30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Rempah Paling Cong!

Stebby JulionatanbyStebby Julionatan
September 5, 2024
inEsai
Rempah Paling Cong!
  • Artikel ini adalah hasil dari seminar “Khazanah Rempah dalam Lontar”, program khusus Singaraja Literary Festival 2024, yang didukung Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, 23-25 Agustus 2024.

SEJAK Komunitas Mahima dan Dirjen Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengundangku berpartisipasi pada kegiaatan Khazanah Rempah dalam Lontar Bali (yang dilaksanakan di Singaraja pada 23-25 Agustus 2024) serta berkewajiban untuk menuliskan pengalaman mengikuti seminar tersebut, maka yang langsung terpikir olehku adalah: “Rempah apa sih yang paling Cong di dunia?” Ada ga sih jenis rempah asli Indonesia yang dalam penggunaannya teropresi dan mengalami penderitaan layaknya kehidupan kelompok gay atau transpuan?

Kalau bisa sih rempah yang paling teropresi itu asalnya dari Pobolinggo, kota kelahiranku. Biar membanggakan, kan? Atau, kalau seluruh prasyarat di atas tersebut sulit untuk dipenuhi, mungkin yang paling sederhana adalah: Ada ga sih rempah yang identik dengan gay?, rempah yang dulunya kerap digunakan kelompok homoseksual untuk saling bertukar kode rahasia atau malah rempah tertentu yang digunakan oleh kelompok queer untuk meretas akses semacam guna-guna dan mantra yang digunakan oleh Ni Limbur untuk menyabotase cinta Raden Ambaramadia pada Putri Ambarasari?

Tapi rupanya, tak mudah untuk menjawab pertanyaan yang bermunculan di benakku tersebut. Bahkan, hingga seminar tersebut berakhir—dan aku sudah kembali pada kegiatan keseharianku di Jakarta—rasa penasaranku belum juga terjawab.

Oia, seminar tersebut dibuka oleh Adi Wicaksono, Kurator Budaya Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 dan diisi tiga pemateri. Ada IGA Darma Putra yang membagikan pengetahuannya seputar rempah sebagai ushada (obat), Ari Dwijayanthi dengan materi rempah sebagai ganda (parfum), dan Putu Eka Guna Yasa yang menyampaikan kegunaan rempah sebagai boga (makanan).

Beberapa hal menjadi asumsiku. Mengapa hal tersebut tak mudah terkuak meski kerap kali—baik di  dalam maupun di luar seminar—kutanyakan? Pertama, sebagaimana kisah-kisah queer lainnya yang berhamburan  pada banyak teks atau naskah—bahkan yang tertulis di dalam Kitab Suci, sepertinya kisah-kisah tersebut tersamar. Mereka tersembunyi di dalam kabut tebal hetero-performatifitas.

Kedua, karena penggalian terhadap lontar terhitung masih baru, aku berasumsi bahwa belum ada peneliti yang memfokuskan diri untuk melakukan penelitian ke arah sana. Apalagi para peneliti yang saat ini meneliti lontar adalah para peneliti heteroseksual yang (bisa jadi) tidak memiliki tujuan atau kepentingan pada naskah-naskah dengan isu homoseksual.

Ketiga, adalah soal pertanyaanku. Entah pertanyaanku terlalu ‘receh’, atau justru sebaliknya, terlalu ‘mengada-ada’. Ngapain sih Stebby ini bertanya soal ini? Rempah itu nir-gender! Ga ada hubungannya dengan itu!

Sebelum lanjut, sebelum melanjutkan ulasan mengenai rempah yang paling queer, aku akan membuat semacam disclaimer terlebih dahulu kepada kawan-kawan pembaca. Pertama, meski aku penyuka rempah, aku pengguna rempah, dan kehidupanku tak dapat terelakkan dari rempah, aku bukan ahli rempah. Aku hanya seorang lulusan Kajian Gender-Universitas Indonesia yang terobsesi pada kayu manis sebab bau kulit kayu tersebut mengembalikan ingatanku pada Oma, nenekku.

Kedua, aku bukan filolog atau ahli lontar. Aku tidak bisa mengeja caraka apalagi membaca tulisan-tulisan di dalam naskah lontar Bali kuno yang didiskusikan di dalam kegiatan seminar. Sehingga, mungkin nantinya paparan yang aku sampaikan kebanyakan hanyalah berasal dari hasil diskusi formal maupun informal seminar. Belum didasarkan pada data yang akurat.

***

Rempah adalah bagian dari tumbuhan yang digunakan secara terbatas sebagai bumbu, penguat cita rasa, pengharum dan pengawet makanan. Sebagai orang Indonesia aku dapat meyakini bahwa kita semua dekat dengan rempah sebab sebagaimana informasi yang disampaikan di dalam seminar, dari sekitar 400-500 spesies rempah, 275 di antaranya ada di Asia Tenggara yang di dominasi oleh Indonesia. Maka tak heran jika Indonesia mendapat julukan sebagai “Mother of Spices”.

Nah, dengan kriteria yang telah aku sampaikan di atas, berikut adalah beberapa rempah yang kunilai adalah rempah paling queer yang ada di Indonesia:

Ganja

Ganja mendapat tempat pertama sebagai rempah paling Cong di Indonesia versi saya karena opresi yang ia terima. Sebagaimana kriminal, tanaman psikotropika ini paling menimbulkan ketakutan ketika ia disebut. Ia dibasmi, dibumihanguskan, bahkan tidak boleh ditanam. Padahal, yang salah kan manusianya. Manusia yang melaukan penyalahgunaan eh malah ganjanya yang disalahkan.

Di Indonesia, ganja digolongkan narkotika golongan satu menurut perundang-undangan yang berlaku sejak tahun 1976. Seseorang pun akan dihukum pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum Rp8 miliar apabila menanam lebih dari 5 batang ganja.

Padahal kita ketahui, terutama bagi pecinta masakan Aceh, apalah arti kuah beulangong dan kari sie itek tanpa campuran biji ganja. Tak hanya di dalam makanan, di Aceh zaman lampau pun biji ganja digunakan sebagai campuran kopi.

Seperti halnya GAYa NUSANTARA yang aktif mengadvokasi hak-hak kelompok queer, gerakan untuk melegalkan ganja di Indonesia mulai didorong oleh Lingkar Ganja Nusantara sejak 2013.

Lingkar Ganja Nusantara mengedukasi masyarakat bahwa ganja tidak seburuk dan semenakutkan yang sering dianggap dengan cara mengadakan pertemuan, melakukan sosialisasi di berbagai media, menerbitkan bacaan, dan juga memprosuksi film dokumenter.

Dari informasi yang kubaca, ternyata daun ganja juga dapat menghasilkan serat yang lebih baik untuk membuat pakaian dibandingkan kapas.

Betapa kasihan ya nasib ganja!

Andaliman

Andaliman muncul dan menguat sebagai rempah paling Cong berikutnya di dalam benak saya karena ia merupakan rempah yang berasal Indonesia namun rupanya ia hanya dikenal oleh orang-orang Batak saja. Ya, hanya orang Batak yang menggunakan andaliman sebagai bahan campuran masakannya.

Tak seperti teman-teman Batak-ku yang langganan beasiswa LPDP Luar Negeri, andaliman seolah ogah merantau. Tak mudah menemukan andaliman di luar (Danau) Toba. Menurut catatan, wilayah peserbarannya hanya meliputi tujuh kabupaten di Toba, yakni: Karo, Simalungun, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Dairi.

Mengapa demikian? Mengapa dia menjadi tanaman endemik Toba? Prediksiku karena jenis batangnya yang berkayu dan berduri sehingga membuat andaliman tidak menarik dan cenderung dianggap gulma.

Sebuah artikel ilmiah menyebut saat ini populasi andaliman terancam, hanya terdapat sekitar 1000-2000 pohon, dan hal tersebut diakibatkan pembabatan tanaman secara liar. Selain itu, rupanya struktur dan senyawa aromatik pada biji andaliman rupanya mampu menghambat imbisi air dan perkecambahan dengan kuat. Ulala, emang rupanya andaliman sudah Cong sejak benih!

Aku sendiri baru mengenal andaliman ketika menghadiri kegiatan Balige Writer Festival 2024 di akhir Juli lalu. Andaliman disebut di dalam puisi salah seorang peserta lokakarnya. Andaliman juga menjadi moto salah satu calon kepala daerah yang akan bertarung pada pilkada mendatang, Andal dan Iman.

Selanjutnya, aku pun jatuh cinta pada cita rasa andaliman sejak Dea, salah seorang panitia lokal, mengajakku menikmati Mi Gomak bauatan Mak Renny di Pasar Balige yang rasanya nendang abies itu.

Andaliman masuk sebagai rempah paling Cong karena penggunaan dan perkembangbiakannya yang terbatas.

Biji Kepuh

Aku baru mendengar namanya, biji kepuh. Nama tersebut disebut seorang kawan, Choir, saat aku mengunggah pertanyaan di feed Instagram, adakah rempah teropresi yang berasal dari Probolinggo. Sama sepertiku, Choir juga berasal dari Probolinggo.

Aku memasukkan biji kepuh ke dalam daftar rempah yang paling Cong berikutnya karena alasan yang disampaikan Choir. Menurut Choir—sebagaimana yang ia dengar dari ibunya, dahulu biji kepuh digunakan sebagai “merica”. Sebagai penambah rasa pedas dan hangat di masakan.

Choir pun menyampaikan kalau saat ini pohon kepuh sudah jarang terlihat di Probolinggo. Menurut penuturannya, saat ini pohon kepuh yang pernah ia lihat adalah sebatang pohon wingit yang berdiri tegak di dekat makam tua yang disakralkan di wilayah Srineman, Desa Kedungdalem, Dringu.

Setelah aku googling, rupanya saat kecil aku pernah akrab dengan biji pohon kepuh. Jika orang-orang dulu menyuling bijinya menjadi minyak untuk lampu penerangan, sebagai anak-anak aku menggunakan biji pohon ini untuk bermain sirikan.

Sebuah artikel pun menulis, selain akibat pembalakan liar di tahun 90-an, menurunnya populasi pohon kepuh di Jawa juga diakibatkan oleh kisah-kisah mistis yang melingkupinya. Sebagaimana pohon beringin, ia sering dianggap ‘rumah’ bagi roh-roh halus.

‘O, pantesan Choir bilang kalau mau nyari, adanya di makam Mbah Srinem,” ya begitulah, ingatanku yang lantas kembali pada cerita kawanku tadi.

Rupanya, pohon kepuh menjadi queer karena ke-wingit-annya.

Pegagan

Meski peganggan tidak berasal dari Probolinggo dan dia tidak se-ekstrem ganja yang dianggap sebagai musuh bersama, aku tetap memasukkan pegagan sebagai salah satu rempah paling Cong karena kisahnya yang menarik. Lebih tepatnya, adalah kisah yang dituturkan oleh Bli Guna, salah satu pemateri Jalur Rempah, kepada kami para peserta seminar.

Pada hari terakhir seminar, Bli Guna berbagi cerita tentang tanaman liar yang banyak tumbuh di pematang dan sering disebut sebagai daun kaki kuda. Dalam sebuah lontar diceritakan bahwa pegagan merasa iri melihat tanaman bunga yang begitu disayang oleh sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Pegagan ingin diperlakukan dengan penuh perhatian juga oleh sepasang kekasih tersebut.

Dalam keluh kesahnya, pegagan berkata bahwa meskipun hanya memiliki daun dan tampak kurang menarik, ia sangat bermanfaat, terutama dalam mengobati gangguan saraf dan memperbaiki sirkulasi darah.

Bli Guna bahkan menyebutkan bahwa banyak obat pabrik yang berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak, jika dianalisis, memiliki kandungan zat yang serupa dengan yang ada pada pegagan. Namun, pegagan lebih sering dianggap sebagai gulma daripada tanaman obat.

Ya, pegagan dikecilkan karena dia tidak indah dan dianggap penganggu.

***

Pencarian rempah yang bisa dianggap “queer” atau “Cong” bagiku pribadi rupanya masih diliputi oleh banyak pertanyaan yang menggantung. Benarkah kesotoyanku di atas?

Ya, meskipun rempah-rempah seperti ganja, andaliman, biji kepuh, dan pegagan memiliki cerita ataupun konteks yang dapat dikaitkan dengan konsep queer karena mengalami penindasan atau diabaikan, namun aku harus mengakui bahwa “keingintahuanku” pada topik ini belum sepenuhnya mendapatkan jawaban.

Kurangnya fokus penelitian pada isu ini dan dominasi perspektif heteroseksual dalam kajian lontar dan sejarah rempah membuat penelusuran hubungan antara rempah dan identitas queer menjadi tugas yang kompleks dan bagiku masih membutuhkan banyak eksplorasi lebih lanjut.

Entahlah, aku membuka diri bagi teman-teman untuk menambahkan daftar tersebut, atau… justru mungkin koreksi. Ya, jangan-jangan ada yang salah dengan pertanyaanku! Hehehe.[T]

Jakarta, 29 Agustus 2024

BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024

Menebak Aroma Sihir Janda Jirah
Merayakan Khazanah Rempah dalam Lontar Bali, Sesi Khusus Singaraja Literary Festival 2024
Menggali Khazanah Rempah dalam Lontar Bali: Usadha, Gandha, dan Boga
Rempah-Rempah Kita dalam Khazanah Gastronomi Internasional
Khasanah Rempah, Makanan dan Obat Bagi Raga
Pameran “Telu”: Melihat Ragam Ekspresi Budaya di Jalur Rempah Pulau Bali
Upaya Perempuan Mempercantik Diri: Lontar, Rempah, dan Konstruksi Patriarki
Tags: jalur rempahlontarSingaraja Literary FestivalSingaraja Literary Festival 2024
Previous Post

Menebak Aroma Sihir Janda Jirah

Next Post

Sumbangsih Rempah-Rempah dalam Mengaya Metafora Bahasa Bali

Stebby Julionatan

Stebby Julionatan

Tinggal di Probolinggo, Jawa Timur dan saat ini tengah melanjutkan pendidikannya di Kajian Gender – Universitas Indonesia.

Next Post
Sumbangsih Rempah-Rempah dalam Mengaya Metafora Bahasa Bali

Sumbangsih Rempah-Rempah dalam Mengaya Metafora Bahasa Bali

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co