- Artikel ini adalah hasil dari seminar “Khazanah Rempah dalam Lontar”, program khusus Singaraja Literary Festival 2024, yang didukung Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, 23-25 Agustus 2024.
SEJAK Komunitas Mahima dan Dirjen Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengundangku berpartisipasi pada kegiaatan Khazanah Rempah dalam Lontar Bali (yang dilaksanakan di Singaraja pada 23-25 Agustus 2024) serta berkewajiban untuk menuliskan pengalaman mengikuti seminar tersebut, maka yang langsung terpikir olehku adalah: “Rempah apa sih yang paling Cong di dunia?” Ada ga sih jenis rempah asli Indonesia yang dalam penggunaannya teropresi dan mengalami penderitaan layaknya kehidupan kelompok gay atau transpuan?
Kalau bisa sih rempah yang paling teropresi itu asalnya dari Pobolinggo, kota kelahiranku. Biar membanggakan, kan? Atau, kalau seluruh prasyarat di atas tersebut sulit untuk dipenuhi, mungkin yang paling sederhana adalah: Ada ga sih rempah yang identik dengan gay?, rempah yang dulunya kerap digunakan kelompok homoseksual untuk saling bertukar kode rahasia atau malah rempah tertentu yang digunakan oleh kelompok queer untuk meretas akses semacam guna-guna dan mantra yang digunakan oleh Ni Limbur untuk menyabotase cinta Raden Ambaramadia pada Putri Ambarasari?
Tapi rupanya, tak mudah untuk menjawab pertanyaan yang bermunculan di benakku tersebut. Bahkan, hingga seminar tersebut berakhir—dan aku sudah kembali pada kegiatan keseharianku di Jakarta—rasa penasaranku belum juga terjawab.
Oia, seminar tersebut dibuka oleh Adi Wicaksono, Kurator Budaya Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 dan diisi tiga pemateri. Ada IGA Darma Putra yang membagikan pengetahuannya seputar rempah sebagai ushada (obat), Ari Dwijayanthi dengan materi rempah sebagai ganda (parfum), dan Putu Eka Guna Yasa yang menyampaikan kegunaan rempah sebagai boga (makanan).
Beberapa hal menjadi asumsiku. Mengapa hal tersebut tak mudah terkuak meski kerap kali—baik di dalam maupun di luar seminar—kutanyakan? Pertama, sebagaimana kisah-kisah queer lainnya yang berhamburan pada banyak teks atau naskah—bahkan yang tertulis di dalam Kitab Suci, sepertinya kisah-kisah tersebut tersamar. Mereka tersembunyi di dalam kabut tebal hetero-performatifitas.
Kedua, karena penggalian terhadap lontar terhitung masih baru, aku berasumsi bahwa belum ada peneliti yang memfokuskan diri untuk melakukan penelitian ke arah sana. Apalagi para peneliti yang saat ini meneliti lontar adalah para peneliti heteroseksual yang (bisa jadi) tidak memiliki tujuan atau kepentingan pada naskah-naskah dengan isu homoseksual.
Ketiga, adalah soal pertanyaanku. Entah pertanyaanku terlalu ‘receh’, atau justru sebaliknya, terlalu ‘mengada-ada’. Ngapain sih Stebby ini bertanya soal ini? Rempah itu nir-gender! Ga ada hubungannya dengan itu!
Sebelum lanjut, sebelum melanjutkan ulasan mengenai rempah yang paling queer, aku akan membuat semacam disclaimer terlebih dahulu kepada kawan-kawan pembaca. Pertama, meski aku penyuka rempah, aku pengguna rempah, dan kehidupanku tak dapat terelakkan dari rempah, aku bukan ahli rempah. Aku hanya seorang lulusan Kajian Gender-Universitas Indonesia yang terobsesi pada kayu manis sebab bau kulit kayu tersebut mengembalikan ingatanku pada Oma, nenekku.
Kedua, aku bukan filolog atau ahli lontar. Aku tidak bisa mengeja caraka apalagi membaca tulisan-tulisan di dalam naskah lontar Bali kuno yang didiskusikan di dalam kegiatan seminar. Sehingga, mungkin nantinya paparan yang aku sampaikan kebanyakan hanyalah berasal dari hasil diskusi formal maupun informal seminar. Belum didasarkan pada data yang akurat.
***
Rempah adalah bagian dari tumbuhan yang digunakan secara terbatas sebagai bumbu, penguat cita rasa, pengharum dan pengawet makanan. Sebagai orang Indonesia aku dapat meyakini bahwa kita semua dekat dengan rempah sebab sebagaimana informasi yang disampaikan di dalam seminar, dari sekitar 400-500 spesies rempah, 275 di antaranya ada di Asia Tenggara yang di dominasi oleh Indonesia. Maka tak heran jika Indonesia mendapat julukan sebagai “Mother of Spices”.
Nah, dengan kriteria yang telah aku sampaikan di atas, berikut adalah beberapa rempah yang kunilai adalah rempah paling queer yang ada di Indonesia:
Ganja
Ganja mendapat tempat pertama sebagai rempah paling Cong di Indonesia versi saya karena opresi yang ia terima. Sebagaimana kriminal, tanaman psikotropika ini paling menimbulkan ketakutan ketika ia disebut. Ia dibasmi, dibumihanguskan, bahkan tidak boleh ditanam. Padahal, yang salah kan manusianya. Manusia yang melaukan penyalahgunaan eh malah ganjanya yang disalahkan.
Di Indonesia, ganja digolongkan narkotika golongan satu menurut perundang-undangan yang berlaku sejak tahun 1976. Seseorang pun akan dihukum pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum Rp8 miliar apabila menanam lebih dari 5 batang ganja.
Padahal kita ketahui, terutama bagi pecinta masakan Aceh, apalah arti kuah beulangong dan kari sie itek tanpa campuran biji ganja. Tak hanya di dalam makanan, di Aceh zaman lampau pun biji ganja digunakan sebagai campuran kopi.
Seperti halnya GAYa NUSANTARA yang aktif mengadvokasi hak-hak kelompok queer, gerakan untuk melegalkan ganja di Indonesia mulai didorong oleh Lingkar Ganja Nusantara sejak 2013.
Lingkar Ganja Nusantara mengedukasi masyarakat bahwa ganja tidak seburuk dan semenakutkan yang sering dianggap dengan cara mengadakan pertemuan, melakukan sosialisasi di berbagai media, menerbitkan bacaan, dan juga memprosuksi film dokumenter.
Dari informasi yang kubaca, ternyata daun ganja juga dapat menghasilkan serat yang lebih baik untuk membuat pakaian dibandingkan kapas.
Betapa kasihan ya nasib ganja!
Andaliman
Andaliman muncul dan menguat sebagai rempah paling Cong berikutnya di dalam benak saya karena ia merupakan rempah yang berasal Indonesia namun rupanya ia hanya dikenal oleh orang-orang Batak saja. Ya, hanya orang Batak yang menggunakan andaliman sebagai bahan campuran masakannya.
Tak seperti teman-teman Batak-ku yang langganan beasiswa LPDP Luar Negeri, andaliman seolah ogah merantau. Tak mudah menemukan andaliman di luar (Danau) Toba. Menurut catatan, wilayah peserbarannya hanya meliputi tujuh kabupaten di Toba, yakni: Karo, Simalungun, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Dairi.
Mengapa demikian? Mengapa dia menjadi tanaman endemik Toba? Prediksiku karena jenis batangnya yang berkayu dan berduri sehingga membuat andaliman tidak menarik dan cenderung dianggap gulma.
Sebuah artikel ilmiah menyebut saat ini populasi andaliman terancam, hanya terdapat sekitar 1000-2000 pohon, dan hal tersebut diakibatkan pembabatan tanaman secara liar. Selain itu, rupanya struktur dan senyawa aromatik pada biji andaliman rupanya mampu menghambat imbisi air dan perkecambahan dengan kuat. Ulala, emang rupanya andaliman sudah Cong sejak benih!
Aku sendiri baru mengenal andaliman ketika menghadiri kegiatan Balige Writer Festival 2024 di akhir Juli lalu. Andaliman disebut di dalam puisi salah seorang peserta lokakarnya. Andaliman juga menjadi moto salah satu calon kepala daerah yang akan bertarung pada pilkada mendatang, Andal dan Iman.
Selanjutnya, aku pun jatuh cinta pada cita rasa andaliman sejak Dea, salah seorang panitia lokal, mengajakku menikmati Mi Gomak bauatan Mak Renny di Pasar Balige yang rasanya nendang abies itu.
Andaliman masuk sebagai rempah paling Cong karena penggunaan dan perkembangbiakannya yang terbatas.
Biji Kepuh
Aku baru mendengar namanya, biji kepuh. Nama tersebut disebut seorang kawan, Choir, saat aku mengunggah pertanyaan di feed Instagram, adakah rempah teropresi yang berasal dari Probolinggo. Sama sepertiku, Choir juga berasal dari Probolinggo.
Aku memasukkan biji kepuh ke dalam daftar rempah yang paling Cong berikutnya karena alasan yang disampaikan Choir. Menurut Choir—sebagaimana yang ia dengar dari ibunya, dahulu biji kepuh digunakan sebagai “merica”. Sebagai penambah rasa pedas dan hangat di masakan.
Choir pun menyampaikan kalau saat ini pohon kepuh sudah jarang terlihat di Probolinggo. Menurut penuturannya, saat ini pohon kepuh yang pernah ia lihat adalah sebatang pohon wingit yang berdiri tegak di dekat makam tua yang disakralkan di wilayah Srineman, Desa Kedungdalem, Dringu.
Setelah aku googling, rupanya saat kecil aku pernah akrab dengan biji pohon kepuh. Jika orang-orang dulu menyuling bijinya menjadi minyak untuk lampu penerangan, sebagai anak-anak aku menggunakan biji pohon ini untuk bermain sirikan.
Sebuah artikel pun menulis, selain akibat pembalakan liar di tahun 90-an, menurunnya populasi pohon kepuh di Jawa juga diakibatkan oleh kisah-kisah mistis yang melingkupinya. Sebagaimana pohon beringin, ia sering dianggap ‘rumah’ bagi roh-roh halus.
‘O, pantesan Choir bilang kalau mau nyari, adanya di makam Mbah Srinem,” ya begitulah, ingatanku yang lantas kembali pada cerita kawanku tadi.
Rupanya, pohon kepuh menjadi queer karena ke-wingit-annya.
Pegagan
Meski peganggan tidak berasal dari Probolinggo dan dia tidak se-ekstrem ganja yang dianggap sebagai musuh bersama, aku tetap memasukkan pegagan sebagai salah satu rempah paling Cong karena kisahnya yang menarik. Lebih tepatnya, adalah kisah yang dituturkan oleh Bli Guna, salah satu pemateri Jalur Rempah, kepada kami para peserta seminar.
Pada hari terakhir seminar, Bli Guna berbagi cerita tentang tanaman liar yang banyak tumbuh di pematang dan sering disebut sebagai daun kaki kuda. Dalam sebuah lontar diceritakan bahwa pegagan merasa iri melihat tanaman bunga yang begitu disayang oleh sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Pegagan ingin diperlakukan dengan penuh perhatian juga oleh sepasang kekasih tersebut.
Dalam keluh kesahnya, pegagan berkata bahwa meskipun hanya memiliki daun dan tampak kurang menarik, ia sangat bermanfaat, terutama dalam mengobati gangguan saraf dan memperbaiki sirkulasi darah.
Bli Guna bahkan menyebutkan bahwa banyak obat pabrik yang berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak, jika dianalisis, memiliki kandungan zat yang serupa dengan yang ada pada pegagan. Namun, pegagan lebih sering dianggap sebagai gulma daripada tanaman obat.
Ya, pegagan dikecilkan karena dia tidak indah dan dianggap penganggu.
***
Pencarian rempah yang bisa dianggap “queer” atau “Cong” bagiku pribadi rupanya masih diliputi oleh banyak pertanyaan yang menggantung. Benarkah kesotoyanku di atas?
Ya, meskipun rempah-rempah seperti ganja, andaliman, biji kepuh, dan pegagan memiliki cerita ataupun konteks yang dapat dikaitkan dengan konsep queer karena mengalami penindasan atau diabaikan, namun aku harus mengakui bahwa “keingintahuanku” pada topik ini belum sepenuhnya mendapatkan jawaban.
Kurangnya fokus penelitian pada isu ini dan dominasi perspektif heteroseksual dalam kajian lontar dan sejarah rempah membuat penelusuran hubungan antara rempah dan identitas queer menjadi tugas yang kompleks dan bagiku masih membutuhkan banyak eksplorasi lebih lanjut.
Entahlah, aku membuka diri bagi teman-teman untuk menambahkan daftar tersebut, atau… justru mungkin koreksi. Ya, jangan-jangan ada yang salah dengan pertanyaanku! Hehehe.[T]
Jakarta, 29 Agustus 2024
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024