DI sebuah tembok, di ruang pameran itu, ada satu lukisan terpasang dengan begitu anggun, dengan gambar yang menarik perhatian. Lukisan itu berukuran 130 cm x 200 cm. Judulnya, “Sri Devi”.
Sri Devi, atau Dewi Sri, adalah dewi yang berhubungan dengan padi, dan secara luas berhubungan dengan dunia pertanian. Sehingga dari lukisan itu, pikiran jadi mengembara ke berbagai perasaan tentang dunia tani: Dewi Sri dengan citraan yang cantik, juga alih fungsi lahan, pestisida, gagal panen, harga gabah murah dan petani makin langka.
Kecantikan seorang dewi, dan keprihatinan yang bertubi-tubi, adalah paradoks dalam kehidupan kita kini.
Barangkali paradoks semacam itulah yang ingin ditampilkan dalam Pameran Seni Rupa yang dilakukan dosen dan mahasiswa Program Studi (Prodi) Seni Rupa di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) dan perupa lainnya, di ruang pameran Galerry Paduraksa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha, yang dibuka 12 Agustus dan akan berakhir 30 Agustus 2024.
Pameran seni rupa di Undiksha Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Pameran dengan tema “First Action” itu dibuka Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd. dalam suasana yang hangat. Memasuki perayaan bulan kemerdekaan, kata Lasmawan, kegairahan itu terasa menyala juga di ruang kecil Galerry Paduraksa ini.
Pameran ini, lanjut Lasmawan, adalah satu gerakan di bulan Agustus yang dilakukan para civitas akademika dalam mengimplementasikan nilai-nilai patriotisme baru untuk bangsa ini.
“Kami percaya bahwa seluruh civitas akademik Prodi Seni Rupa dan seluruh jejaringnya di medan seni akan terus bersinergi mengimplementasikan nilai-nilai patriotisme baru untuk untuk Indonesia maju,” kata Lasmawan.
Lasmawan mengatakan, ia menyambut sangat baik dan penuh semangat pergelaran pameran seni rupa ysng diberi tema ”FIRST ACTION” ini.
“Karena dari tema yang ditetapkan tersirat kesan makna bahwa ini adalah langkah permulaan untuk memulai menempuh serangkain agenda agenda sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan besar di masa akan datang pada bidang seni rupa baik di ranah kependidikan maupun ranah kreatifitas penciptaan dan produksi karya seni rupa yang disemangati oleh jiwa entrepreneurship,“ ucap Lasmawan.
Pameran itu diisi oleh 39 peserta yang diantaranya adalah dosen dan alumni. I Wayan Sudiarta, Dewa Agung Mandala Utama, Dayu Sartika B, Putu Dudik Ariawan, Gede Sarantika, I Ketut Andi Palwika, I Nyoman Suta Kadik Purtama, I Wayan Juni Antara, I Made Kartiyoga, Dewa Made Johana, I Nyoman Arisana, Nyoman Wijaya, A. A Istri Ratih Aptiwidyari, I Kadek Septa Adi, Tri Akta Bagus Prasetya, I Putu Yoga Satyadhi Mahardika, dan Vincent Chandra.
Kemudian ada I Wayan Trisnayana, I Made Sutarjaya, Putra Wali Aco, I Nyoman (Poleng) Rediasa, Gusti Nyoman Widnyana, I Putu Suhartawan, Made Astangga Wahyu, I Made Santika (Omo), Hardiman, I Gusti Ngurah Sura Ardana, I Ketut Supir, I Ketut Sudita, I Nyoman Sila, Joning, Luh Suartini, I Made Jendra, Kadek Darma Negara, Satya Pradana, Gegeut Pangestu, dan I Made Satya Hariwirma turut serta memamerkan karyanya.
Nama-nama itu merupakan para seniman yang banyak melakukan pameran baik di Bali maupun di luar Bali. Salah satunya adalah seniman dan dosen I Wayan Sudiarta. Lukisan Sri Devi itu adalah karya Wayan Sudiarta.
Sudiarta dan lukisan Sri Devi | Foto: tatkala.co/Son
Sudiarta adalah dosen yang lahir di Peliatan, 23 April 1969. Sejak 1990 sampai sekarang masih aktif menjadi peserta pameran bersama di Bali dan luar Bali. Seperti di Museum Negeri NTB, di Kampus Undiksha dan beberapa hotel di kawasan Lovina Singaraja, di beberapa gallery dan museum seni di Ubud, gallery di Denpasar. Beberapa kali ia ikut pameran di arena Pesta Kesenian Bali di Denpasar.
Lukisan Sri Devi dibuatnya tahun sekarang, 2024. Dengan teknik impasto. Lulusan ISI Denpasar itu hendak menyampaikan sesuatu melalui caranya menyapukan cat pasta tebal pada kanvas dengan menggunakan pisau palet. Teknik ini membentuk garis atau bidang yang lebih tebal. Teknik tersebut agaknya lebih ekspresif sebagaimana Vincent Van Gogh menciptakan cahaya begitu dalam, dan lingkaran yang terkesan bergerak pada lukisannya yang berjudul The Stary Night.
Tentu, pada goresannya yang tampak nyata pada lukisan Devi Sri milik Sudiarta itu, juga memiliki kesan kuat secara gambar dan karakter terutama pada garis dan pola. Pemilihan warna emas yang lebih dominan misalnya, sebagaimana padi menguning emas—padi di lukisannya juga tampak bergelombang, menari, dan menarik untuk didekati untuk dilihat. Juga warna lain pada aksesoris pakaian tubuh Dewi Sri, menjadikan lukisannya tampak realis jika ditinjau dari kejauhan, dan jika dekat, tak bisa diduga jika warna itu menggurat—menonjol selain nyata dipandang juga cenderung abstrak. Sangat terasa jika Sudiarta melukis dengan penuh ekspresi saat menarikan pisau paletnya di kanvas.
Mengapa Dewi Sri?
“Tentang Dewi Sri. Lebih kepada dewi kemakmuran, makanya di lukisan ini terdapat ikonik seperti padi yang menguning emas, atau dengan pertanian. Saya kira, kenapa saya melukis seperti ini sekarang, karena saya berharap, melalui lukisan orang kembali merasakan optimisme. Karena sumber-sumber kesedihan, sumber kekhawatiran terlalu banyak, baik di dunia nyata maupun di dunia maya semacam media sosial yang sekarang lebih banyak dikonsumsi,” jelas Sudiarta yang sekaligus menjadi koordinator dalam pameran itu.
Dalam hal lukisan, memang ia lebih banyak menggambar hal-hal tradisional. Pada lukisannya berjudul “Perselisihan Antar Saudara” tahun 2017 misalnya. Dengan tema yang sama “tradisional”, ia juga melukis menggunakan teknik impasto.
Lukisan karya Ketut Supir | Foto: tatkala.co/Son
Di pameran ini, tak hanya Sudiarta dengan teknik impasto dalam melukis, Hardiman dengan lukisannya berjudul “Jalak Bali” yang dibuatnya di sela-sela covid tahun 2020 itu juga menggunakan teknik yang sama yaitu impasto. Selebihnya saya tak tahu apakah ia menggunakan teknik yang lain sebab pada lukisannya tampak lebih menonjol pewarnaannya terutama pada garis bidang dan polanya, melebihi milik Sudiarta.
Menyusul “Kilin dan Kawannya” lukisan tahun 2020 milik I Ketut Supir juga menggunakan pisau palet dalam impasto, tentu dengan polesannya agak tipis dari Hardiman.
Tapi barangkali nilai apa yang hendak disampaikan oleh ketiga pelukis itu berbeda. Pada lukisan Sudiarta misalnya, setelah berbincang tak lama di pameran itu, ia menjelaskan sedikitnya bahwa teknik impasto yang ia gunakan memberikannya semacam spirit saat mengerjakannya, saat membuat simbol-simbol dalam lukisan. Karena ia memoleskan begitu penuh emosional atas apa yang hendak ia imajinasikan, diekspresikan.
Lukisan karya Hardiman | Foto: tatkala.co/Son
Dan barangkali, apa yang telah Sudiarta katakan bahwa lukisan Dewi Sri dilatarbelakangi juga oleh pikiran tentang bangsa ini yang sudah terlalu banyak diisi kecemasan, kebencian, kemunduran—yang disimbolkannya pada tikus atau jro ketut di samping Dewi Sri yang sedang memberi berkat.
Sehingga apalagi yang membuatnya ingin lebih bergairah selain memupuk percaya diri tentang hal-hal positif kepada diri sendiri dan tentunya orang-orang di sekitarnya. Untuk mengisi kemerdekaan dengan optimisme itu, barangkali juga tak hanya di bulan kemerdekaan—tetapi juga seterusnya selama manusia masih bergerak. Selama negeri ini merdeka. [T]
Editor: Adnyana Ole