DI Bali, pembahasan pertanian pada teks dulu dan sekarang, dalam hal ini sastra, masih sangat seksi untuk dibahas walaupun setiap era memiliki fokusnya masing-masing. Misalnya, pada zaman di mana Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) masih hidup pada tahun 1960-an, meletakkan petani dan tuan tanah (Kapitalisme) menjadi satu pembahasan yang kuat dalam segi konten perjuangan—humanisme.
Tetapi pada era 1990-an, tema yang sama masih banyak dibahas di Bali, seperti yang dikatakan oleh Made Sujaya pada panel diskusi bertajuk “Energi Ibu Pertiwi, Teks Dulu dan Kini” dalam gelaran Singaraja Literary Festival 2024 di Sasana Budaya, Jumat, 23 Agustus 2024.
“Sajak-sajak penyair Bali didominasi oleh suara keresahan mengenai ludesnya tanah-tanah di Bali, terutama oleh masifnya perkembangan industri pariwisata,” kata Sujaya.
Lebih lanjut, selaku pembicara dalam acara itu, Sujaya menarik terlebih dulu diskusi tersebut pada sejarah Indonesia periode tahun 1960-an, di mana sosok dan nasib para petani, katanya, mendapat perhatian lebih serius dari sastrawan di tahun itu—khususnya pada sastrawan yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Suasana panel diskusi “Energi Ibu Pertiwi, Teks Dulu dan Kini” Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
“Dipengaruhi oleh cara pandang realisme sosialis, para pengarang Lekra sangat getol menggambarkan perlawanan kaum tani melawan penindasan, terutama menghadapi tuan tanah,” kata dosen yang mengajar di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia itu saat memaparkan materinya.
Selain itu, perhatian Lekra pada keberadaan perempuan tani juga sangat intens. Para perempuan petani ini tidak saja digambarkan dengan penuh keberanian melawan kekuasaan kaum tuan tanah, namun juga memperjuangkan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.
“Salah satu pengarang Lekra dari Bali, Putu Oka Sukanta menulis cerpen berjudul Bibi Kerti yang menggambarkan perjuangan perempuan tani Bali memperoleh tanah,” terangnya.
Dalam cerpen tersebut dapat dirasakan bagaimana wacana si pengarang hendak menggambarkan perjuangan Bali memperoleh tanah. “Melalui cerpen ini, pengarang tak hanya mengusung gagasan soal landrefrorm, namun juga mengkritik budaya patriarki yang begitu kokoh dalam kehidupan masyarakat Bali,” ujar Sujaya.
Sujaya berpendapat, jika sastrawan Bali terbilang memiliki sensitibilitas terhadap kehidupan petani dan dunia pertanian. Sebagaimana ia juga menunjukkan yang lain, seperti Panji Tisna menulis sebuah cerpen berjudul “Menolong Orang Menyiangi Padi”—cerpen yang pernah di muat di majalah Damai (1955) itu telah mencolok sekali jika menceritakan kehidupan petani Bali di desa yang kental dengan tradisi tolong menolongnya.
Lebih lanjut, jika gambaran problematika petani dan dunia pertanian dalam sastra memang tak bisa dilepaskan dari karya sastra dalam konteks zamannya. Jika pada era Lekra, problematika petani dan dunia pertanian dihubungkan dengan industry turisme yang haus lahan. Sehingga melatarbelakangi para sastrawan Bali dalam membuat karya yang memuat isu tentang konflik tanah antara petani dan kapitalis pariwisata.
Andre Syahreza (narasumber), Made Sujaya (narasumber), dan Iin Valentine (moderator) dalam diskusi “Energi Ibu Pertiwi, Teks Dulu dan Kini” Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Di Bali, para petani, baik dulu maupun sekarang, barangkali masih tetap sama, belum merdeka secara sosial dan batin. Lihat saja, misalnya, bagaimana villa di bangun di tepi sawah—agar dapat melihat langsung pemandangan indah sekaligus melihat petani bekerja. Secara kapitalistik, petani tereksploitasi—sebagai bahan tontonan para wisatwan di dalam villa atau hotel megah.
Mereka menganggap itu indah, tetapi apakah petani menganggap dirinya indah di tengah dirinya sebagai wisata alam dan profesi? Atau yang lebih ironis, sawah-sawah menjadi villa sebab petani terus dirayu—atau terjebak, atau dijebak.
Melihat fenomena tersebut, Sujaya mengisahkan kembali saat diskusi tentang cerpen “Surga untuk Petani” miliki Gde Aryantha Soethama yang menceritakan tentang memuliakan para petani yang dikaitkan dengan konteks spiritualitas khas Bali di era 1990-an.
Cerpen Gde Aryantha Soethama diadaptasi dari kisah nyata, kata Sujaya. “Yaitu cerita rakyat Bali tentang seorang petani yang tekun akhirnya diterima dengan tangan terbuka oleh penguasa surga.”
Andre Syahreza (narasumber), Made Sujaya (narasumber), dan Iin Valentine (moderator) dalam diskusi “Energi Ibu Pertiwi, Teks Dulu dan Kini” Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Walaupun si petani tidak memiliki pengetahuan tentang agama yang kuat seperti halnya seorang pendeta. Seperti halnya Navis, Aryantha Soethama juga mengkritik laku hipokrit orang-orang berjubah agama.
Tokoh petani yang tekun dan suntuk dengan kewajibannya bergelut dengan Ibu Pertiwi digambarkan lebih mulia ketimbang seorang pendeta yang memiliki pengetahuan agama yang luas tetapi minim ketulusan dan kejujurannya.
Artinya gini, konteksnya dengan sekarang, bagaimana isu-isu perihal pertanian, atau tanah sebagai Ibu Pertiwi ini, masih menjadi pembahasan yang laku dalam dunia sastra atau teks, dan bisa menjadi isu krusial sampai saat ini.
Misalnya pada puisi-puisi milik Made Adnyana Ole—penyair yang lahir dari Tabanan itu, juga kerap membuat puisi tentang pertanian atau kehidupan di desa, dan bagaimana para petani hidup di desa. Sangat detail ia menggambarkan melalui sajaknya—dengan sangat sederhana dan padat.
Artinya, di Bali, barangkali pertanian masih menjadi isu sangat seksi dan krusial dalam dunia kesusastraan, tentu di samping kasta jika masih menjadi persoalan.[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024