SABAN enam bulan sekali, masyarakat Hindu memperingati hari turunnya pengetahuan ke dunia yang diperantarai oleh seorang ibu bergelar Saraswati. Ketika turun ke dunia, beliau tidak hanya berkenan menempati bangunan mati berbentuk fisik-material, tetapi juga berstana di tubuh manusia yang hidup bernama lidah.
Lidah sebagai stana Saraswati disebutkan secara simbolis-filosofis dalam karya sastra Uttara Kanda. Pustaka itu menarasikan fragmen turunnya Saraswati ke lidah ketika Brahma hendak memberi anugerah kepada raksasa yang bernama Kumbakarna. Menyusupnya Saraswati ke lidah Kumbakarna menyebabkan ia kehilangan kendali untuk menyampaikan harapannya usai melakukan tapa brata yang berat. Kumbakarna gagal mendapatkan anugerah kesenangan abadi atau sukasadda karena Dewi Saraswati membelokkan lidahnya sehingga ia mengucapkan permohonan untuk tidur terus ‘supta saddha’.
Berangkat dari perenungan terhadap cerita di atas kita mendapatkan kesan bahwa lidah sebagai penghasil kata-kata menjadi manifestasi utama pengetahuan atau Saraswati. Baik dalam karya sastra maupun realita, kata-kata yang diujarkan orang menjadi parameter sejauh mana ia terpelajar atau kekurangan ajar. Dalam karya sastra Bhisma Parwa misalnya, kata-kata yang diucapkan Krisna mampu mencerahkan kegelapan batin dari Arjuna menghadapi situasi perang. Sementara itu, dalam karya sastra Bharatta Yuddha, kata-kata Bhagawan Biasa menyingkirkan kabut yang menyelimuti kekacauan pikiran Drupadi pasca kematian anak-anaknya.
Kata-kata dengan demikian adalah manifestasi Saraswati yang secara fisik didengar lalu dicerap oleh indra pendengaran seseorang ketika bertutur dengan mitra wicaranya. Memang benar kata-kata yang didengar itu tidak hilang untuk sementara karena otak memiliki memori yang tidak kita ketahui dengan pasti berapa besar kapasitasnya. Kita juga tidak pernah menghitung dalam sehari, berapa kata yang didengar dan mampu diingat oleh otak? Tidak hanya itu, kita seringkali tidak terampil dan tidak punya kekuasaan penuh untuk memilah sari-sari kata yang mesti didengar atau “sampah kata” yang mesti kita buang ke tempatnya. Entah kenapa “sampah kata” yang bisa melukai perasaan pemiliknya lebih lama melekat dalam ingatan. Dari seratus ujaran baik, satu ujaran yang menyakitkan bisa diingat oleh otak bahkan hingga akhir hayat.
Itulah salah satu kelemahan dari ujaran yang disampaikan secara lisan. Tuturan itu akan lenyap dilahap udara dan sirna seiring melemahnya kemampuan otak akibat umur yang tak mampu diukur. Para pelajar di masa lampau sangat menyadari hakikat alami ini. Oleh sebab itu, mereka menciptakan simbol-simbol visual yang dapat digunakan untuk mengabadikan sari-sari pemikiran, sari-sari pengetahuan, dan sari-sari pengalaman hidupnya sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.
Simbol-simbol visual itu semula sangat sederhana berupa tampak-tampak tangan yang ditempel di dinding gua. Melalui simbol itulah mereka menunjukkan eksistensinya. Seiring kemajuan daya berpikir dan berkreasinya, manusia lalu menciptakan tanda-tanda yang identik dengan alam sekitarnya. Gunung diwujudkan dalam bentuk segitiga, matahari/bulan dalam wujud bulat, areal diwujudkan dalam bentuk segi empat, dan seterusnya. Tidak hanya berhenti pada simbol-simbol alam, pengetahuan yang dimiliki manusia menuntunnya untuk membuat simbol-simbol yang dapat mewakili ujaran. Pada awalnya simbol-simbol ujaran itu mewakili suku kata seperti ka, kha, ga, gha, nga, selanjutnya mereka berhasil menemukan simbol yang mewakili satu bunyi untuk satu simbol. Evolusi kemampuan dan kemajuan berpikir manusia dalam menciptakan simbol itulah yang menghasilkan aksara.
Aksara berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata a yang artinya tidak dan ksara yang artinya termusnahkan. Dengan demikian aksara berarti sesuatu yang tidak termusnahkan. Kenapa disebut tidak termusnahkan? Karena aksara berfungsi mengawetkan dan mengabadikan pikiran melalui kata-kata dalam wujud grafis dan visual. Aksara-aksara inilah yang menanggung beban untuk mengabadikan pengetahuan pasca dituturkan atau diwahyukan secara lisan. Oleh sebab itu, dalam keyakinan para intelektual-spiritual di masa lampau, aksara lalu dijadikan stana untuk memuja pengetahuan atau Saraswati.
Bersandar pada uraian di atas, kita mengetahui bahwa ada proses penggenahan Saraswati dari lidah dalam tubuh manusia sampai pada aksara. Hal inilah yang menyebabkan pada saat hari suci Saraswati untuk sesaat dari pagi hari sampai siang, kita tidak diperkenankan membaca aksara karena Saraswati sedang diturunkan dalam aksara-aksara tersebut. Yang dipuja sekali lagi adalah aksara, bukan medianya!
Karena masyarakat di masa lampau menulis di atas lontar maka secara sederhana dikatakan mantenin lontar ‘mengupacarai lontar’. Sejatinya bukan lontarnya yang dipuja tetapi aksara sebagai sarana menuangkan pengetahuan, aksara sebagai media literasi yang mencerdaskan! Sayang, usai mengupacarai lontar, budaya literasi tidak berlanjut. Membersihkan dan mengupacarai hanya sebatas ritual yang tidak termanifestasi menjadi aktivitas literal berupa baca-tulis yang massif dan berkesinambungan.
Saat ini, Saraswati juga disimbolkan dengan patung di hampir setiap instansi pendidikan. Penting direnungkan, semoga saja ini tidak bermakna daya literasi aksara kita menjadi semakin melemah akibat daya pikat perwujudan fisikal. Parahnya lagi, apabila proses pematungan itu menyebabkan orang tidak menemukan sisi keindahan atau kecantikan halus di atas guratan aksara yang sama-sama sebagai stana Saraswati.
Saat Dewi Saraswati turun pada Saniscara Umanis Watugunung kita puja beliau dengan sarana sesaji untuk mendapatkan anugerah pengetahuan. Usai memuja dengan sesaji, setiap harinya kita puja Saraswati dengan sarana kesungguhan dan kerendahan hati agar jernih pengetahuan dapat ditimba lalu mengalir ke ceruk-ceruk batin. Pustaka Sri Purana menekankan upacara tersebut hanya dilakukan dari pagi sampai siang, sebab ketika sore beliau telah kembali ke Brahmalaya. Kenapa demikian? Barangkali Saraswati adalah simbol fajar baru yang senantiasa mengusir kegelapan hati dan pikiran melalui pengetahuan. Sudah saatnya, Saraswati menjadi momentum kebangkitan kesadaran literasi. [T]
BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA