biotanya tidak punah.
Sekarang lampan bukan hanya melayani bandega tradisional untuk memenuhi kebutuhan akan lauk-pauk keluarga, melainkan juga menjadi objek wisata yang memukau bagi pelancong dari berbagai negeri. Mereka memenuhi kebutuhan sekunder, yaitu plesir yang rekreatif.
Penyewaan kano di Pantai Pandawa, misalnya, kala laut surut, menjadikan lampan sebagai latar foto boot yang alami berdebur ombak bertebing ngampan. Om-om dan mbak-mbak pasti suka cita mengabadikan. Ibarat pasangan raja dan ratu bersiram di laut lalu nginyah ‘berjemur‘ di lampan larut bersenyawa dengan angin laut yang membawa kenangan ke ujung samudera.
Jika mereka sedang bercinta, imajinasi pun dibangun. Cinta sedalam dan seluas samudera. Lampan Delod Ceking jadi saksi. Duh, mesranya!
Begitulah, lampan menyediakan sumber makanan dan narasi tanpa batas. Lebih-lebih pagi saat sunrise atau sore saat sunset dengan paduan jukung merapat ke darat. Sungguh lukisan alam superindah dengan latar ombak membentur lampan.
Ruang selfi terbuka berkeagungan semesta raya. Bila Chairil Anwar bilang, “sedang dengan cermin aku enggan berbagi”, para pelancong kini justru sebaliknya, “Aku selfi, maka aku ada”. Bahkan bisa jadi viral yang sekaligus mempromosikan kawasan.
Kawasan di antara ngampan dan lampan disebut sekeh. Sekeh juga menjadi ladang bandega tradisional untuk berburu ikan-ikan kecil, seperti tawah, sangsit, jretjet, muduk. Penggunaan jaring di surut air laut pasti tenang, tidak terlalu membahayakan bagi mereka yang tidak bisa berenang. Akan tetapi, mereka harus tetap waspada karena banyak ranjau bulu babi yang membahayakan atau ikan-ikan yang salah tangkap atau sekadar lewat bisa mencelakakan.
Baik bandega di sekeh maupun di laut lepas sama-sama punya tantangan. Oleh karena itu, perlu waspada dan eling. Laut yang dalam bahasa Bali disebut pasih, sering juga dimaknai kapah sih—‘jarangmemberi’.
Untuk mendapatkan anugerah pemberian dari Dewa Baruna, bendega dituntut dan dituntun untuk melaksanakan dharma bandega dengan kesadaran bahwa laut kaya tetapi tenget dan membahayakan. Pelih agulikan, bukan ikan yang didapat, bisa jadi justru dimangsa ikan.
Oleh karena laut itu tenget, bandega perlu terus inget, eling, dan waspada agar selamat dalam menempuh pendidikan maritim di laut senyatanya. Pendidikan demikian bisa berbuah mutiara untuk memuliakan kehidupan.
Pada akhirnya, bandega berkearifan lokal itu akan kembali memuliakan laut tidak saja dalam konteks kontak mencari sumber makanan, tetapi juga memuja spirit laut dalam ritual segara-giri, ritual nyegara-gunung.[T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT