10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Iam Murda dan Papua Melawan Dunia

JaswantobyJaswanto
August 20, 2024
inPersona
Iam Murda dan Papua Melawan Dunia

Iam Murda | Foto: ISPAE, Rangga

“Saya tidak menerima kritik membangun dari orang-orang yang tidak pernah membangun untuk Tanah Papua.”

SAYA terkesiap saat ia menyebut namanya. Bukan karena apa-apa, hanya terdengar familiar saja saat saya mendengarnya. Tetapi sampai beberapa saat saya tak kunjung mendapat pencerahan, di mana dan kapan saya pernah mendengar nama lelaki muda dengan rambut panjang yang tanggung itu.

Siang itu ia menjadi salah satu narasumber di forum ISPAE (Indonesian Society for Performing Arts Ecosystem) di Bidadari Art Space, Ubud, Bali. Dan saya kebetulan dipercaya menjadi notulis dalam forum tersebut.

Saya suka presentasinya. Saya suka cara bicaranya yang blak-blakan dan nyaris tanpa tedeng aling-aling. Dan, tentu saja, saya juga tertarik dengan isi kepalanya—walaupun ini kali pertama saya bertemu dan mendengar ceramahnya.

Di forum tersebut, dengan bahasa Indonesia berlogat Timur yang khas, ia berbicara banyak tentang komunitas yang ia bangun—katakanlah, dengan berdarah-darah—dan ekosistem kesenian di Jayapura, tanah kelahirannya, kota yang ia “tinggalkan” bertahun-tahun itu. Sedetik pun saya berusaha untuk tidak luput dari apa yang ia sampaikan.

Sampai kepada kesempatan baik itu tiba. Di jeda saya menjadi notulis, dengan banyak pertanyaan di kepala dan, ya, sedikit kikuk, saya menghampirinya.

“Ayo. Nanti kita ngobrol!” jawabnya saat saya menyampaikan hendak mewawancarainya. Sosok yang menyenangkan, pikir saya.

Dan, di sore yang hangat di meja bundar yang terbuat dari kayu di kawasan Bidadari Art Space, tepatnya di samping restoran kawasan tersebut, ia duduk di sebelah saya. Saya menyalakan rokok, ia mengikutinya kemudian.

“Saya tertarik dengan presentasi yang Abang sampaikan tadi,” saya mengawali pembicaraan sesaat setelah kami saling berjabat tangan. Ia hanya menanggapinya dengan senyum dan sedikit tertawa. Barangkali ia mengerti bahwa itu hanya trik murahan dari orang asing yang mencoba mendekatiya—pula menginginkan sesuatu darinya.

Tetapi barangkali juga tidak demikian. Sebab saat ia mendengar Komunitas Mahima terlontar dari bibir entah siapa, roman mukanya berubah. Apalagi saat mengetahui bahwa saya juga berproses di sana, ia tak dapat menyembunyikan mimik mukanya yang kaget dan tak percaya.

“Film-film saya pernah diputar dan didiskusikan di sana,” dia berkata, menggebu. “Berarti sama Cotecx [panggilan akrab Kardian Narayana], ya?” tanyanya tiba-tiba. Kini saya yang kaget dan tak percaya.

Tetapi, aha, misteri itu terpecahkan juga. Benar. Saya mengetahui namanya terpacak di sebuah poster informasi pemutaran dan diskusi film yang rutin digelar oleh Komunitas Singaraja Menonton di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, sekira dua tahun lalu. Pantas saja saya merasa familiar saat ia memperkenalkan diri.

Perjalanan Panjang IAM

Namanya Iam Murda, seniman, dosen seni tari di ISBI Tanah Papua, pendiri Freedom Squad, sutradara sekaligus penulis skenario, pula “Kepala Suku” Indonesia Art Movement—kolektif seni budaya yang berbasis di Jayapura, Papua.

Iam Murda hanya nama panggilan—kalau bukan nama panggung. Nama lengkapnya cukup panjang: Muhamad Ilham Mustain Murda. Perawakannya tidak tampak seperti orang Papua, memang. Tapi percayalah, ia lahir dan besar di Tanah Jayapura. Di kota inilah, Iam, untuk pertama kalinya, melihat dunia dan menghirup udara.

Saya mengaktifkan aplikasi perekam suara. Dan ia mulai bercerita.

“IAM [Indonesia Art Movement] itu memiliki sejarah yang panjang,” ujarnya sembari tertawa kecil sebab ia merasa nama itu cukup narsistik. Singkatan itu diambil dari nama panggilannya, barangkali.

Sejak kecil, Iam melanjutkan cerita, ia mengaku sudah mengenal seni tari dan akhirnya jatuh cinta dengan budaya Papua—dan akhirnya mengenal budaya kontemporer bernama hip hop. Zaman itu Iam sudah memiliki keinginan, punya mimpi, bisa ke Jakarta dan masuk TV. “Bisa ketemu artis, bisa ke internasional,” lanjutnya.

Ketika itu, menurut Iam, hampir semua anak Papua—setidaknya anak-anak di sekitarnya—memiliki mimpi yang sama: ingin ke Jakarta dan masuk TV. Tetapi, kita tahu, itu hanya isapan jempol remaja naif semata, sebab tidak banyak yang berani mewujudkannya. Ada yang berani, tapi kandas di tengah jalan.

Seusai tamat dari bangku SMA, Iam ingin meraih mimpinya. Ia ingin kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Tetapi mendiang ayahnya tak setuju dengan alasan khas kebanyakan orang tua Indonesia bahwa seni tidak menjanjikan masa depan—alasan klise yang masih menjamur di negara ini. Dan, mendengar kisah tersebut, saya teringat sosok Neil dalam film Dead Poets Society (1989) garapan Peter Weir—dalam kasus lain, tentu saja.

“Akhirnya saya mengikuti kemauan orang tua saya. Pada 2003 saya putuskan kuliah teknik elektro di Makassar,” ucap Iam, mengenang. Kali ini, giliran sosok Farhan Qureshi dalam film 3 Idiots (2009) karya Rajkumar Hirani, sutradara India yang saya kagumi itu, yang terlintas dalam kepala saya.

Sebelum ke Makassar, karena saking ngebetnya Iam dengan seni tari, tepatnya pada tahun 1999, di masa transisi pergantian rezim itu, bersama beberapa kawannya, dia mendirikan komunitas bernama Freedom 99. “Tapi tahun 2006 saya membuat komunitas Freedom Squad—99-nya saya ganti dengan Squad,” kata Iam sambil membenahi letak rambutnya.

Bersama Freedom Squad yang ia dirikan di Makassar, Iam menorehkan banyak prestasi, salah satunya adalah juara Gatsby Styling Dance Contest Pan Asia 2009, dan ia terbang ke Jepang.

“Makassar itu underdog, tidak diperhitungkan, tapi malah juara. Itu sebenarnya cikal bakal kenapa saya berani memutuskan pulang ke Papua. Dan ke Jepang itu baru loncatan awal ternyata,” terang Iam. Saya menganggukkan kepala.

Iam Murda saat menjadi narasumber di ISPAE 2024 | Foto: ISPAE, Rangga

Angin sore itu cukup kencang, menerbangkan dan menggugurkan daun-daun bodhi yang tumbuh subur di sekitaran Bidadari Art Space. Saya membakar seputung rokok. Ini yang kedua kalinya. Sedangkan ia nyaris tak mengisap rokoknya sama sekali. Ia membiarkannya lenyap diterpa angin.

Cerita Iam tidak berhenti di sini. Sebagaimana ia katakan di atas, mimpinya adalah kuliah di IKJ. Dan ini fragmen lanjutan dalam perjalannya.

“Setelah tujuh tahun kuliah di Makassar, saya minta izin ke Mama, bapak sudah meninggal ketika itu, untuk pergi ke Jakarta. Mama bilang, ‘Udah lah, ko kerja aja di sini. Ko punya mimpi sudah ko gapai’. Tapi seperti ada yang kosong. Saya pengen lebih dari itu,” Iam melanjutkan ceritanya.

Iam berjanji kepada mamanya. “Beri waktu saya 2 tahun, untuk saya bisa mengejar mimpi, Mama,” ujar Iam kepada mamanya.

“Ko mau apa lagi?” tanya mamanya.

“Sebenernya saya pengen bikin film. Pengen bikin film tentang kisah saya dari lahir, besar, sampai bisa punya prestasi,” jawab Iam sederhana.

“Oke. Dua tahun, ya!” tegas mama Iam.

“Kalau nggak sukses, saya akan balik. Saya juga pengen bahagiakan Mama,” Iam berkata dengan suara yang lirih.

Ternyata membuat film tidak semudah yang ia bayangkan. “Nggak segampang itu,” dia berkata. Di Jakarta Iam tinggal di belakang Taman Ismail Marzuki, dan di dekat situ ada komunitas dari Papua dan Makassar. “Jadi saya bertumbuh di sana,” terangnya.

Iam hanya meminta waktu dua tahun di Jakarta, sebagaimana dialognya dengan mamanya. “Dan waktu itu sudah hampir setahun di Jakarta,” kata Iam. Selama setahunan itu Iam sudah tour ke beberapa negara bersama “We Came From The East”, salah satu karya Jecko Siompo—penari dan koreografer asal Papua yang terkenal itu.

Iam Murda saat menjadi narasumber di forum ISPAE 2024 | Foto: ISPAE, Rangga

Waktu di Jakarta hanya sisa setahun. Tapi Iam masih merasa belum saatnya balik ke Papua. Akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan studinya. “Saya bilang ke Mama mau melanjutkan kuliah. Dan Mama berkata, ‘Ah, ko stop gila-gila! Ini kan bapak meninggal masih banyak utang’,” ujar Iam menirukan jawaban mamanya.

“Saya bilang ke Mama begini: Tidak, Mama, saya telepon Mama ini bukan minta uang. Saya minta Mama restu saja. Mama menjawab, ‘Iya, terserah kamu. Yang penting itu saja, jaga kesehatan, pergaulan, begini-begini’,” terang Iam dengan logatnya yang khas. Saya tersenyum, kagum.

Iam melanjutkan S2 di IKJ. Masuk 2011, lulus 2013. Setelah itu ia pulang ke Jayapura. “Sepertinya sudah terlalu lama saya meninggalkan kota itu,” ujarnya.

Menurut Iam, sebagaimana ia menyitir analogi Garin Nugroho—sutradara film kenamaan di Tanah Air, Papua itu “lahannya” subur. Lahan yang ia maksud adalah potensi sumber daya manusianya. Potensinya banyak, bibit unggulnya banyak. “Tapi nggak ada yang mau garap ini lahan. Jadi Papua itu hanya butuh “petani” saja,” ujar Iam, menggebu.

Di Jayapura, Iam menyebut dirinya sebagai “petani” yang menggarap lahan, menyemai, merawat, hingga melahirkan banyak bibit unggul—walaupun ia tak menampik bahwa alam telah melahirkan bibit-bibit unggul di daerah tersebut.

“Jadi saya coba bina, rawat, sampai panen, dan sekarang, pas panen pertama, kedua, akhirnya saya sudah mulai banyak regenerasi. Mereka sudah mulai berkarya di nasional sampai internasional,” katanya.

Dari Papua Melawan Dunia

Pada 2013-2014, Iam bertanya kepada dirinya sendiri. Mau kemana ia? mau membuat apa lagi setelah ini? “Karena modalnya udah ada, dalam arti modal sosial, pula ijazah. Saya sudah terlalu lama merantau, kasihan Mama, Mama sendiri. Itu alasan pertama saya balik ke Jayapura,” Iam berkata. Saya mengembuskan asap rokok.

Iam Murda saat menjadi narasumber di forum ISPAE 2024 | Foto: ISPAE, Rangga

Suasana tiba-tiba terasa melankolis. Sebagai perantau, mendengar Iam berkata demikian membuat hati saya menciut dan ingatan membawa saya ke pangkuan kampung halaman. Ah, sepertinya saya juga sudah lama meninggalkan Emak—mama versi Jawa.

Sebagai seniman, Iam memiliki keinginan—kalau bukan idealisme—untuk menumbuh-kembangkan ekosistem kesenian dan kebudayaan di tanah kelahirannya. Tetapi, saat ia pulang, iklim kesenian di Jayapura seperti hidup segan mati tak mau. Menurutnya, itu jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan periode 90-an sampai 2000-an. Kondisi ini membuatnya sedih.

“Di tahun-tahun pertama kepulangan saya ke Jayapura, saya mulai riset. Ternyata memang, secara mental, generasi belakangan ini tidak seperti kami dulu, yang apa pun bisa disiasati,” terang Iam. Saya tak berhenti mengisap rokok.

Untuk menciptakan iklim kesenian di Jayapura, Iam tak bisa bergerak sendiri. Jadilah ia “berburu” potensi di kampus dan sekolah tempatnya mengajar. Di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua dan SMAN 4 Jayapura Iam menjadi pengajar muda.

“Saya mulai cari potensi, siapa yang bisa diajak kerja sama untuk teknis, karena konsepnya sudah ada di kepala. Tapi untuk meyakinkan mereka memang tidak semudah yang saya bayangkan,” ujar pria anak satu itu.

Modal sosial menjadi modal penting dalam gerakan yang Iam lakukan selama ini. Ia sadar betul bahwa uang atau alat semacamnya bukan satu-satunya unsur penting dalam melakukan pergerakan. Pada saat Iam mulai bergerak di bidang audiovisual, film, ia mengakui sangat terbantu berkat jejaring pertemanan yang telah ia bangun.

“Modal sosial, modal kebaikan, itu modal. Kalau saya jahat, nggak ada yang mau bantu pinjamin kamera. Kalau saya jahat, nggak ada yang mau pinjamin saya baju, misalnya. Jadi, modalnya sebenarnya satu, modal kebaikan aja,” Iam berkata layaknya agamawan di mimbar sedang saya salah satu santri yang mendengarkannya dengan takzim.

Untuk mengedukasi anak-anak Papua, menurut Iam, pendekatan yang, sampai sejauh ini, efektif adalah menggunakan audiovisual. Untuk itu Iam mulai memproduksi webseries yang ditayangkan di kanal YouTube Indonesia Art Movement dengan statement yang gagah: webseries pertama di Tanah Papua. “Dan wuih, hasilnya… jelek sekali,” ujar Iam yang membuat saya ngakak.

Perjuangan Iam dalam membangun ekosistem kesenian di Jayapura bisa dikatakan berdarah-darah. Tak hanya sakadar menjadi motivator atau katalisator, ia juga harus mengandung dan melahirkan orang-orang dengan mindset baru—bahwa kesenian itu penting dalam kehidupan—di tengah pikiran orang-orang yang menganggap bahwa seni tidak bisa menjanjikan masa depan.

Papua, kata Iam, sudah teracuni, salah satunya oleh otonomi khusus. Ini membuat Papua menjadi malas dan tak produktif. “Tiap bulan mereka sudah mendapat beras,” kata Iam. Sebagaimana jamak terjadi di kota-kota lain, di Papua, selesai kuliah, anak-anak muda lebih senang menjadi pekerja kantoran, PNS, dan profesi lainnya yang mereka nilai lebih menjanjikan.

Mengenai kebijakan pemerintah di Papua, yang kadang banyak kurang tepat, saya teringat perkataan Butet Manurung dalam kata pengantarnya untuk buku Yang Menyublim di Sela Hujan (2017) tulisan Fawaz.

Dalam buku tersebut Butet menulis, saat kita datang ke suatu tempat kemudian di detik pertama kita langsung menerjemahkan pengalaman kasat mata dengan bergumam “kasihan”, “liar”, “miskin”, “bodoh”, “kotor”, “telanjang”, dan sebagainya, sebenarnya kita sedang melakukan kejahatan—karena seolah kita berkata paada mereka bahwa diri kita “lebih bahagia”, “beradab”, “kaya”, “pintar”, “bersih”, dan “sopan”.

Hal tersebut, lanjut penggagas sekaligus pendiri Sokola Rimba itu, berlaku juga ketika kita datang dengan niat untuk membantu. Setulus apa pun bantuan kita, tetapi pikiran-pikiran seperti itu berbahaya jika kita belum tahu betul situasi sebenarnya di lapangan.

Pikiran kita akan mewarnai bantuan atau program yang akan diberikan. Jika sebuah program atau bantuan didasarkan pada persepsi sepihak, maka yang terjadi adalah penaklukan—karena kita memaksakan kepada mereka untuk memakai ukuran-ukuran kita. Hati-hati, niat baik saja tidak cukup!

Orang timur “dipaksa” makan beras, misalnya. Mereka harus meninggalkan ubi-ubian, sagu, sorgum, dan jagung sebagai makanan pokok atas nama kemajuan dan status sosial yang lebih tinggi. Bertahun-tahun, wilayah timur Indonesia disebut sebagai daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan ter ter lainnya.

Kebijakan pemerintah (pusat) acapkali memperlihatkan “kejahatan” yang diperbuat atas nama kemajuan. Dan hal tersebut terus diproduksi secara massal. Padahal, di balik itu semua, pemerintah (kita) pula telah menyematkan pelbagai persepsi negatif kepada mereka (Papua). Lantas pemerintah merasa menjadi juru selamat ketika “menarik” mereka dari ketertinggalan dengan cara memaksa mereka dengan pola pikir Jawa atau Jakarta.

Tapi tidak dengan Iam. Ia tak memiliki tatapan “orang luar”, yang lebih cenderung “menaklukkan”. Perlu diingat, Iam orang Papua, ia lahir dan besar di sana, meski keluarganya berasal dari Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

“Saya cinta sekali sama Papua. Malah saya pernah bilang, karena saya sudah lahir, besar, di Papua, di Jayapura, khususnya, terus apa yang bisa saya kasih buat anak Papua? Saya nggak punya duit. Tapi saya punya pengetahuan yang mungkin bisa saya bagi,” tegas Iam.

Kerja-kerja Iam di Indonesia Art Movement (IAM) merupakan kerja membagi pengetahuan kepada mereka yang mempunyai frekuensi dan perspektif yang sama tentang masa depan yang lebih jelas.

“Dan akhirnya ruang-ruang kesenian itu tumbuh. Ekosistemnya pun pasti ada. Otomatis, ketika saya bikin pameran di sini, ada yang jualan, misalnya. Itu ekosistem. Itulah yang saya pikirkan,” ujarnya.

Sampai di sini, “perlawanan” Iam terhadap narasi-narasi mayor, katakanlah Jawa atau Jakarta, dapat kita lihat dari beberapa karya, khususnya film, yang telah ia lahirkan. Tengoklah Miki’s Hope (2018), misalnya. Dari segi bahasa daerah yang digunakan dalam film saja, kita dapat melihat perlawanan tersebut. Benar. Penggunaan bahasa daerah bagi banyak indigenous filmmaker (pribumi) adalah kekuatan.

Jayapura, seperti kata Iam, adalah kota urban, meski dalam konteks sinema Indonesia posisinya tetap berada di “arus pinggiran”. Karenanya, Iam berusaha untuk tidak mengekor pada bayang-bayang industri arus utama (mainstream) dan politik selera pusat (dalam hal ini Jakarta dan jaringan bioskop).

Sejauh ini, film arus utama tentang Papua nyaris diisi oleh film-film yang disponsori pemerintah dan film industri bioskop yang sarat akan diskriminasi rasial serta retorika cita-cita pembangunan, seperti Denias, Senandung di Atas Awan (2006), Lost in Papua (2011), Di Timur Matahari (2012), dll.

Saat ini, yang dibutuhkan Papua adalah film yang mampu melawan hegemoni narasi tentang Papua itu sendiri. Muak juga rasanya ketika harus mengonsumsi film-film semacam Tikam Polisi Noken (2022) yang melegitimasi negara Indonesia sebagai juru selamat—walaupun ternyata Iam Murda juga terlibat dalam penulisan naskahnya. Tapi tentu ia punya alasan untuk itu.

Iam ada jadwal wawancara lain. Saya mengakhiri obrolan. Rokok yang sedari tadi saya bakar tinggal sepetit dengan latu panjang di ujungnya. Dalam hati saya bergumam, semoga Iam tidak mengalami ketercerabutan identitas, cara pandangnya atas Papua, sebagaimana Miki dalam Miki’s Hope—yang bersedih atas ketercerabutan yang terjadi dalam dirinya. [T]

Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole

Rason Wardjojo, Gitaris Cilik, dan Bagaimana Ia Mengenal Jazz
Dua Jam Bersama Luh Menek
Bagaimana Adham T. Fusama Merancang Cerita?
Tags: filmIam MurdaISPAEPapua
Previous Post

Merayakan Khazanah Rempah dalam Lontar Bali, Sesi Khusus Singaraja Literary Festival 2024

Next Post

Demokrasi dalam Pilkada dan Partai Politik

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Demokrasi dalam Pilkada dan Partai Politik

Demokrasi dalam Pilkada dan Partai Politik

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co