MODAL Rp.5000 sudah bisa nongkrong sambil ngopi dan makan gorengan nikmat di Singaraja. “Ah, memangnya ada tempat nongkrong semurah itu?” Pertanyaan itu yang muncul di kepala saya ketika Sonhaji, teman saya, memberitahu bahwa di Singaraja ada warung yang menjual segelas kopi dengan harga 2000 rupiah dan gorengan dengan harga 500 perak.
“Serius? Lima ratus rupiah sudah dapat gorengan, Son?” tanya saya masih tak percaya.
“Iya, Bang. Ayo ke sana kalau gak percaya!” sahut Sonhaji meyakinkan saya.
“Wah, cocok itu Son. Pagi-pagi begini, enaknya ngopi sambil ngudud dan makan gorengan hangat.”
Pagi itu kami meluncur dari Jl. Pantai Indah Singaraja menuju warung murah meriah di Jl. Bisma—warung yang Sonhaji maksud—dengan mengendarai El Cobra, motor bebek tua kendaraan dinas kebanggaan anak-anak tatkala.co.
Tak lama kami pun tiba di Jl. Bisma Barat Nomor 10 Banjar Tegal, Kecamatan Buleleng, warung tujuan kami. Saat itu tepat pukul 10.00 WITA. Warung itu terletak persis di ujung tikungan Jl. Bisma Barat, di depannya terdapat papan nama bertuliskan “Kedai Bambu Eng”.
Bangunan itu berlantai acian semen dengan dinding dari kombinasi susunan batako dan batang bambu. Luas bangunan kedai kurang lebih 4×5 meter persegi. Sederhana sekali, namun cukup mudah untuk dikenali.
Kami turun dari motor. Dan saat melepas helm, hidung saya dibelai oleh aroma sedap adonan gorengan yang bersentuhan dengan minyak panas. Kami masuk ke dalam kedai. Sementara Sonhaji duduk di kursi bundar bersandar di pojokan kedai, saya menghampiri pemilik warung (sang penjual). Namanya Ketut Miardi. Saat itu ia sedang menggoreng perkedel sayur di dapur kedai yang hanya dipisahkan etalase stainlees.
Bermaksud memesan 2 gelas kopi dan beberapa gorengan, melihat Ketut Miardi sedang sibuk menggoreng saya bertanya, “Gorengannya sudah ada yang matang, Bu?”
“Belum, Dik,” jawab Bu Ketut.
“Kalau begitu saya pesan kopi 2 sambil nunggu gorengannya Bu.”
Sembari menunggu kopi pesanan kami, saya menyalakan sebantang rokok sambil melihat-lihat sekeliling kedai itu. Saya terperangah melihat papan menu yang menempel di dinding bambu tepat di atas kepala Sonhaji. Dalam hati saya terheran. “Gokil nih warung.” Bayangkan saja, makanan paling mahal di sini dijual seharga Rp.10.000, dan minuman paling mahal dijual seharga Rp.4000.
Menu Kedai Bambu Eng | Foto: Sonhaji
Masih dalam keadaan mangap, terperangah dengan menu kedai yang extremely cheap itu, Bu Ketut menghampiri kami dengan membawa nampan plastik persegi panjang, dua gelas kopi hitam panas di atasnya.
“Ini Dik, kopinya.”
“Terima kasih, Bu. Sudah lama buka kedai ini, Bu?” sekadar basa-basi saya bertanya.
“Wah, sudah dari sebelum Covid saya buka, Dik, 2018-an. Tapi pas Covid sempat tutup, soalnya sepi,” jawabnya ramah.
Tanpa berharap banyak, mengingat harganya yang sangat murah meriah, notok njedug (istilah yang acap kali saya gunakan di kampung halaman saya, Mojokerto, Jawa Timur; untuk mengibaratkan hal-hal yang sudah mentok untuk dipikirkan), kopi dua ribuan itu saya sruput bergantian dengan mengisap sebatang rokok. Benar saja, rasanya tak jauh beda dengan kopi pinggir jalan yang sering saya jumpai di jalanan Kota Singaraja.
Kendati demikian, menurut saya, ini lebih baik daripada kopi instan kemasan sachet. Harganya pun cukup bersaing kalau dibandingkan dengan kopi pinggir jalan yang rata-rata dijual dengan harga Rp.3000 sampai Rp.4000-an. Justru ini hampir setengah harga lebih murah dari kopi pinggir jalan namun dengan rasa yang sama.
Sedang enak-enaknya saya menyeruput kopi dan mengisap rokok sambil scrolling YouTube, tiba-tiba Sonhaji menawarkan sesuatu yang tak pernah saya pikirkan. “Gak mau nyambung Wi-Fi,Bang?”
“Memangnya ada Wi-Fi di sini, Son?” tanya saya seakan tidak percaya kedai kecil ini punya koneksi Wi-Fi.
“Ada, Bang. Ini password-nya kalau mau nyambung,” ujar Sonhaji serius.
Saya hubungkan jaringan ponsel saya ke Wi-Fi kedai itu. Vidio YouTube dengan resolusi tinggi (1080P) terasa lancar tanpa buffering sama sekali. Selain menyediakan fasilitas Wi-Fi, kedai murah meriah notok njedug ini juga menyediakan 2 buah kipas angin untuk pelanggan, dan televisi berukuran kurang lebih 27 inch yang terletak di dapur kedai namun masih dapat terlihat dan terdengar jelas dari kursi pelanggan.
Sembari saya menonton video YouTube dan menikmati kopi, terdengar suara Bu Ketut dari dapur. “Nih, Dik, gorengannya sudah ada yang matang.” Saya beranjak dari tempat duduk menuju etalase kedai itu dan mengambil 8 buah perkedel sayur yang baru saja diangkat dari penggorengan.
“Sebiji berapa nih, Bu?” tanya saya memastikan.
“Lima ratus,” jawab Bu Ketut Miardi entang saja.
“Widih, berarti 8 biji ini empat ribu dong, Bu. Kalau saya beli sepuluh ribu aja, bisa-bisa mabuk gorengan saya ini,” ujar saya sambil bercanda. Mendengar candaan saya, Bu Ketut tertawa singkat sembari lanjut menggoreng sisa adonan perkedel sayurnya.
Jika dibandingkan dengan gorengan pada umumnya, perkedel sayur lima ratusan ini memang berukuran lebih kecil, meski tidak kecil-kecil amat. Kira-kira ukurannya sebesar 2 bola bekel.
Penasaran dengan rasanya, saya gasak gorengan lima ratusan itu satu persatu. Saya tidak begitu memperhatikan isian sayurnya, tapi menurut saya tidak seperti perkedel sayur yang biasa saya makan yang rasanya gurih asin. Ini ada sedikit rasa manis dari biji jagung yang pecah saat dikunyah.
Perkedel sayur Kedai Bambu Eng | Foto: Son Haji
Di luaran sana, kerap saya menyantap perkedel sayur yang terasa lebih banyak tepungnya daripada sayurnya. Namun perkedel sayur lima ratusan ini, selain lebih murah, isian sayurnya juga cukup banyak untuk ukurannya yang mungil itu. Hangat, nikmat, empuk, manis, gurih, dan asin dengan harga Rp.500 itu sangat istimewa bagi saya.
Sembari menyantap perkedel sayur dan meminum kopi yang tinggal setengah gelas itu, saya bertanya kepada Bu Ketut Miardi dari pukul berapa kedai ini buka dan sampai pukul berapa kedai ditutup. Ini penting saya tanyakan, setidaknya sebagai patokan waktu jika suatu saat saya ingin berkunjung lagi.
“Kalau bukanya gak nentu, Dik. Yang jelas pagi-pagi sekali saya belanja ke pasar dulu. Nah, kalau tutupnya, paling malam itu jam 9 saya sudah tutup,” ucap Bu Ketut Miardi.
Sambil menikmati gorengan saya mendengar Ketut Miardi bercerita. Sebelum membuka kedai sederhana ini, ia mengaku pernah berjualan di kantin kampus kebidanan di Jl. Bisma Barat Nomor 25, tak jauh dari kedainya saat ini.
Namun, semenjak asrama kampus kebidanan dipindahkan, kantin tempatnya berjualan sepi pelanggan. Lalu, sekitar tahun 2018-an, ia membuka kedai yang dinamainya “Kedai Bambu Eng” ini—saya tak bertanya lebih dalam soal apa alasan di balik nama kedai tersebut.
Saat itu kedai Bu Ketut terasa sepi. Selama saya dan Sonhaji asyik ngopi sambil menyantap gorengan, saya baru menjumpai 2 pelanggan yang membeli makanan yang dibungkus untuk dibawa pulang. Di situ rasa ingin tahu saya terpancing untuk mengetahui siapa saja, atau dari kalangan mana saja pelanggan Kedai Bambu Eng.
“Dulu banyak anak PGSD yang belanja di sini, Dik. Ada juga beberapa mahasiswa dari Jawa yang dulu sempat ngekos sekitar sini. Kalau sekarang sih biasanya anak-anak Medan yang sering belanja di sini,” ujar Bu Ketut sembari memasak di dapur kedainya.
Sampai di sini, sebagai mahasiswa saya merasa perlu untuk tahu tempat-tempat seperti ini. Tempat seperti ini, tempat nongkrong untuk melepas penat dengan harga menu yang bersahabat. Tempat mengobati rasa lapar dengan budget ekonomis.
Oh, sekadar informasi, Kedai Bambu Eng sudah tercatat di Google Maps. Alamatnya di Jl. Bisma Barat Nomor 10 Banjar Tegal, Kecamatan Buleleng. Lokasinya cukup dekat dari kampus tengah Undiksha. Selamat berkunjung.[T]
Reporter: Hizkia Adi Wicaksono
Penulis: Hizkia Adi Wicaksono
Editor: Jaswanto