- Artikel adalah materi dalam panel diskusi ““Warna Alam Dalam Teks Lama dan Baru”, Sabtu, 24 Agustus 2024 di areal Gedong Kirtya, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024.
***
Dalam rangka menyambut panel “Warna Alam Dalam Teks Lama dan Baru” dan menilik balik riset Warna Bali oleh Gurat Institute pada tahun 2022, ada satu tulisan yang pernah saya buat yang merespon terhadap satu sumber warna: gincu.
Gincu menghasilkan warna merah pada masa lalu sampai sekarang. Gincu, dikenal juga sebagai zhu sha, memiliki pengertian sebagai warna merah tua atau vermillion. Penerkaan bahwa warna ini datang dari mineral yang terdapat di area Tiongkok sudah banyak terbukti secara ilmiah dan riset, namun keberadaannya sampai menjadi warna Bali belum terjawab seutuhnya.
Ini dimungkinkan karena zhu sha menjadi bagian yang sangat kecil untuk menjadi barang yang ditukar di antara berbagai barter barang yang terjadi pada zaman itu. Gincu masih dikenal sebagai kata lipstick atau pewarna bibir, yang masih lebih lumrah digunakan di bahasa Melayu, dan berasal dari kata Hokkien gin chu. Namun gin chu ini juga dikenal sebagai rogue for the face atau merah pipi (blush on).
Kehadiran gincu disebabkan oleh keterampilan metalurgi serta pengoksidasi dan mengekstraksi logam sudah berlangsung cukup lama di Tiongkok sejak 3000 SM. Gincu diketahui sebagai salah satu warna mineral awal yang ditemukan pada lukisan Tiongkok dan juga salah satu mineral merah tertua di dunia yang konon hanya bisa ditemukan di tiga Provinsi: Hunan, Guizhou dan Sichuan; adapun yang menyebut empat dengan Provinsi Yunnan (Valen, 2005; Yi, 2009).
Salah satu temuan saya pada tahun 2022 adalah bacaan dari Wang Yifan, seorang perempuan Tiongkok yang awalnya hobi mendalami rias wajah kuno-nya dan menjadikannya pekerjaan sehari-hari. Ia menyatakan tidak banyak buku yang menulis tentang rias wajah kuno tersebut dikarenakan di Tiongkok Kuno posisi laki-laki lebih superior daripada perempuan, maka yang terekam dari dokumentasi rias wajah kuno Tiongkok hanya dari dua hal:
- Mempelajari riasan wajah figur-figur historis seperti Yang Guifei dari Dinasti Tang sebagai salah satu perempuan menawan pada zamannya.
- Mempelajari riasan-riasan aneh yang terlihat membingungkan dan tidak nyaman.
Walaupun ada buku yang mengkompilasi tentang riasan purba tersebut, tetapi ada saja formula yang dihilangkan, ditambah bahan yang sama mungkin memiliki nama yang berbeda sesuai zamannya (Xi, 2021). Gincu di Tiongkok ditemukan dalam berbagai artefak purbakala terutama yang berhubungan dengan tempat kosmetik. Belum lagi temuan-temuan semakin baiknya perekonomian di dinasti-dinasti yang berbeda, adapun produksi yang beragam warna, maka terus ada tren terbaru pula. Dinasti Tang (618-906 M) inilah yang ditemukan memiliki rias wajah Tiongkok Kuno yang berlapis dari bedak dasar, merah pipi, membentuk alis, hiasan tambahan dan gincu – rias dominan merah masih menjadi andalan juga (Yi, 2009; Tang, 2021; Silk Road Yunfan, 2021).
Gambar: beberapa ilustrasi rias wajah tiongkok dari Silk Road Yunfan (2011) https://www.lifeofguangzhou.com/wap/silkRoad/content.do?contextId=13191&frontParentCatalogId=229&frontCatalogId=231
Painting depicting ladies putting on makeup, by Su Hanchen, Song Dynasty
Residues of lipsticks were found in one of the nine boxes of the two-tiered cosmetic case found in the Han Tombs at Mawangdui, Changsha, Hunan Province
A painting featuring a lady with small lips, painter unknown, Tang Dynasty
Ini membuat pencarian jejak-jejak gincu berlayar ke Indonesia pun tidaklah hal yang mudah. Dengan perdagangan menghasilkan kemungkinan-kemungkinan interaksi budaya dan alat tukar menjadi bagian yang terintegrasi terutama pada masa Kerajaan Kediri, Jawa Timur, dimana koin perunggu asal Tiongkok dipakai barter lada, ditambah emas, perak juga bisa, bahkan untuk cengkeh dan pala. Ini menyebabkan Jawa menjadi magnet untuk barang-barang ditukar begitu saja (Hall, 2011).
Saat Dinasti Song abad ke-12 yang memperbolehkan pedagang Tiongkok untuk berdagang keluar negerinya daripada menunggu barang-barang yang diperlukan datang, adopsi uang Tiongkok meningkat dan Jawa menjadi pusat perdagangan internasional di abad ke – 13 – koin perunggu itu disebut sebagai Ban Liang atau populer disebut sebagai uang kepeng di Bali (Hall, 2011). Bukti pertukaran budaya ini menguatkan keberadaan gincu di antara perdagangan. Tercatat bahwa yang non-mewah seperti logam dan pewarna yang lebih diminati oleh rakyat sampai lewat pertukaran jejaring warga lokal – barang-barang tersebut ke pedalaman dari pesisir pelabuhan Jawa Timur dan dibarter dengan produk lokal terutama beras. Maka gincu bisa saja sampai dengan demikian, berhubungan yang membuat karya lukisan adalah para rakyat sendiri untuk pemimpinnya pada zaman itu.
Selain uang kepeng, keberadaan pertukaran budaya dan ekonomi yang bersamaan antara Tiongkok dan Bali berimbas ke dalam sistem teknologi dan peralatan seperti ornamen bangunan tradisional Bali, bentuk/pola orientasi bangunan tradisional Bali beserta penggunaan porselin Tiongkok padanya, dan teknik cor logam (Sulistyawati, 2011). Zhu sha atau gincu tidaklah disebut disini, tetapi dirasa merupakan salah satu keterampilan kebudayaan yang dikembangkan juga. Lukisan wayang Kamasan yang menjadi lukisan klasik Bali diceritakan sudah ada sejak Kerajaan Dalem Watu Renggong di sekitar abad ke-15 atau 16. Namun menurut catatan sangging dimulai dari tahun 1870-an atau abad ke-19. Maka awal mula pemakaian gincu sebagai pigmen melukis atau mewarnai ada diantara tahun-tahun tersebut.
Menariknya dalam tulisan Harthawan dalam buku Sulistyawati (2011) yang membahas perdagangan di Bali Utara dan Bali Selatan pada abad ke-19 yang dikuasai Bugis dan Tiongkok hanya menyebutkan yang didatangkan adalah candu, gambir, tekstil, kepeng, barang-barang besi, mesiu dan senjata api; yang ditukar dengan hasil bumi Bali seperti beras, minyak kelapa, tembakau, kuli, sapi, kapas, telur asin, dendeng dan kain tenun Bali – dengan beras tetap barang ekspor terpenting. Kedatangan mineral merah tertua dan terpenting di dunia sebagai pewarna bibir maupun warna melukis ini masih penuh teka-teki, dengan itu gincu tidak lepas dari berbagai sejarah warna serta di warna Bali sendiri.
Mau tahu lebih lanjut lagi? Dengarkan panel kami ya dan dapatkan juga buku Warna Bali di Gurat Institute ya!
Referensi
Valen, L. M. van. (2005, November 17). The Matter of Chinese Painting, Case studies of 8th century murals. Retrieved from https://hdl.handle.net/1887/3730.
Yi, W. Chinese makeup for lips. Chinaculture.org Updated: 2009-06-18 https://www.chinadaily.com.cn/life/2009-06/18/content_11569665.htm
Hall, K. R. (2011) A History of Early Southeast Asia : Maritime Trade and Societal Development, 100–1500. United Kingdom: Rowman & Littlefield Publisher.
Ardika, I. W. “Hubungan Komunitas Tionghoa dan Bali: Perspektif Multikulturalisme”, p. 1-12 di Sulistyawati. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Denpasar: Universitas Udayana, 2011
Sulistyawati, “Pengaruh Kebudayaan Tionghoa Terhadap Peradaban Kebudayaan Bali”, p. 13-42 di Sulistyawati. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Denpasar: Universitas Udayana, 2011
Tang, S. Chinese Makeup History. 28 October 2021. https://www.globalizationpartners.com/2021/10/28/chinese-makeup-history/
Xi, C. The Woman restoring ancient Chinese Makeup: Inheritance and Development. Global Times. 17 October 2021. https://www.globaltimes.cn/page/202110/1236522.shtml
Silk Road Yunfan. Secrets of ancient Chinese beauties. Life of Guangzhou. 22 March 2021.
- BACA artikel lain terkaitSINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024