SUDAH lewat tiga puluh menit, gong belum ditabuh, pertunjukan belum juga dimulai. Riuh penonton semerbak di pelataran kampus. Mereka menanti tontonan, sekaligus menanti bagaimana hasil belajar para mahasiswa selama semester genap tahun ini.
Ada juga orang tua mahasiswa yang tampak semangat dalam suasana menunggu. Para orang tua itu menunggu anak mereka, para mahasiswa yang akan menari di Wantilan Teruna Jaya, Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha, Singaraja, Jumat malam, 19 Juli 2024.
Tepat pukul 20:05, akhirnya ugrawakia keluar dari balik langse dan memberi pengumuman kepada penabuh untuk menjajaki masing-masing instrumennya. Yande, salah satu mahasiswa mengambil suling dan mulai memimpin melodi, disahut oleh Ari, Andika, Pande, Dian, dan seorang alumni yang ikut berkontribusi.
Malam itu adalah pementasan arja klasik yang memang dimainkan oleh mahasiswa. Arja itu digagas dan dimainkan sebagai bentuk tugas akhir (TA) mata kuliah drama mahasiswa Pendidikan Bahasa Bali semester 4.
Arja malam itu mengambil latar cerita “Alas Langit Peteng”. Ceritanya tentang I Gusti Agung Surya Nata dari Madarsa Pura yang hendak mencari rabi atau istri yang berasal dari daerah bernama Alas Langit Peteng.
Teguh Virgiawan berperan sebagai Gusti Agung Surya Nata | Foto: Wahyu Mahaputra
Suatu hari, I Gusti Agung Surya Nata pergi ke Alas Langit Peteng untuk meminang I Gusti Ayu Dyah Padmi, pujaan hatinya dari Alas Langit Peteng, namun di tengah perjalanan I Gusti Agung Surya Nata bertemu dengan kakak I Gusti Ayu Dyah Padmi yang bernama I Gusti Ayu Dyah Pataka.
Akhirnya, I Gusti Agung Surya Nata ditipu oleh I Gusti Ayu Dyah Pataka dengan mengatakan dirinyalah seseorang yang ia cari. Cerita berakhir pada ketidakpercayaan I Gusti Agung Surya Nata. Ia akhirnya menghadap ayah dari I Gusti Ayu Dyah Padmi dan I Gusti Ayu Dyah Pataka.
Tabuhan kendang beranjak lebih cepat, terlantun pupuh dari tokoh di balik langse (tirai). Dian Tristyanti, sebagai condong muncul pertama kali. Condong dalam pertunjukan arja berperan sebagai abdi untuk galuh. Berbekal olah vokal yang sudah dapat dikatakan matang, Dian tampil percaya diri dengan vokal menggelegar, melengking tinggi.
“Mih dewa ratu,” ujar condong sebelum masuknya galuh.
Setelah bermain panggung seorang diri, tak lama Ni Luh Septiyani keluar dari balik tabir, mukanya terpapar bias-bias cahaya lampu sorot. Sedikit pelan, tetabuhan mengiringi langkah Septiyani berperan sebagai galuh manis (putri protagonis). Meskipun terlihat kaku dalam menari, vokal dan intonasi Septiyani sebagai galuh I Gusti Ayu Dyah Padmi malam itu terdengar mantap dan dapat menyihir telinga penonton.
Arja sebagai seni yang menarikan atau melisankan naskah tertulis, terdapat banyak sesawangan atau perumpamaan yang ada dalam dialog condong dan galuh, seperti “kukune sekadi manik banyu,” yang artinya kuku yang putih dan bersih.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan dosen praktisi dalam mata kuliah drama, Ida Bagus Pidada Adi Putra, S.Pd. Menurutnya, dalam arja banyak penggunaan basa basita, sor singgih basa, dan sebagainya.
“Drama tari arja niki kompleks jakti, mebasa basita wenten, sor singgih basa, matembang, berbicara wenten,” ujar pria yang kerap disapa Bligus Pidada itu.
Setelah percakapan yang lumayan kompleks antara condong dengan galuh dan malam yang bertambah malam, pupuh dengan nada agak melengking pun mulai terdengar nyaring. Tokoh berganti.
Komunitas Sarwa Palaka, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Bali | Foto: Wahyu Mahaputra
Wulan, mahasiswa yang memiliki kebiasaan menulis, kini menjelma karakter menjadi Desak Rai dalam arja ini. Sedikit terengah-engah, Wulan tampil meyakinkan dengan guyonan-guyonan layaknya Desak Rai pada arja-arja yang dimainkan oleh seniman-seniman arja profesional.
“Yen sing ulian ujian, sing kenyakan dadi arja,” kata Wulan dalam karakter Desak Rai di atas panggung. Artinya, kalau bukan karena ujian, tak mau jadi penari arja.
Penonton, yang sebagian besar memang teman-teman mahasiswa, pun tertawa. Tak lama setelah itu, Wulan berhasil menguasai panggung.
Tiba saatnya kemudian Ayu Intan beraksi. Perempuan dengan nama panggilan Yuk Mang itu berperan sebagai liku (putri dalam karakter antagonis). Hadir sebagai tokoh antagonis dalam pementasan arja ini, Yuk Mang terasa pas memerankan I Gusti Dyah Pataka dengan logat Buleleng yang kental.
Desak Rai yang diperankan Wulan pun memberi pujian dengan nada jenaka. “Tayungane sekali cili ampehan angin.” Dan, penonton pun tertawa. Artinya ayunan tangan Sang Liku seperti cili (semacam hiasan dari janur) yang dihempaskan angin.
Yuk Mang tampil percaya diri. Jari-jarinya bergerak seperti air mengalir.
Dan, lampu terasa semakin terang, malam yang kian dingin, namun pertunjukan semakin hangat sebab akan menuju klimaks cerita.
Kini giliran para mahasiswa pria yang ada di jurusan Pendidikan Bahasa Bali semester 4 itu tampil sebagai punakawan, Penasar dan Wijil, yakni Kadek Suwarsana (Dekna) dan Ida Bagus Wisnu Dwi Nugraha (Gus Wisnu).
Penasar manis (punakawan dari sisi protagonis) yang diperankan Dekna tampak gagah dan seperti pemain arja senior dalam perihal tari. Dekna memang seorang pregina yang tekun, ia juga pernah menggarap fragmentari “Cakra Bara” dalam Ajang Kreativitas Mahasiswa, BEM FBS Undiksha tahun 2023.
Bahkan dosen praktisi, Bligus Pidada mengakui ketika melihat Dekna memerankan penasar, ia seperti melihat dirinya yang sedang menari.
“Tyang pun nyingakan sekadi padewekan tyang,” ujar Bligus Pidada saat memberikan ulasan.
Tak lama berselang, Gus Wisnu sebagai Ketut Kartala atau Wijil dalam pementasan ini keluar dengan begitu manisnya. Gus Wisnu yang berlatar seorang penabuh gender wayang ulung itu tampak piawai matembang.
Barangkali kemampuan itu terlatih secara tidak langsung saat mengiringi pementasan-pementasan wayang. Dekna dan Gus Wisnu tampil pangus di atas panggung kebanggan kampus bawah itu.
Pukul 21:27. I Gusti Agung Surya Nata alias mantri dalam pementasan arja ini akhirnya tiba di kalangan. Mantri manis (putra raja dari karakter protagonis) diperankan oleh Ketut Teguh Virgiawan. Dengan bancangan kamboja dan keris di punggung, Teguh menyikap tabir secara perlahan namun tegas.
Satu hal yang saya ingat tentang dirinya adalah bagaimana dirinya sangat mencintai arja sejak semester awal atau bahkan sebelum itu. Teguh sebelumnya selalu menampilkan arja seorang diri pada tahap seleksi bakat dalam ajang beauty pageant, seperti ajang Putra Putri Fakultas Bahasa dan Seni 2022 dan Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Bali 2024.
Seperti halnya dialog arja pada umumnya, banyak dialog antara punakawan dengan mantri ini yang mengandung tetuek atau pesan kehidupan, seperti “Tan Hana Wong Swasta Anulus” yang berarti tidak ada manusia yang sempurna. Ada juga berbicara tentang catur bekel (empat bekal hidup): suka, duka, lara, pati, dan masih banyak lagi.
Kadek Suwarsana sebagai Penasar | Foto: Wahyu Mahaputra
Malam itu benar-benar beralaskan langit peteng (langit malam) dan cerita diakhiri dengan pertemuan tidak sengaja antara I Gusti Agung Surya Nata dengan sang pucuk hati, I Gusti Ayu Dyah Padmi saat hendak menuju ke kawasan Alas Langit Peteng.
Romantisnya Teguh dan Septiyani sebagai mantri dan galuh dikacaukan dengan kedatangan I Gusti Ayu Dyah Pataka yang mengaku sebagai I Gusti Ayu Dyah Padmi dengan alasan ia menyukai I Gusti Agung Surya Nata dan sebagai seorang kakak, Dyah Pataka menganggap dirinya memiliki kuasa akan hal tersebut.
Akhirnya, mereka bertiga hendak menghadap ayah Dyah Padmi dan Dyah Pataka untuk memastikan dan membicarakan pernikahan.
Akhir cerita yang sedikit menggantung, membuat penonton sedikit kebingungan, namun hal tersebut bisa dipahami karena keterbatasan waktu dan sebagainya. Pementasan yang hampir dua jam tersebut terasa cepat, penuh kejutan, kepercayaan diri, bahkan nyaris mendapat nilai sempurna dari maestro arja Buleleng, Putu Raksa.
“Yen kadi tyang ngicen nilai, sami 90 niki,” tutur Sang Liku Lanang (julukan Putu Raksa) yang ikut menonton malam itu. Artinya, “kalau saya, semuanya saya beri nilai 90 ini.”
Kehadiran Pak Putu Raksa malam itu menambah kehikmatan pementasan, disambung pula dengan tuturan Ida Bagus Rai, S.S., M.Pd., selaku Koorprodi Pendidikan Bahasa Bali yang memberikan nilai plus pada pementasan malam itu. Tentunya tak lupa, bahwa pementasan ini terwujud dari campur tangan dosen pengampu beserta dosen praktisi mata kuliah drama, Dr. I Wayan Gede Wisnu, S.S., M.Si. dan Ida Bagus Pidada Adi Putra, S.Pd., dan yang paling berperan dalam hal ini adalah para mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Bali yang mulai malam itu menghimpun diri mereka dalam komunitas yang telah lama pasif, Komunitas itu bernama Sarwa Palaka. [T]