ROMAN Muka adalah pameran arsip yang menampilkan wastra tradisional yang ragam hiasnya diciptakan dengan teknik-teknik khas yang memberi kesan “hiasan”—walaupun sebenarnya lebih daripada itu. Mulai dari bubuhan perada, sulaman yang dijahit di permukaan kain, hingga cukitan benang yang dikenal dengan songket, maupun pahikung.
Selain wastra, Roman Muka juga menampilkan objek-objek yang berguna untuk berhias; bersolek. Dengan konsep Roman Muka, yang berarti raut wajah, pameran ini mengajak kita untuk membaca dan menemukan kegembiraan dalam segala rupa ekspresi. Pameran ini memacak tema “Embellishments on Textiles and Objects”.
“Tahun lalu kami mengadakan pameran batik-batik bagian pesisir utara Pulau Jawa. Dan tahun ini, setelah saya dan tim memikirkannya, terpantik lah ide untuk mengangkat tema mengenai teknik penambahan hiasan pada tekstil dan objek,” ujar Samuel David, Event Manager sekaligus Kurator Pameran Roman Muka.
Arsip yang dihadirkan di Roman Muka dikurasi langsung dari arsip Pithecanthropus, jenama mode yang terinspirasi dari wastra tradisional Indonesia.
Sekadar informasi, Pithecanthropus adalah rumah mode dan gaya hidup yang terinspirasi oleh wastra tradisional Indonesia. Bermula dari toko oleh-oleh kecil yang didirikan 34 tahun lalu, Pithecanthropus berkomitmen untuk menjelajahi kembali budaya Indonesia melalui pakaian ready-to-wear, perhiasan, dan wastra lawasan.
Menurut Prinka Saraswati, writer dan co-curator Pameran Roman Muka, ini merupakan pameran ketiga dari Pithecanthropus. Pada pameran sebelumnya, Pithecanthropus juga fokus terhadap wastra. Namun, tahun ini, pameran hendak menyoroti lebih dalam mengenai teknik-teknik dalam kain yang tidak hanya berkutat pada pembuatan kain itu sendiri.
“Misal, untuk penenunan, pembatikan, itukan fokus dalam lembaran kainnya. Nah, yang kami fokuskan di sini adalah teknik untuk memberi tambahan atau kesan hiasan. Karena, beberapa produk budaya, seperti songket, manik-manik di kain, atau sulaman, misalnya, itu bukan sekadar hiasan. Dan kami ingin memberi pemaknaan yang lebih terhadap praktik tersebut—yang tidak hanya menganggap itu sebagai sekadar hiasan semata,” ujar Prinka.
Mengenai pertimbangan pemilihan objek pameran, Sam, panggilan akrab Samuel David, menjelaskan bahwa pada awalnya ia dan timnya melakukan pemetaan, riset pustaka, dan bertanya kepada beberapa narasumber mengenai hiasan dalam arsip Pithecanthropus. Pemetaan tersebut bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah hiasan dan apa saja jenisnya.
“Dari pemetaan itulah, secara garis besar, setidaknya ada lima teknik yang saya temukan dalam arsip Pithecanthropus. Pertama teknik songket, perada, pahikung, buna, dan sulam,” jelas Sam.
Kain songket disebut sebagai kain yang paling bertahta di Palembang. Tetapi tidak hanya di Palembang, ragam teknik songket juga bisa ditemukan di Minangkabau (Sumatera Barat), dan Bali. Dengan gayanya masing-masing, songket di tiap daerah menunjukkan budaya dan identitas khasnya.
Selain songket, sebagaimana telah disampai Sam, Roman Muka juga akan menampilkan kain buna dari Timor. Benar. Selain ikat, Pulau Timor juga dikenal dengan kain buna-nya. Benang disisipkan satu per satu di antara benang lungsi sehingga tampak depan dan belakang terlihat sama—dengan hasil yang menyerupai sulaman.
Ada juga teknik sulaman Minang. Dengan mengombinasikan nilai-nilai dan alam raya Minang, dengan teknik sulam dari India dan Cina, Sumatera Barat berkreasi dengan sulamannya yang hadir dalam kain hingga dekorasi untuk pernikahan.
Lalu ada tapis Lampung, kain yang secara tradisi hanya dipakai oleh perempuan Lampung pada upacara adat. Tapis adalah kain pusaka yang disulam dengan benang perak maupun emas. Dan perada dari Lasem dan Bali. Batik dan kain berlapis emas dari Lasem dan Bali, dikurasi oleh Pithecanthropus dan Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana.
Ya, Roman Muka juga bekerja sama dengan Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana, yang menjadi kurator untuk arsip kain dan objek Bali dari arsip koleksinya. Benar. Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana, periset, desainer, serta pengajar dari prodi Studi Fashion ISI Denpasar itu, turut mengkurasi pojok wastra Bali dengan koleksinya; songket, ider-ider tradisional Bali, hingga perabotan.
Sampai di sini, boleh dibilang, Roman Muka hendak menemukan, membaca, mempelajari, dan memaknai kembali apa yang telah bangsa ini miliki. Dan dalam konteks hari ini, pameran ini hendak menggali relevansi dan keberlanjutan kearifan tersebut. “Mau dibawa ke mana setelah ini?” tanya Sam.
Semua arsip atau benda yang telah dikumpulkan dan semua cerita yang telah didapatkan dari banyak orang itu, hendak dikembalikan kepada publik supaya dapat diakses dan memberi manfaat kepada banyak hal. “Jadi, objek-objek itu tidak hanya jadi benda koleksi pribadi saja, tapi juga dapat diketahui oleh orang-orang yang tidak memiliki benda tersebut,” tutur Sam.
Harapannya, Sam melanjutkan, banyak orang dapat terinspirasi dari pameran ini. Misalnya, orang-orang yang bergerak di bidang kesenian, kebudayaan, antropologi, atau cabang ilmu sosial lainnya, dapat menjadikan arsip-arsip atau benda-benda yang dipamerkan sebagai sumber penciptaan karya.
“Dalam hal desain, misalnya. Mungkin ragam hias yang kami pamerkan dapat menjadi inspirasi desain baru dalam bidang fashion dan bidang lainnya,” Sam menjelaskan. Selain itu, pameran ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran atau wadah pengetahuan bagi siswa dan mahasiswa atau generasi muda pada umumnya yang barangkali tidak pernah mengetahui perihal ragam benda-benda yang dipamerkan.
Sementara itu, Prinka Saraswati menegaskan bahwa Pithecanthropus secara konstan hadir untuk melakukan misi mereka, yakni menjelajahi ulang budaya Indonesia. “Dan saya rasa, mau besar atau kecil impact-nya itu bukan suatu masalah, si. Sebab kehadiran yang konstan dan stabil itu membantu untuk terus-menerus menebarkan kecintaan dan merawat kebudayaan,” tegas Prinka.
Pameran Roman Muka akan dibuka pada Sabtu, 20 Juli 2024 pukul 18.00 WITA hingga selesai, dan pameran akan berlangsung hingga 1 September 2024 di Masa Masa, restoran dan ruang hubung kebudayaan di Ketewel, Gianyar, di bawah naungan dua rumah kayu berusia lebih dari 250 tahun yang dipreservasi dari Palembang, Sumatera.
Selain pameran, Roman Muka juga memiliki serangkaian acara, yaitu Curatorial Talk bersama Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana dan Prinka Saraswati pada tanggal 10 Agustus 2024; Pasar Merdeka pada tanggal 17-18 Agustus 2024; dan lokakarya perhiasan manik pada tanggal 31 Agustus 2024 mendatang.[T]
Kontak: Samuel, Event Manager (+62812-8766-0001)