SORE di kawasan Ruang Terbuka Hijau Taman Bung Karno, Singaraja, orang-orang mulai berdatangan. Beberapa bersama keluarga, pasangan, dan tak sedikit yang datang sendirian. Ini akhir pekan. Sudah saatnya berlibur sejenak, mengambil jeda, sebelum kembali kepada rutinitas sehari-hari.
Di sudut-sudut yang telah ditentukan, berdiri tenda-tenda yang menaungi barang-barang pameran. Ada gamelan berirama (GAMA) dalam bentuk digital, ragam tenun (RANUN), komik strip, dan UMKM binaan Disperindagkop Kabupaten Buleleng. Dan inilah Festival Kebyar Kasih Pertiwi yang diselenggarakan Balai Pelestarian Budaya (BPK) Wilayah XV Bali-NTB.
Festival yang memacak tema “Rajutan Harmoni Kebudayaan” itu dilaksanakan selama dua hari, dimulai dari Sabtu, 20 Juli—sekaligus seremoni pembukaan festival—sampai dengan Minggu, 21 Juli 2024. “Selama tiga bulan terakhir, tim panitia bekerja dengan penuh dedikasi dan semangat,” ujar I Gusti Agung Gede Artanegara, ketua panitia kegiatan tersebut, Sabtu (20/7/2024) malam.
Janger Kolok Santhi Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng | Foto: Sonhaji
Pada hari pembukaan festival, sebelum dan sesudah acara serimonial, di bangku pentonton panggung utama Taman Bung Karno, seribuan pasang mata menyaksikan pertunjukan. Penampilan pertama datang dari Janger Kolok Santhi Desa Bengkala, Kubutambahan. Dilanjutkan dengan pertunjukan musik Ayu Laksmi yang memukau. Duo Perkusi yang enerjik. Dan ditutup dengan peragaan busana Fortuna Management.
“Kami menampilkan berbagai acara. Mulai dari pameran interaktif, gelar wicara, pertunjukan musik, pertunjukan seni rupa, gong kebyar mebarung, teater dan bondres,” terang lelaki yang akrab dipanggil Gung Arta itu.
Kebyar Kasih Pertiwi merupakan media atau ajang kolaborasi, ekspresi, dan apresiasi terhadap kebudayaan, khususnya yang ada di Kabupaten Buleleng. Pagelaran ini juga menjadi semacam jembatan komunikasi antara pemangku kebijakan, pelaku UMKM, seniman, dan penggiat budaya lainnya di Bali Utara. Sebab keterhubungan antarpihak ini sangat penting dalam ekosistem kesenian dan kebudayaan.
Pergelaran musik Ayu Laksmi | Foto: Sonhaji
“Kolaborasi dan keterlibatan dari berbagai pihak dalam pagelaran ini, menggambarkan bahwa upaya bersama untuk membangun sebuah ekosistem pemajuan kebudayaan telah terjalin dengan sangat baik. Sehingga memberikan harapan yang sangat positif terhadap warisan budaya yang ada di Kabupaten Buleleng terkait aspek pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatannya,” kata Abi Kusno, Kepala BPK Wilayah XV, dalam sambutannya pada malam pembukaan festival.
Adalah tugas kita semua, lanjutnya, untuk memastikan bahwa warisan budaya dan nilainya tetap hidup, berlanjut, dan relevan bagi generasi mendatang di tengah tantangan global yang terus berkembang. Cara membaca pikiran—atau dalam hal ini berfestival—dengan topangan kesadaran kolektif ini tentu saja mengandung heroisme tertentu.
“Apabila kita melihat Kabupaten Buleleng dengan Singaraja sebagai ibu kotanya, kita akan disajikan dengan sebuah wilayah dengan ekspresi budaya yang beragam,” ujarAbi Kusno.
Talkshow tentang kain tenun | Foto: Sonhaji
Benar. Orang Singaraja lahir dari “panci pelebur” bernama Buleleng dan hidup di dalam “mangkuk salad” bernama Bali. Mereka lahir dari adukan bermacam ras dan suku bangsa yang mendiami Buleleng pada abad-abad silam. Karena itu, salah satu ciri terpenting orang Singaraja—yang selama ini barangkali sering diabaikan—adalah keterbukaan pola pikirnya.
Singaraja merupakan kota yang memiliki sejarah panjang di Bali. Kota ini sudah menjadi pusat perniagaan sejak lebih dari 300 tahun yang lalu. Pada 1920-an, dari sini pula revolusi kesenian Bali bermula—dengan kebyar sebagai ikonnya. Tak hanya kesenian, tapi juga pers modern, sastra, dan pandangan mengenai negara-bangsa.
Di masa kemerdekaan Republik Indonesia, Singaraja menjadi Ibu Kota Kepulauan Sunda Kecil yang mencakup Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Dan sampai dengan tahun 1958, kota kelahiran ibu kandung Soekarno ini juga pernah menjadi Ibu Kota Provinsi Bali sebelum dipindahkan ke Kota Denpasar.
Ayu Laksmi | Foto: Sonhaji
Pada masa sebelum Denpasar sebagai “pusat”—dan Bali keranjingan pariwisata, segala elemen yang menunjang peradaban ada, hadir, dan dibangun di Singaraja. Ekosistem intelektual mulai terbangun. Namun, sejak Denpasar memenangkan “pertarungan”, sejak saat itu pula Singaraja seperti kehilangan “ruang” pengembangan intelektualisme dan elemen-elemen pendukungnya.
Kota ini secara drastis berubah menjadi seperti kerupuk di warung mie ayam: ada—dan mungkin penting bagi beberapa kalangan—tapi tidak terlalu dihiraukan. Atau sekadar kota yang hanya bisa meromantisasi kejayaan masa lalu (post power syndrome). Celakanya, hal itu terjadi selama bertahun-tahun—bahkan sampai hari ini.
“Singaraja kami pilih sebagai tempat festival karena, selain tidak ingin di Denpasar dan sekitarnya, saya melihat ekosistem kesenian di sini sudah terbangun. Ini sedikit membantu kerja-kerja kami,” Abi menerangkan alasan memilih Singaraja sebagai tempat kegiatan.
Penari dalam pementasan Duo Perkusi | Foto: Sonhaji
Ini satu hal yang menggembirakan. Sebab, biasanya, acara-acara seperti ini selalu terpusat di Bali Selatan—atau dengan kata lain Bali Selatan sentris. Padahal, kesenian dan kebudayaan Bali tentu saja tidak hanya berada di bawah atap orang Denpasar dan sekitarnya. Tapi juga di Tabanan, Karangasem, Jembrana, Bangli, dan Buleleng, untuk menyebut beberapa contoh.
Sampai di sini, Gung Arta berharap, di masa mendatang, Festival Kebyar Kasih Pertiwi akan terus berkembang, menjadi lebih besar dan lebih meriah, dan tetap menjadi wadah inspirasi dan kebersamaan bagi banyak orang.
Penonton yang antusias menyaksikan Festival Kebyar Kasih Pertiwi di Taman Bung Karno, Sukasada, Buleleng | Foto: Sonhaji
“Semoga Festival Kebyar Kasih Pertiwi ini meninggalkan kesan mendalam dan menjadi sumber inspirasi bagi kita semua. Mari kita terus bersama-sama merajut ragam harmoni kebudayaan kita dengan penuh cinta dan kebanggaan,” ujarnya.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole