Penulis: Kadek Juni Damayanti, Angeli Anatasya, dan Nyoman Aril Raditya Tirta, — mahasiswa Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional, Denpasar, Bali
***
BERANGKAT dari ketertarikan atas megahnya ukiran tebing batu padas pada slide show materi pariwisata budaya di kelas, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan dalam program field research. Program ini adalah satu kegiatan yang dilakukan mahasiswa Program S1 Pariwisata di Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional, Denpasar, Bali.
Kami pun menuju lokasi relief atau ukiran tebing batu padas di Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar, Bali. Ternyata di lembah itu, yakni Lembah Sungai Pakerisan, memang berdiri megah Pura Gunung Kawi. Ini sebuah situs yang sarat dengan nilai sejarah dan spiritualitas di Bali. Hal inilah yang menginisiasi kami untuk beranjak mengunjungi Pura Gunung Kawi itu.
Situs itu terletak di Desa Tampaksiring. Perjalanan menuju daya tarik wisata ini dapat ditempuh kurang lebih 2 jam ke arah utara dari kampus kami, kampus Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional.
Pagi hari kami melewati jalan-jalan pedesaan dan pemandangan sawah terasering subak, dan suasana itu membangkitkan gairah yang mengesankan untuk perjalanan field research kali ini.
Setibanya di area parkir, kami lanjutkan jalan kaki menuju pintu masuk (entrance gate). Kagetnya ternyata sudah ada pemandu wisata lokal (guide) yang menunggu dan menyambut kami. Pemandu itu, Nyoman Arta Sudana, yang lebih dikenal dengan nama Nyoman Manis, sesuai dengan manis senyumnya.
Nyoman Manis bertanya, “Apakah ada yang menstruasi?”
Pertanyaan dasar untuk memastikan tidak boleh ada yang mengabaikan kesucian dan kesakralan areal suci Pura. Selanjutnya kami dipastikan menggunakan pakaian yang pantas dan selendang.
Gambar Peraturan Pura Gunung Kawi
Kami menuju areal utama Pura Gunung Kawi. Ini adalah perjalanan menuruni sekitar 315 anak tangga dengan disusun batu kali yang rapi.
Selain memusatkan mata pada banyaknya anak tangga, kami juga menyaksikan sambutan alir sungai yang jernih dan suara merdu air terjun, menciptakan suasana yang tenang dan mendalam.
Pak Manis menjelaskan bahwa subak (areal persawahan di sekitar Pura Gunung Kawi, sebagai sistem pengairan pertanian tradisional Bali, mendapat aliran air sepenuhnya dari sumber mata air di Tirta Empul.
Sepanjang perjalanan turun kita juga disuguhin barang kerajinan tangan khas dengan seni tampak siring. Barang-barang kerajinan itu ditawarkan kepada tamu yang berkunjung ke Pura itu.
Kami, mahasiswa Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional dalam program field research di Gunung Kawi
Tiba di areal utama kawasan Pura Gunung kawi, muncul rasa lega dan bangga melihat megahnya candi-candi yang kokoh menempel pada dinding tebing batu padas. Dibangun pada abad ke-11, Pura Gunung Kawi dipersembahkan sebagai penghormatan kepada Raja Anak Wungsu dari dinasti Warmadewa.
Tempat ini sangat luas sekitar 50 hektar dan membaginya pada Kompleks yang terdiri dari 10 candi atau “candi-gunung” yang dipercaya sebagai makam raja dan keluarganya, meskipun ada juga yang meyakini bahwa candi-candi tersebut adalah tempat pemujaan. Ada 9 candi utama dan 1 candi lainnya di sisi selatan.
Di Pura Gunung Kawi ini terdapat 5 kawasan yang diperuntukkan sebagai tempat suci atau Pura, yakni Pura Kawan, Pura Puncak Gunung Kawi, Pura Taman Suci, dan Pura Melanting.
Relief atau ukiran candi di tebing padu padas
Masih terpesona oleh keahlian ukir para seniman pada masa lalu yang mampu menciptakan karya seni monumental dengan alat-alat sederhana, terlintas ingatan kami pada materi slide show, bahwa ada mitos jika dulunya candi ini dibuat oleh kuku seorang patih dari Kerajaan Bedahulu yang bernama Patih Kebo Iwa.
Ingin menghilangkan rasa penasaran, hal itu kami tanyakan ke Pak Manis selaku pemandu wisata. Meskipun belum ada bukti–bukti yang membenarkannya. Namun mendengar kisah keiklasan dari Patih Kebo Iwa cukup membayar rasa penasaran kami.
Pak Manis menambahkan bahwa tempat ini hingga saat ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali namun khusus pada situs purbakala pada candi-candi saja. Ini dikarenakan situs tidak diperbolehkan untuk diganggu ataupun diubah oleh masyarakat lokal, karena kalau situs ini berubah maka sejarahnya pun juga ikut berubah dan hal ini ada dalam peraturan perundang-undangan.
Setelah paham akan penjelasan tersebut, kemudian kami diajak melanjutkan perjalanan ke 1 candi lainnya yang lokasinya tidak jauh dari area candi utama, kurang lebih 15 menit. Betapa terkesima dengan kokohnya batu tebing seakan menjadi gerbang. Tidak cuma itu, kami sempat tertegun sejenak ketika kembali menemukan air terjun yang masih alami, hingga kami menemukan Candi ke-10 yang bernama Candi Prasadha Ukir di penghujung jalan.
Seolah candi terisolir sendiri, dan mata kembali tertuju dengan rasa penasaran pada tempat meditasi yang fisiknya menyerupai rumah jaman dulu. Pak Manis sekilas membenarkan jika dulunya tempat ini digunakan sebagai tempat bersemedi dan tidak sedikit yang datang atau tangki’ memohon petunjuk spiritual secara pribadi.
Secara keseluruhan, Pura Gunung Kawi adalah harta karun Bali yang menawarkan pandangan mendalam tentang sejarah dan spiritualitas. Dengan pendekatan yang tepat dalam pelestarian dan pengelolaan pariwisata, kita dapat memastikan bahwa situs ini akan terus kokoh sebagai lintas peradaban dan kebanggaan bagi generasi mendatang.
Harmoninasi yang benar adanya di antaranya pariwisata, budaya dan spiritualitas ada di sini. Wisatawan datang menciptakan peluang usaha bagi masyarakat lokal seperti kerajinan tangan, kain tradisional, dan oleh-oleh unik yang dapat dibeli wisatawan. Aktivitas ini meningkatkan pendapatan yang serta merta untuk memelihara dan menjaga tradisi budaya tetap berlangsung di tempat ini.
Warisan ini adalah tanggung jawab bersama, dan dengan dedikasi serta komitmen, kita dapat menjamin bahwa keindahan dan keagungan Pura Gunung Kawi akan tetap lestari sepanjang masa. Salam Pariwisata. [T]