- Artikel ini adalah hasil dari seminar “Khazanah Rempah dalam Lontar”, program khusus Singaraja Literary Festival 2024, yang didukung Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, 23-25 Agustus 2024.
TIDAK cukup dengan kata lugas, kata kiasan dibutuhkan untuk memberi warna agar tidak terkesan monoton dalam berinteraksi. Terasa belum lengkap bertutur kata tanpa satu patah metafora, seperti itu kiranya.
Memenuhi kebutuhan bertutur kata yang berwarna, khazanah rempah-rempah turut serta mengaya metafora dalam bahasa Bali seperti cara (bojog) masisig jae, jrijin batis cara impangan jae, makunyit di alas, mabawang putih, kenyem mangle, dakin isen, kerik tingkih ketog semprong aud kelor, cara semal mongpong tingkih, aklamaran bawang, dan apakpakan base.
Cita rasa jahe itu pedas. Penutur bahasa Bali mengatakannya pengah. Meski sama-sama pengah, pengah jahe tidak sekeras pengah tabya bun (cabai hutan). Meski pedas, bisa jadi penutur bahasa Bali memilih pedas yang tidak keras sehingga muncul ungkapan cara masisig jae.
Seseorang dikatakan cara masisig jae ketika tampak kebingungan dalam menyikapi atau menanggapi sesuatu. Lebih sarkastis, cara masisig jae diungkapkan dengan cara bojog masisig jae (kera bersusur dengan umbi jahe).
Belum beranjak dari jahe, ada juga ungkapan jrijin batis cara impangan jae (jari kaki seperti rimpang umbi jahe) untuk menggambarkan pertumbuhan jari-jari kaki yang tidak lurus, akan tetapi tertekuk ke samping kiri atau kanan.
Kaki dengan jari seperti rimpang umbi jahe ini cenderung membutuhkan alas kaki yang lebih besar dari pada kaki dengan jari-jari yang tumbuh lurus. Seperti pedasnya jahe dengan pedasnya tabya bun, lebih tidak teratur pertumbuhan rimpang umbi isen (lengkuas) daripada rimpang umbi jahe sehingga ungkapan yang dipilih adalah rimpang umbi jahe, tidak rimpang umbi lengkuas.
Entah di hutan tidak ditemukan tumbuhan kunyit. Yang ditemukan hanya tumbuhan yang menyerupai kunyit, yaitu temu tis (temu lawak). Entah hal ini yang menjadi pemicu munculnya ungkapan makunyit di alas (bertemu). Entah. Saya belum pernah memasuki kawasan hutan. Hanya saja, temu tis juga tumbuh di ladang.
Dipercaya oleh tetua kami bahwa kunyit yang dipanen pada hari kajeng kliwon, dengan segera berubah menjadi temu tis pada sisa lingsehan (rumpun) kunyit yang tidak dipanen, meski itu mulanya kunyit warangan (umbi kunyit berwarna jingga pekat). Meski juga tidak dipanen bertepatan hari kajeng kliwon, tetua kami percaya bahwa lama-kelamaan warna umbi kunyit kian punah (pudar), menjadi kuning terang, walau tidak sampai menjadi temu tis.
Kemudian ada ungkapan mabawang putih. Bawang putih itu kasuna. Pengucapan kasuna seperti seirama dengan pisuna (fitnah). Bisa jadi ada hubungan timbulnya ungkapan mabawang putih dengan dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih, dalam dongeng Bali dituturkan Ni Bawang teken Ni Kasuna.
Bawang Merah dan Bawang Putih berbeda dengan Ni Bawang teken Ni Kasuna, dalam hal penokohan. Dalam dongeng berbahasa Indonesia, Bawang Merah itu tokoh antagonis, sedangkan Bawang putih itu tokoh protagonis. Berbeda dengan dongeng dalam bahasa Bali, Ni Bawang (Bawang Merah) itu protagonis, sedangkan Ni Kasuna (Bawang Putih) itu antagonis. Terjadinya perbedaan penokohan itu bisa jadi untuk menjaga irama kata kasuna yang lebih dekat dengan pisuna, sementara bawang lebih dekat dengan tawang (tahu).
Selain rimpang umbi jahe dan kunyit yang mengaya ungkapan dalam bahasa Bali, ada ungkapan kenyem mangle. Umbi bangle itu aromanya sangat menyengat. Orang yang tidak terbiasa dengan aroma menyengat, bisa jadi muntah-muntah karenanya.
Meski aromanya tidak mengenakkan, umbi bangle sangat dibutuhkan oleh mereka yang membuat satai jenis calon dan mereka yang memasak daging. Bagi tetua kami, sate calon (untuk kelengkapan sesaji pacaruan atau sesaji Hari Raya Kuningan) mesti, tidak boleh tidak, berisi umbi bangle. Satai tanpa daging ini yang tanpa umbi bangle bukanlah sate calon, akan tetapi sate nyuh (satai kelapa).
Sementara ketika memasak daging dibutuhkan umbi bangle untuk mengurangi aroma amis daging. Sebelum diolah, selama beberapa saat daging direndam air yang berisi umbi bangle yang digeprek atau diiris tipis. Umbi bangle dibutuhkan melengkapi bumbu ketika memasak ikan laut. Ikan laut membutuhkan bumbu level tinggi untuk mendapatkan cita rasa sesuai selera. Tanpa umbi bangle, bumbu ikan laut masuk kategori bumbu level lumah (rendah).
Untuk ungkapan kenyem mangle bukan diambil dari aroma atau bentuk rimpang umbi bangle. Cenderung warna umbi bangle yang menjadi penyebab. Penutur bahasa Bali mengatakan bahwa warna umbi bangle itu putih masawang kuning, sekadar kuning. Kenyem mangle adalah senyum yang dipaksakan adanya. Tidak senyum manis. Tidak juga senyum sinis. Lebih pada senyum kecewa.
Kalau yang ini adalah umpatan atau makian. Meski umpatan atau makian, dakin isen tidak jorok terasa. Daki itu kotor, isen itu umbi lengkuas. Umbi lengkuas yang kotor tidaklah jorok. Jika proses membersihkan kotoran yang melekat pada umbi rimpang menjadi penyebab munculnya ungkapan dakin isen, saya merasakan lebih sulit membersihkan kotoran pada rimpang umbi kunyit dan bangle daripada umbi lengkuas.
Rimpang umbi kunyit mudah patah. Rimpang umbi bangle banyak akar dan aromanya menyengat. Akar dan tanah yang melekat pada rimpang umbi lengkuas yang tidak mudah dipatahkan itu lebih mudah dibersihkan. Memang cara memanen umbi lengkuas jauh lebih sulit dibandingkan dengan memanen umbi kunyit atau bangle. Entah hal tersebut menyebabkan munculnya dakin isen itu.
Munculnya ungkapan kerik tingkih ketog semprong aud kelor pada kerik tingkih masih belum saya temukan asal-usulnya. Mengeluarkan daging buah kemiri dari kulit sekeras batok kelapa itu tidak dengan cara mengikis atau mengerik, akan tetapi dengan cara dipecahkan.
Ada dua cara memecahkan buah kemiri yaitu dengan memukulnya atau dengan cara membenturkan setelah dibungkus kain. Dengan ngetogang semprong atau ngetogang bungbung, sangat mudah keluar sesuatu yang ada di dalamnya. Demikian juga ngaud don kelor itu sangat mudah. Ranting kelor yang terpisah dari pohonnya, sangat mudah rontok daun-daunnya.
Bisa jadi sebuah ironi yang menjadi penyebab munculnya ungkapan cara semal mongpong tingkih. Tupai makan buah yang masih menggelantung di pohonnya adalah biasa seperti makan buah pepaya, rambutan, mangga, bahkan buah kelapa yang batoknya keras. Tupai makan buah kemiri, belum pernah saya temukan. Kalau kecilnya ukuran buah kemiri yang menjadi penyebab munculnya ungkapan ini, buah rambutan juga berukuran kecil.
Hanya saja buah rambutan itu kulitnya lunak, sedangkan buah kemiri kulit kerasnya sekeras batok kelapa. Dan saya belum tahu pasti ungkapan cara semal mongpong tingkih ditujukan kepada siapa atau dalam keadaan bagaimana. Ungkapan yang disampaikan seperti mengejek itu belum meyakinkan saya.
Ada juga ungkapan aklamaran bawang. Satu lapis umbi bawang merah yang masih mentah memang cukup tebal, akan tetapi satu lapis bawang merah yang kering sangatlah tipis. Meski setipis lapisan bawang merah kering, satu siung bawang putih yang hanya dibungkus satu lapis kulit yang sangat tipis tidak dipilih menjadi semacam padanan ungkapan.
Ungkapan aklamaran bawang (setipis satu lapis bawang merah) ini dituturkan untuk menggambarkan sesuatu yang berbeda tipis seperti swarga nerakane mabelat aklamaran bawang (sorga dan neraka berjarak setipis kulit bawang merah kering), idup matine mabelat aklamaran bawang (untuk mengungkapkan tentang hidup dan mati), dan seger sakite mabelat aklamaran bawang (untuk mengungkapkan tentang sehat dan sakit). Ungkapan aklamaran bawang bukanlah ungkapan pesimis, akan tetapi untuk mengungkapkan hidup itu seperti perputaran roda.
Sebelum saya tik kata penutup tulisan ini, saya manfaatkan kesempatan istirahat saya. Ditekankan oleh tetua kami agar tidak berlama-lama kami beristirahat. Jika tubuh kami basah kuyup oleh keringat, rentang waktu istirahat kami adalah hanhya untuk ngiyatang peluh (tidak ada lagi keringat di tubuh kami).
Jika letih kami tidak disertai dengan keringat di tubuh, rentang waktu istirahat kami hanya apakpakan base. Rentang waktu yang dibutuhkan seseorang mengunyah sirih sampai sirih menjadi lembut, itu rentang waktu terlama untuk istirahat seseorang.[T]
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024