“Saya tidak mau orang melihat Angga Wijaya dan sajak-sajaknya hanya dari sisi dia adalah seorang penyintas skizofrenia. Sajak-sajaknya sama dengan penulis lain dan tidak terlihat bahwa dia seorang penyintas!”
Itu kata I Made Sujaya tentang Angga Wijaya. Sujaya adalah kritikus sastra dan dosen di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia. Angga Wijaya adalah penyair yang menulis buku kumpulan puisi, [Bukan] Anjing Malam.
Buku puisi [Bukan] Anjing Malam diluncurkan Rabu (24/7/2024) di Yayasan Bali Bersama Bisa, Jalan I Wayan Gentuh X No. 8, Dalung, Badung. Dalam acara penuluncuran buku itu Sujaya adalah narasumber yang membedah buku karya Angga itu.
Saat itulah Sujaya bicara tentang puisi-puisi Angga di buku itu, dan tentu juga bicara tentang Angga Wijaya.
Sujaya, yang mantan wartawan dan redaktur sastra di Denpost itu membedah buku kumpulan puisi [Bukan] Anjing Malam dengan sangat baik. Ia memberi beberapa masukan terhadap karya-karya puisi Angga Wijaya yang sejak 2018 telah menulis tujuh buku kumpulan puisi itu.
Selain mengatakan bahwa sajak-sajak Angga Wijaya sama dengan penulis lain dan tidak terlihat bahwa Angga seorang penyintas, Sujaya juga memberi saran kepada Angga Wijaya bahwa dalam buku-buku puisi selanjutnya ia bisa melakukan pendekatan tematik, sehingga dalam sebuah buku terdapat warna atau tema yang sama.
“Misalkan saja sajak-sajak Angga bertema Islami yang pernah saya tulis ulasannya. Itu sangat bagus, di tengah isu primordial di Bali yang kini mengemuka. Menjadi apresiasi dari Angga yang lahir di keluarga Hindu tentang agama Islam,” katanya.
Meskipun, kata Sujaya, hal yang dilakukan Angga bukan sesuatu yang baru, karena tema yang sama, yakni orang Hindu yang menulis tentang Islam, pernah juga ditulis oleh pujangga zaman dahulu misalnya saja pada Geguritan Nabi Yusuf atau Geguritan Muhammad, yang menggambarkan harmoni antara Hindu dan Islam di Bali pada masa lampau.
Buku puisi [Bukan] Anjing Malam | Foto: Bonk Ava
Sujaya mengaku menyukai sajak-sajak Angga Wijaya karena ia menggunakan bahasa yang sederhana dan bisa dinikmati semua kalangan, tidak hanya bagi mereka yang menyukai dan menekuni sastra Indonesia.
“Dengan bahasa sederhana itu, sajak-sajak Angga mampu menyampaikan pesan tentang cinta, kesepian maupun pengalamannya sebagai penyintas skizofrenia. Itu di sisi lain justru bisa menjadi stigma. Ini yang perlu dipikirkan kembali oleh Angga, penyair asal Negara, Jembrana ini,” kata Sujaya yang banyak meneliti tentang karya sastra penulis di Bali.
Sementara itu, Angga Wijaya selaku penulis mengatakan bahwa menulis baginya merupakan sebuah terapi dan medium katarsis, terutama pada masa-masa pemulihan dari skizofrenia, gangguan mental yang ditandai dengan halusinasi, waham atau delusi dan kekacauan pola pikir.
“Dengan pengobatan medis ditambah dengan terapi menulis, saya saat ini telah stabil dan pulih. Saya ingin orang lain bisa percaya dan yakin bahwa pengidap skizofrenia atau jenis lain gangguan mental bisa pulih, asalkan rutin berobat dan mencari support system yang bisa mendukung mereka untuk pulih,” jelas wartawan media online di Denpasar ini.
Untuk itu, kata Angga Wijaya, penyematan dirinya sebagai seorang penyintas skizofrenia dilakukan dengan sadar, walaupun terdapat resiko yakni orang atau pembaca akan selalu menghubungkan dirinya dengan skizofrenia.
“Hal itu saya lakukan untuk meruntuhkan stigma terhadap penyintas gangguan mental yang sering dianggap tak punya masa depan, berbahaya, atau tidak mungkin bisa pulih. Di sini letak pentingnya ada komunitas seperti Yayasan Bali Bersama Bisa sebagai support system,” ucap Angga Wijaya yang merupakan salah satu pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali.
Pada sesi diskusi, beberapa peserta bertanya tentang proses kreatif Angga Wijaya dalam menulis puisi. Ada juga yang berbagi pengalaman mempunyai kesukaan pada puisi sejak kanak-kanak dan remaja, serta ingin kembali melakukan aktivitas menulis yang telah lama ditinggalkan,
Sujaya dan Angga pun berbagi pengalaman mereka sebagai penulis. Peluncuran buku kumpulan puisi [Bukan] Anjing Malam dilanjutkan dengan ‘Connections Night” atau Malam Keakraban yang menjadi program rutin Yayasan Bali Bersama Bisa setiap hari Rabu.
Dalam program ini, masing-masing peserta berbagi tentang apa yang mereka rasakan dan mengobrol dari hati ke hati, untuk kesehatan mental yang lebih baik dan persahabatan antara sesama manusia. [T][Rls]