MENYAKSIKAN kesenian genjek, selalu ada yang menarik. Maka wajar, setiap pementasannya, kesenian yang mulai ada di Kabupaten Karangasem sebelum Gunung Agung meletus itu selalu mendulang penonton. Seni ini selalu dimainkan dengan gembira, enerjik dan sarat dengan pesan-pasan moral.
Terkadang pesan-pesan itu mengandung kisah asmara atau cinta yang membara, namun dinyanyikan dengan lugas dan indah, sehingga pesan moral yang bersifat membangun dan positif itu sampai di hati penonton.
Genjek selalu dihidupkan dengan kata “cepak” dan “kesek”. Kata itu barangkali tak bermakna, tetapi tertata dan masuk dalam kata-kata nyanyian dengan ritme yang baik, sehingga terdengar sangat menarik.
Demikian pula, ketika Genjek dipentaskan dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI, musik hiburan para petani di sela-sela musim tanam dan musim panen itu memukau pengunjung. Anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga yang perempuan larut dalam pementasan itu.
Wisatawan asing, juga tak mau melewatkan momen tersebut, sehingga memasang kamera handphone untuk mengabadikan sajian seni yang sangat enerjik itu. Vokal, alunan gending (lagu) hingga ‘kesek’ dan ‘cepak’ yang terkadang mendominasi, sungguh menawan.
Saat itu, Sekaa Genjek Gensos Mahardika, Lingkungan Jasri Kaler, Kelurahan Subagan, Kabupaten Karangasem yang tampil memukau di Kalangan Angsoka, Minggu 23 Juni 2024. Sajian seni ini memadukan unsur-unsur baru dalam hal instrumen, sehingga lebih menarik.
Sekaa Genjek Gensos Mahardika didukung oleh 24 pemain, terdiri dari 1 orang sebagai vocal, 2 pemain kendang, 2 pemain angklung bambu, 2 orang pemain suling, 1 orang pemain kecek ricik, 1 memainkan rindik, 1 orang memainkan kecapi, 1 pemain petuk, dan 1 memainkan gong pulu.
Lalu, sisanya bertugas sebagai pelontar kata ‘cepak’ dan ‘kesek’ yang membuat kesenian genjek lebih menarik. Genjek, dulu biasa dimainkan sambil besenda gurau dan minum tuak, secara spontanitas lalu bernyanyi dipadukan dengan cepak dan kesek itu.
Walau demikian, untuk penampilan kali ini tidak ada minuman tuak. Meski demikian, kekhasan kesenian genjek masih mampu disajikan secara berkumpul, bersenda gurau dan bernyanyi bersama menghibur hati.
Kekompakan warna vokal yang iringan alat-alat musik itu, mampu memikat pengunjung. Lagian, Sekaa Genjek Gensos Mahardika Karangasem membawakan lagu-lagu baru. Maka tak heran, pengunjung yang biasa mendengarkan genjek, tetap saja tertarik alunan musik mulut itu.
Apalagi, dalam penampilannya sekaa ini memadukan unsur-unsur instrument yang baru, sehingga menjadikan sajian seni yang atraktif. Pengunjung PKB, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, wanita hingga wisatawan mancanegara rela duduk berdesak-desakan.
Bahkan ada yang berdiri mirip sebuah pagar di pinggir kalangan. Pergelaran yang dimulai pukul 17.00 Wita dan berlangsung sekitar 1,5 jam itu sangat menghibur dan mengedukasi melalui pesan-pesan yang disampaikan.
Pemain yang bertugas memainkan alat musik, tak hanya bertanggung jawab terhadap permainan insrumen, tetapi juga terlibat juga sebagai genjek. Mereka ikut menyanyi bersama, menari-nari menggangkat tangan, sehingga memiliki warna suara yang beragam dan manis.
Sekaa Genjek Gensos Mahardika, Lingkungan Jasri Kaler, Kelurahan Subagan, Kabupaten Karangasem di PKB 2024
Komposisi atau pola lantai dalam pentasnya sangat sederhana, yakni berbaris melingkar. Sementara yang di belakang dekat pintu masuk, berbaris dua dengan rapi. Busananya sederhana, yakni mengenakan kain hitam, saput poleng, baju putih satin dan udeng batik lalu di telinga terselip bunga pucuk.
Sekaa Genjek Gensos Mahardika membawakan sebanyak 9 lagu. Dimulai dari lagu Pengaksama (pembukaan) sebagai bentuk ucapan selamat datang. Selanjutnya membawakan lagu Komang Ayu, Pancang Sangian, Taman Ujung Sukasada, Nyai Nyoman, dan Makita Ngalih Kurenan.
Ada gending Adi Ayu, Karma Pala, lalu lagu penutup yang dinyanyikan dengan gembira. “Lagu-lagu itu lebih banyak mengisahkan tentang percintaan. Cinta, kasih sayang, itu kisah yang sangat lumrah ada di masyarakat,” kata Ketua Sanggar Nengah Bandem usai pentas.
Kisah itu lebih banyak dilakukan dari kalangan anak-anak muda, sehingga menarik untuk diangkat. “Melihat kisah-kisah di lapangan itu, saya sebagai pemnggarap menjadikan itu inspirasi untuk membuat lagu-lagu genjek yang menarik,” ucapnya.
Gambaran seorang wanita yang sedang jatuh cinta dengan seorang laki-laki, demikian sebaliknya. Di situ ada cinta yang malu-malu tapi mau yang sangat menarik untuk diceritakan lewat lagu-lagu genjek.
“Kesan pertama itu menggebu-gebu, lalu pendekatan yang akhirnya ketemuan, selanjutnya jadian. Ini yang sering kami angkat dalam lagu-lagu cinta, namun tetap memasukan unsur edukasi etika dan moral,” papar Nengah Bandem.
Selain itu, ada lagu yang mengedepankan tutur dan piteket-piteket. Pembelajan edukasi terkait dengan pedomana hidup. Sementara Lagu Ujung Sukasada itu sebagai lagu yang khusus untuk mempromosikan objek di daerah Karangasem yang sedang berkembang dengan pesatnya.
“Kami juga ingin memperkenalkan daerah kami yang memang layak untuk di kunjungi, seperti Ujung Sukasada. Ini merupakan peninggal jaman dulu, yang kini menjadi daya tarik wisata. Ini, kami buatkan lagu, sehingga semain dikenal masyarakat,” tegasnya.
Nengah Bandem mengatakan, sesungguhnya pementasan genjek itu sama. Namun, karena tampil dalam ajang pentas di PKB, maka pihaknya menampilkan yang terbaik, sehingga membuat lagu-lagu baru. Harapannya, penonton tersentuh dan bisa menikmati lalu ikut berinteraksi.
Menurut Nengah Bandem, iringan genjek itu tidak memiliki pakem, sehingga dirinya memasukan alat-alat musik yang lain untuk mendukung suasana pemantasan. Alat musik tambahan itu, bukan sekedar tempelan, tetapi dipadu menjadi satu.
“Iringan genjek itu pada umumnya memiliki instrumennya sama. Kadang-kadang hanya kendang dan suling saja, tetapi kami memasukan unsur musik lain, sehingga menjadi lebih menarik. Namun, tetap mengacu pada pakem genjek yang sudah menjadi wariasan,” imbuhnya.
Nengah Bandem menjelaskan, Sekaa Genjek Gensos Mahardika berdiri sejak tahun 1997. Ketika mengikuti lomba saat itu, sekaa genjek yang dipimpinnya itu mampu meraih Juara I pada Festival Genjek se-Bali yang berlangsung di Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Sejak berdiri hingga sekarang, menurutnya penggenerasian selalu ada. Terutama generasi yang mempurkuat musiknya. “Kebetulan, kami adalah enam bersaudahya termasuk anak-anak dan cucu-cucu yang memiliki dasar seni sebagai generasi mempertahankan kesenian kuno ini,” paparnya.
Terutama mempertahankan musiknya, termasuk vocal. Sementara penari ‘cepak’ dan ‘kesek’ itu tidak tetap. Termasuk kombinasi-kombinasi, seperti suara “seriang empang”, “seriak kepung”, dan “seriak kesek”. Walau itu sebagai kombinasi, tetapi tidak dilakukan secara bersamaan.
Suara “seriang empang”, “seriak kepung”, dan “seriak kesek” itu karena memilkiki tempo yang bermacam-macam. “Kalau mencari penari “cepak” dan “kesek” itu lebih mudah. Sementara mencari musiknya itu yang susah, sehingga penggenerasian musik ini yang penting,” sebutnya.
Sejak Sekaa Genjek Gensos Mahardika ini berdiri, telah memiliki pengalaman pentas dalam kegiatan upacara adat dan agama, seperti perkawinan, odalam, dan menyambut tamu pemerintahan. Sering pentas di hotel, namun belum pernah pentas ke luar daerah maupun luar negeri. [T][Pan]