“Saya tidak menerima kritik membangun dari orang-orang yang tidak pernah membangun untuk Tanah Papua.”
SAYA terkesiap saat ia menyebut namanya. Bukan karena apa-apa, hanya terdengar familiar saja saat saya mendengarnya. Tetapi sampai beberapa saat saya tak kunjung mendapat pencerahan, di mana dan kapan saya pernah mendengar nama lelaki muda dengan rambut panjang yang tanggung itu.
Siang itu ia menjadi salah satu narasumber di forum ISPAE (Indonesian Society for Performing Arts Ecosystem) di Bidadari Art Space, Ubud, Bali. Dan saya kebetulan dipercaya menjadi notulis dalam forum tersebut.
Saya suka presentasinya. Saya suka cara bicaranya yang blak-blakan dan nyaris tanpa tedeng aling-aling. Dan, tentu saja, saya juga tertarik dengan isi kepalanya—walaupun ini kali pertama saya bertemu dan mendengar ceramahnya.
Di forum tersebut, dengan bahasa Indonesia berlogat Timur yang khas, ia berbicara banyak tentang komunitas yang ia bangun—katakanlah, dengan berdarah-darah—dan ekosistem kesenian di Jayapura, tanah kelahirannya, kota yang ia “tinggalkan” bertahun-tahun itu. Sedetik pun saya berusaha untuk tidak luput dari apa yang ia sampaikan.
Sampai kepada kesempatan baik itu tiba. Di jeda saya menjadi notulis, dengan banyak pertanyaan di kepala dan, ya, sedikit kikuk, saya menghampirinya.
“Ayo. Nanti kita ngobrol!” jawabnya saat saya menyampaikan hendak mewawancarainya. Sosok yang menyenangkan, pikir saya.
Dan, di sore yang hangat di meja bundar yang terbuat dari kayu di kawasan Bidadari Art Space, tepatnya di samping restoran kawasan tersebut, ia duduk di sebelah saya. Saya menyalakan rokok, ia mengikutinya kemudian.
“Saya tertarik dengan presentasi yang Abang sampaikan tadi,” saya mengawali pembicaraan sesaat setelah kami saling berjabat tangan. Ia hanya menanggapinya dengan senyum dan sedikit tertawa. Barangkali ia mengerti bahwa itu hanya trik murahan dari orang asing yang mencoba mendekatiya—pula menginginkan sesuatu darinya.
Tetapi barangkali juga tidak demikian. Sebab saat ia mendengar Komunitas Mahima terlontar dari bibir entah siapa, roman mukanya berubah. Apalagi saat mengetahui bahwa saya juga berproses di sana, ia tak dapat menyembunyikan mimik mukanya yang kaget dan tak percaya.
“Film-film saya pernah diputar dan didiskusikan di sana,” dia berkata, menggebu. “Berarti sama Cotecx [panggilan akrab Kardian Narayana], ya?” tanyanya tiba-tiba. Kini saya yang kaget dan tak percaya.
Tetapi, aha, misteri itu terpecahkan juga. Benar. Saya mengetahui namanya terpacak di sebuah poster informasi pemutaran dan diskusi film yang rutin digelar oleh Komunitas Singaraja Menonton di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, sekira dua tahun lalu. Pantas saja saya merasa familiar saat ia memperkenalkan diri.
Perjalanan Panjang IAM
Namanya Iam Murda, seniman, dosen seni tari di ISBI Tanah Papua, pendiri Freedom Squad, sutradara sekaligus penulis skenario, pula “Kepala Suku” Indonesia Art Movement—kolektif seni budaya yang berbasis di Jayapura, Papua.
Iam Murda hanya nama panggilan—kalau bukan nama panggung. Nama lengkapnya cukup panjang: Muhamad Ilham Mustain Murda. Perawakannya tidak tampak seperti orang Papua, memang. Tapi percayalah, ia lahir dan besar di Tanah Jayapura. Di kota inilah, Iam, untuk pertama kalinya, melihat dunia dan menghirup udara.
Saya mengaktifkan aplikasi perekam suara. Dan ia mulai bercerita.
“IAM [Indonesia Art Movement] itu memiliki sejarah yang panjang,” ujarnya sembari tertawa kecil sebab ia merasa nama itu cukup narsistik. Singkatan itu diambil dari nama panggilannya, barangkali.
Sejak kecil, Iam melanjutkan cerita, ia mengaku sudah mengenal seni tari dan akhirnya jatuh cinta dengan budaya Papua—dan akhirnya mengenal budaya kontemporer bernama hip hop. Zaman itu Iam sudah memiliki keinginan, punya mimpi, bisa ke Jakarta dan masuk TV. “Bisa ketemu artis, bisa ke internasional,” lanjutnya.
Ketika itu, menurut Iam, hampir semua anak Papua—setidaknya anak-anak di sekitarnya—memiliki mimpi yang sama: ingin ke Jakarta dan masuk TV. Tetapi, kita tahu, itu hanya isapan jempol remaja naif semata, sebab tidak banyak yang berani mewujudkannya. Ada yang berani, tapi kandas di tengah jalan.
Seusai tamat dari bangku SMA, Iam ingin meraih mimpinya. Ia ingin kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Tetapi mendiang ayahnya tak setuju dengan alasan khas kebanyakan orang tua Indonesia bahwa seni tidak menjanjikan masa depan—alasan klise yang masih menjamur di negara ini. Dan, mendengar kisah tersebut, saya teringat sosok Neil dalam film Dead Poets Society (1989) garapan Peter Weir—dalam kasus lain, tentu saja.
“Akhirnya saya mengikuti kemauan orang tua saya. Pada 2003 saya putuskan kuliah teknik elektro di Makassar,” ucap Iam, mengenang. Kali ini, giliran sosok Farhan Qureshi dalam film 3 Idiots (2009) karya Rajkumar Hirani, sutradara India yang saya kagumi itu, yang terlintas dalam kepala saya.
Sebelum ke Makassar, karena saking ngebetnya Iam dengan seni tari, tepatnya pada tahun 1999, di masa transisi pergantian rezim itu, bersama beberapa kawannya, dia mendirikan komunitas bernama Freedom 99. “Tapi tahun 2006 saya membuat komunitas Freedom Squad—99-nya saya ganti dengan Squad,” kata Iam sambil membenahi letak rambutnya.
Bersama Freedom Squad yang ia dirikan di Makassar, Iam menorehkan banyak prestasi, salah satunya adalah juara Gatsby Styling Dance Contest Pan Asia 2009, dan ia terbang ke Jepang.
“Makassar itu underdog, tidak diperhitungkan, tapi malah juara. Itu sebenarnya cikal bakal kenapa saya berani memutuskan pulang ke Papua. Dan ke Jepang itu baru loncatan awal ternyata,” terang Iam. Saya menganggukkan kepala.
Iam Murda saat menjadi narasumber di ISPAE 2024 | Foto: ISPAE, Rangga
Angin sore itu cukup kencang, menerbangkan dan menggugurkan daun-daun bodhi yang tumbuh subur di sekitaran Bidadari Art Space. Saya membakar seputung rokok. Ini yang kedua kalinya. Sedangkan ia nyaris tak mengisap rokoknya sama sekali. Ia membiarkannya lenyap diterpa angin.
Cerita Iam tidak berhenti di sini. Sebagaimana ia katakan di atas, mimpinya adalah kuliah di IKJ. Dan ini fragmen lanjutan dalam perjalannya.
“Setelah tujuh tahun kuliah di Makassar, saya minta izin ke Mama, bapak sudah meninggal ketika itu, untuk pergi ke Jakarta. Mama bilang, ‘Udah lah, ko kerja aja di sini. Ko punya mimpi sudah ko gapai’. Tapi seperti ada yang kosong. Saya pengen lebih dari itu,” Iam melanjutkan ceritanya.
Iam berjanji kepada mamanya. “Beri waktu saya 2 tahun, untuk saya bisa mengejar mimpi, Mama,” ujar Iam kepada mamanya.
“Ko mau apa lagi?” tanya mamanya.
“Sebenernya saya pengen bikin film. Pengen bikin film tentang kisah saya dari lahir, besar, sampai bisa punya prestasi,” jawab Iam sederhana.
“Oke. Dua tahun, ya!” tegas mama Iam.
“Kalau nggak sukses, saya akan balik. Saya juga pengen bahagiakan Mama,” Iam berkata dengan suara yang lirih.
Ternyata membuat film tidak semudah yang ia bayangkan. “Nggak segampang itu,” dia berkata. Di Jakarta Iam tinggal di belakang Taman Ismail Marzuki, dan di dekat situ ada komunitas dari Papua dan Makassar. “Jadi saya bertumbuh di sana,” terangnya.
Iam hanya meminta waktu dua tahun di Jakarta, sebagaimana dialognya dengan mamanya. “Dan waktu itu sudah hampir setahun di Jakarta,” kata Iam. Selama setahunan itu Iam sudah tour ke beberapa negara bersama “We Came From The East”, salah satu karya Jecko Siompo—penari dan koreografer asal Papua yang terkenal itu.
Iam Murda saat menjadi narasumber di forum ISPAE 2024 | Foto: ISPAE, Rangga
Waktu di Jakarta hanya sisa setahun. Tapi Iam masih merasa belum saatnya balik ke Papua. Akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan studinya. “Saya bilang ke Mama mau melanjutkan kuliah. Dan Mama berkata, ‘Ah, ko stop gila-gila! Ini kan bapak meninggal masih banyak utang’,” ujar Iam menirukan jawaban mamanya.
“Saya bilang ke Mama begini: Tidak, Mama, saya telepon Mama ini bukan minta uang. Saya minta Mama restu saja. Mama menjawab, ‘Iya, terserah kamu. Yang penting itu saja, jaga kesehatan, pergaulan, begini-begini’,” terang Iam dengan logatnya yang khas. Saya tersenyum, kagum.
Iam melanjutkan S2 di IKJ. Masuk 2011, lulus 2013. Setelah itu ia pulang ke Jayapura. “Sepertinya sudah terlalu lama saya meninggalkan kota itu,” ujarnya.
Menurut Iam, sebagaimana ia menyitir analogi Garin Nugroho—sutradara film kenamaan di Tanah Air, Papua itu “lahannya” subur. Lahan yang ia maksud adalah potensi sumber daya manusianya. Potensinya banyak, bibit unggulnya banyak. “Tapi nggak ada yang mau garap ini lahan. Jadi Papua itu hanya butuh “petani” saja,” ujar Iam, menggebu.
Di Jayapura, Iam menyebut dirinya sebagai “petani” yang menggarap lahan, menyemai, merawat, hingga melahirkan banyak bibit unggul—walaupun ia tak menampik bahwa alam telah melahirkan bibit-bibit unggul di daerah tersebut.
“Jadi saya coba bina, rawat, sampai panen, dan sekarang, pas panen pertama, kedua, akhirnya saya sudah mulai banyak regenerasi. Mereka sudah mulai berkarya di nasional sampai internasional,” katanya.
Dari Papua Melawan Dunia
Pada 2013-2014, Iam bertanya kepada dirinya sendiri. Mau kemana ia? mau membuat apa lagi setelah ini? “Karena modalnya udah ada, dalam arti modal sosial, pula ijazah. Saya sudah terlalu lama merantau, kasihan Mama, Mama sendiri. Itu alasan pertama saya balik ke Jayapura,” Iam berkata. Saya mengembuskan asap rokok.
Iam Murda saat menjadi narasumber di forum ISPAE 2024 | Foto: ISPAE, Rangga
Suasana tiba-tiba terasa melankolis. Sebagai perantau, mendengar Iam berkata demikian membuat hati saya menciut dan ingatan membawa saya ke pangkuan kampung halaman. Ah, sepertinya saya juga sudah lama meninggalkan Emak—mama versi Jawa.
Sebagai seniman, Iam memiliki keinginan—kalau bukan idealisme—untuk menumbuh-kembangkan ekosistem kesenian dan kebudayaan di tanah kelahirannya. Tetapi, saat ia pulang, iklim kesenian di Jayapura seperti hidup segan mati tak mau. Menurutnya, itu jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan periode 90-an sampai 2000-an. Kondisi ini membuatnya sedih.
“Di tahun-tahun pertama kepulangan saya ke Jayapura, saya mulai riset. Ternyata memang, secara mental, generasi belakangan ini tidak seperti kami dulu, yang apa pun bisa disiasati,” terang Iam. Saya tak berhenti mengisap rokok.
Untuk menciptakan iklim kesenian di Jayapura, Iam tak bisa bergerak sendiri. Jadilah ia “berburu” potensi di kampus dan sekolah tempatnya mengajar. Di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua dan SMAN 4 Jayapura Iam menjadi pengajar muda.
“Saya mulai cari potensi, siapa yang bisa diajak kerja sama untuk teknis, karena konsepnya sudah ada di kepala. Tapi untuk meyakinkan mereka memang tidak semudah yang saya bayangkan,” ujar pria anak satu itu.
Modal sosial menjadi modal penting dalam gerakan yang Iam lakukan selama ini. Ia sadar betul bahwa uang atau alat semacamnya bukan satu-satunya unsur penting dalam melakukan pergerakan. Pada saat Iam mulai bergerak di bidang audiovisual, film, ia mengakui sangat terbantu berkat jejaring pertemanan yang telah ia bangun.
“Modal sosial, modal kebaikan, itu modal. Kalau saya jahat, nggak ada yang mau bantu pinjamin kamera. Kalau saya jahat, nggak ada yang mau pinjamin saya baju, misalnya. Jadi, modalnya sebenarnya satu, modal kebaikan aja,” Iam berkata layaknya agamawan di mimbar sedang saya salah satu santri yang mendengarkannya dengan takzim.
Untuk mengedukasi anak-anak Papua, menurut Iam, pendekatan yang, sampai sejauh ini, efektif adalah menggunakan audiovisual. Untuk itu Iam mulai memproduksi webseries yang ditayangkan di kanal YouTube Indonesia Art Movement dengan statement yang gagah: webseries pertama di Tanah Papua. “Dan wuih, hasilnya… jelek sekali,” ujar Iam yang membuat saya ngakak.
Perjuangan Iam dalam membangun ekosistem kesenian di Jayapura bisa dikatakan berdarah-darah. Tak hanya sakadar menjadi motivator atau katalisator, ia juga harus mengandung dan melahirkan orang-orang dengan mindset baru—bahwa kesenian itu penting dalam kehidupan—di tengah pikiran orang-orang yang menganggap bahwa seni tidak bisa menjanjikan masa depan.
Papua, kata Iam, sudah teracuni, salah satunya oleh otonomi khusus. Ini membuat Papua menjadi malas dan tak produktif. “Tiap bulan mereka sudah mendapat beras,” kata Iam. Sebagaimana jamak terjadi di kota-kota lain, di Papua, selesai kuliah, anak-anak muda lebih senang menjadi pekerja kantoran, PNS, dan profesi lainnya yang mereka nilai lebih menjanjikan.
Mengenai kebijakan pemerintah di Papua, yang kadang banyak kurang tepat, saya teringat perkataan Butet Manurung dalam kata pengantarnya untuk buku Yang Menyublim di Sela Hujan (2017) tulisan Fawaz.
Dalam buku tersebut Butet menulis, saat kita datang ke suatu tempat kemudian di detik pertama kita langsung menerjemahkan pengalaman kasat mata dengan bergumam “kasihan”, “liar”, “miskin”, “bodoh”, “kotor”, “telanjang”, dan sebagainya, sebenarnya kita sedang melakukan kejahatan—karena seolah kita berkata paada mereka bahwa diri kita “lebih bahagia”, “beradab”, “kaya”, “pintar”, “bersih”, dan “sopan”.
Hal tersebut, lanjut penggagas sekaligus pendiri Sokola Rimba itu, berlaku juga ketika kita datang dengan niat untuk membantu. Setulus apa pun bantuan kita, tetapi pikiran-pikiran seperti itu berbahaya jika kita belum tahu betul situasi sebenarnya di lapangan.
Pikiran kita akan mewarnai bantuan atau program yang akan diberikan. Jika sebuah program atau bantuan didasarkan pada persepsi sepihak, maka yang terjadi adalah penaklukan—karena kita memaksakan kepada mereka untuk memakai ukuran-ukuran kita. Hati-hati, niat baik saja tidak cukup!
Orang timur “dipaksa” makan beras, misalnya. Mereka harus meninggalkan ubi-ubian, sagu, sorgum, dan jagung sebagai makanan pokok atas nama kemajuan dan status sosial yang lebih tinggi. Bertahun-tahun, wilayah timur Indonesia disebut sebagai daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan ter ter lainnya.
Kebijakan pemerintah (pusat) acapkali memperlihatkan “kejahatan” yang diperbuat atas nama kemajuan. Dan hal tersebut terus diproduksi secara massal. Padahal, di balik itu semua, pemerintah (kita) pula telah menyematkan pelbagai persepsi negatif kepada mereka (Papua). Lantas pemerintah merasa menjadi juru selamat ketika “menarik” mereka dari ketertinggalan dengan cara memaksa mereka dengan pola pikir Jawa atau Jakarta.
Tapi tidak dengan Iam. Ia tak memiliki tatapan “orang luar”, yang lebih cenderung “menaklukkan”. Perlu diingat, Iam orang Papua, ia lahir dan besar di sana, meski keluarganya berasal dari Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
“Saya cinta sekali sama Papua. Malah saya pernah bilang, karena saya sudah lahir, besar, di Papua, di Jayapura, khususnya, terus apa yang bisa saya kasih buat anak Papua? Saya nggak punya duit. Tapi saya punya pengetahuan yang mungkin bisa saya bagi,” tegas Iam.
Kerja-kerja Iam di Indonesia Art Movement (IAM) merupakan kerja membagi pengetahuan kepada mereka yang mempunyai frekuensi dan perspektif yang sama tentang masa depan yang lebih jelas.
“Dan akhirnya ruang-ruang kesenian itu tumbuh. Ekosistemnya pun pasti ada. Otomatis, ketika saya bikin pameran di sini, ada yang jualan, misalnya. Itu ekosistem. Itulah yang saya pikirkan,” ujarnya.
Sampai di sini, “perlawanan” Iam terhadap narasi-narasi mayor, katakanlah Jawa atau Jakarta, dapat kita lihat dari beberapa karya, khususnya film, yang telah ia lahirkan. Tengoklah Miki’s Hope (2018), misalnya. Dari segi bahasa daerah yang digunakan dalam film saja, kita dapat melihat perlawanan tersebut. Benar. Penggunaan bahasa daerah bagi banyak indigenous filmmaker (pribumi) adalah kekuatan.
Jayapura, seperti kata Iam, adalah kota urban, meski dalam konteks sinema Indonesia posisinya tetap berada di “arus pinggiran”. Karenanya, Iam berusaha untuk tidak mengekor pada bayang-bayang industri arus utama (mainstream) dan politik selera pusat (dalam hal ini Jakarta dan jaringan bioskop).
Sejauh ini, film arus utama tentang Papua nyaris diisi oleh film-film yang disponsori pemerintah dan film industri bioskop yang sarat akan diskriminasi rasial serta retorika cita-cita pembangunan, seperti Denias, Senandung di Atas Awan (2006), Lost in Papua (2011), Di Timur Matahari (2012), dll.
Saat ini, yang dibutuhkan Papua adalah film yang mampu melawan hegemoni narasi tentang Papua itu sendiri. Muak juga rasanya ketika harus mengonsumsi film-film semacam Tikam Polisi Noken (2022) yang melegitimasi negara Indonesia sebagai juru selamat—walaupun ternyata Iam Murda juga terlibat dalam penulisan naskahnya. Tapi tentu ia punya alasan untuk itu.
Iam ada jadwal wawancara lain. Saya mengakhiri obrolan. Rokok yang sedari tadi saya bakar tinggal sepetit dengan latu panjang di ujungnya. Dalam hati saya bergumam, semoga Iam tidak mengalami ketercerabutan identitas, cara pandangnya atas Papua, sebagaimana Miki dalam Miki’s Hope—yang bersedih atas ketercerabutan yang terjadi dalam dirinya. [T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole