SAFAR merupakan bulan ke-2 dari Tahun Hijriyah (tahun dalam Islam). Pada akhir bulan Safar, tepatnya pada hari Rabu, yang dikenal dengan istilah Rabu wekasan, banyak masyarakat menunaikan do’a bersama untuk memohon keselamatan dan tolak-balak.
Rabu wekasan identik dengan hari sial. Hal ini didasari pada pendapat Syekh Abdul Hamid Quds dalam kitabnya, Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail al-Azminah wash-Shuhur.
Syekh Abdul Hamid mengatakan bahwa banyak para wali Allah yang mempunyai spiritual yang tinggi (kasyaf) menganggap bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 ke bumi, dan semua itu terjadi pertama kali pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar.
Atas dasar itulah, sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia mengadakan acara tertentu yang berisi rangkaian do’a tertentu dalam rangka hari Rabu wekasan.
Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali, merupakan salah satu daerah yang secara rutin mengadakan acara tersebut, sesuai dengan tradisi yang dilakukan secara turun temurun.
Nyapar, begitu masyarakat Desa Pengastulan menyebut hari Rabu wekasan, selalu diadakan di pantai, dengan membaca suratAl-Fatihah terlebih dahulu yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., sahabat, pengikutnya-pengikutnya, dan para leluhur Desa Pengastulan.
Lalu dilanjutkan dengan pembacaan Aqidat al-Awwam dan Alhamduliman. Dan dipungkasi dengan pembacaan doa tolak-balak, sebagaimana anjuran Nabi Muhammad Saw.
Do’a-do’a dipanjatkan secara bersamaan oleh masyarakat yang hadir, bersahutan dengan desir ombak dan mesin perahu nelayan yang sedang berlayar untuk menyambung hidupnya.
Setelah serangkaian do’a dipanjatkan, masyarakat menyantap makanan hasil sumbangan dari masyarakat yang dihidangkan secara berjerjer. Makanan yang paling dominan adalah nasi plecing, yang merupakan makanan khas Desa Pengastulan.
Plecing terbuat dari daging ayam yang diproses melalui beberapa tahap: direbus, digoreng, dihancurkan, dan disuir. Lalu diberi bumbu yang terbuat dari cabai, jeruk limau, terasi, dan bumbu penyedap lainnya. Plecing di Desa Pengastulan memiliki rasa dan tekstur yang sangat berbeda dengan plecing Bali yang dikenal orang-orang pada umumnya.
Setelah makanan habis, masyarakat meminum air nyapar, yang telah didoakan oleh Datuk (baca: kakek) Jayadi, orang yang dipercayai memiliki tingkat spiritual yang tinggi dan sering menjadi rujukan setiap kali ada masalah yang sifatnya gaib di Desa Pengastulan.
Tradisi nyapar di Desa Pengastulan semakin meriah dengan adanya beberapa game outdoor oleh masyarakat, dengan memberikan hadiah kepada para pemenang yang mengikuti game tersebut.
Sebenarnya, penjelasan hari sial tidak ada dalam al-Qur’an dan hadis. Semua nasib dan keadaan telah ditetapkan oleh Allah Swt. Namun ada ulama yang membolehkan melakukan tradisi Rabu wekasan asal dengan niat yang benar. Seperti mendekatkan diri kepada Allah Swt., bertaubat, dll. Ulama tersebut adalah Imam Abdurrauf al-Munawiy dalam kitabnya Faidh al-Qadir.[T]