SEBAGAI Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno cukup gaul juga saat berbaur dengan anak muda yang tergabung dalam komunitas-komunitas di Buleleng. Ia bicara santai. Sesekali selfi. Lelaki yang lahir di Pekanbaru–Riau pada 28 Juni 1969 itu juga tak sekali dua kali lho memuji matahari setengah tenggelam yang tampak instagramable di Pantai Panimbangan, Singaraja, Jumat, 30 Agustus 2024.
Ini acara NETAS: Nemu Komunitas. Temanya, “Peningkatan Bali Utara Sebagai Destinasi Unggulan Melalui Peran Komunitas Sektor Pariwisata”. Acara itu diadakan Kemenparekraf.
Dalam acara itu Sandiaga Uno membicarakan kembali potensi-potensi indah di Bali Utara, salah satunya senja yang tampak jelas dilihatnya dari Krisna Beach Street Panimbangan—tempat acara itu berlangsung, dan tempat-tempat lain yang eksotik di Buleleng.
Apalagi, kata dia, Buleleng sudah ditetapkan sebagai Kabupaten/Kota Kreatif (Kata Kreatif) oleh Pemerintah Indonesia. Apa kemudian yang bisa dilakukan setelah penetapan Bulelengs ebagai Kata Kreatif ini?
Sandiaga Uno saat berbincang dengan komunitas di Pantai Penimbangan, Singaraja | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Sandiaga Uno bicara tentang bagaimana orang-orang yang tergabung dalam komunitas-komunitas memiliki peran penting terhadap kreatifitas di daerahnya. Sebab itulah pertemuan semacam ini dikembangkan oleh Kemenparekraf sejak 2016.
“Kita harus berpihak untuk membangun Bali utara. Karena ini kawasan yang penuh potensi, dan para pelakunya di sini penuh kreatifitas. Malah kabupaten Buleleng sudah ditetapkan sebagai kabupaten kreatif oleh Pemerintah Indonesia, dan tentunya anak-anak komunitaslah yang menjadi lokomotifnya,” kata Sandiaga Uno.
Sejak pertamakali ke Singaraja pada tahun 1979, Uno sudah melihat eksotisme Bali utara. Tahun 1979 itu ia bersama sang ayah, Razif Halik berlibur di Kuta, Denpasar, lalu melali ke Bali Utara. “Eksotisme—wisata telah terasa sejak kali pertama datang ke Buleleng. Hanya saja jarak dan waktu tempuhnya menjadi persoalan. Sekitar 3 jam mesti menghabiskan waktu untuk ke Bali Utara.,” katanya.
Nah, itu, kata dia, kenapa Bali Utara itu susah menarik wisatawan, karena, salah satunya adalah terkait aksesibilitas. Persoalan jarak dan waktu.
Sandiaga Uno menilai beberapa pembangunan untuk mefasilitasi—terutama memangkas waktu panjang itu, infrastruktur akan menjadi perhatian pemerintah, dan tahun depan bagaimana proyek jalan tol akan kembali dikebut—menghubungkan antara Denpasar dengan Buleleng untuk meninjau lebih baik lagi terkait kunjungan wisatawan.
“Kita ingin mengembangkan Bali Utara ini pendekatannya pembangunan infrastruktur. Jalan tol itu sudah diputuskan dan akan ditenderkan tahun depan. Jadi tahun depan ini akan dibangun dan ini menyambung juga, tol yang sekarang dalam proses tender ulang. Menghubungkan Denpasar ke Singaraja. Nah kita harapkan dengan jalan tol tersebut waktu tempuhnya bisa diperkirakan 90 menit…,” katanya.
Sandiaga Uno (tengah) saat berbincang dengan komunitas di Pantai Penimbangan, Singaraja | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Melalui tagline #KOMUNITASINAJA, program semacam ini menjadi langkah bagus Kemenparekraf barangkali untuk membangun komunikasi yang baik dengan komunitas akar rumput di daerah dengan pusat di Jakarta, dan lebih tilik dalam menemukan persoalan dan masukan secara sosiologis di daerah.
Pula sebagai menteri, memang Sandiaga Uno mesti meluangkan waktunya untuk itu, melakukan program semacam ini—agar terus mencari potensi tersembunyi. Seperti saat ia berbincang santai di Pantai Panimbangan dengan matahari setengah tenggelam di ujung sore.
Sandiaga sesekali memotong pembicaraannya—yang serius itu, dan lebih memuji matahari tenggelam indah di pantai. Seperti hendak meyakinkan kembali, jika Bali utara memang layak dikunjungi. Layak diperhatikan—tak hanya selatan (Denpasar) untuk sekadar menikmati senja.
Tak henti-hentinya juga ia memuji jika Bali Utara akan menjadi satu kebangkitan bersama dalam pariwsata jika semua elemen ikut terlibat untuk membangun bersama, termasuk para komunitas.
Dan waktu nyenja bersama Kemenparekraf ini—benar-benar dimanfaatkan sebaik mungkin oleh 83 peserta dari berbagai komunitas yang ada di Buleleng. Seperti Jaswanto—delegasi dari Komunitas Mahima itu, ia menyampaikan cukup detail terkait kehidupan komunitasnya di bidang sastra dan seni seperti teater, bahkan tak hanya itu—untuk menghidupkan kembali aktifitas Gedung Kirtya di Buleleng terkait arsip, bidang riset juga dilakukan oleh komunitasnya.
Ia menceritakan sedikitnya tentang Singaraja Literary Festival 2024 yang berlangsung pada tanggal 23-25 Agustus belum lama ini, dan menyebutkan beberapa hal yang menjadi penting seperti lontar—untuk dibahas kembali di kota ini, dan Sandiaga Uno mengapresiasi itu—lebih-lebih terkait sastra, jika memang komunitas memiliki kekuatan tersendiri untuk menghidupkan kembali sesuatu, yang katanya sebagai lokomotif.
Tak hanya itu, Komunitas Oy yang membuat kopi dari buah maja, menjadi tambahan keyakinan Sandiaga jika Buleleng sebagai daerah kreatif—sangat layak mendapatkan penghargaan. Benar-benar kreatif, katanya.
Kemudian Ajik Cok Krisna—menyusul kalimat tersebut selaku pengusaha dan pembicara di acara NETAS itu langsung jika produk dari Komunitas Oy, ia siap menampungnya untuk dipasarkan di Toko Oleh-oleh Krisna Bali miliknya.
Dan senja pun bergerak menunju malam. Sandiaga Uno punya kegiatan lain di Buleleng, dan Sabtu besoknya ia harus ke Desa Les di Buleleng bagian timur terkait penilaian Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Desa Les memang masuk salah satu nominasi yang diunggulkan.
Sebelum pergi, Sandiaga Uno dengan gaya gaulnya beberapa kali selfi dengan peserta komunitas. Selamat bekerja, Mas Menteri. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain ang ditulis SONHAJI ABDULLAH