WORKSHOP Inklusivitas Seni adalah workshop yang digagas oleh Komunitas Aghumi guna mempercakapkan tentang metode penciptaan karya untuk anak-anak dan keluarga disabilitas dalam bingkai kerja seni.
Lokakarya tersebut diadakan pada Sabtu-Minggu, 20-21 April 2024, berlokasi di Halo Coffee, Jl. Badak I no.13 Panjer, Denpasar.
Ada pun pembicara yang hadir, yakni Siluh Made Ratih Triastuti seorang terapis anak autis serta pendiri Narwastu Autism Learning Awareness. Kemudian Retno Sulistyowati, seorang seniman yang membuka ruang kreatif bagi remaja.
Hadir pula I Made Purtiasa, orang tua dengan anak berspektrum autis. Serta Wulan Dewi Saraswati sebagai founder Aghumi. Selama dua hari diskusi ini dipandu oleh moderator Putu Supartika yang merupakan seorang penulis dan wartawan.
Para pembicara dan moderator Workshop Inklusifitas Seni Komunitas Aghumi hari pertama dan kedua | Foto: Dok. Panitia
Acara ini didukung oleh Pelaksanaan Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan, Program Layanan Produksi Media, Kategori Pendayagunaan Ruang Publik tahun 2023 yang difasilitasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Program ini merupakan pra-acara “Ni Pollok Bercerita: Studi Tur Performatif Museum Le Mayeur” yang diselenggarakan Komunitas Aghumi. Acara ini berupaya membaca ulang narasi cagar budaya Museum Le Mayeur, Denpasar.
Melalui pendekatan ekofeminisme, diharapkan mampu membawa kesadaran khalayak publik untuk merawat bumi dan mengutamakan keadilan sosial, khususnya bagi masyarakat rentan.
Museum Le Mayeur merupakan salah satu cagar budaya di Denpasar yang mempunyai konteks kuat perihal perempuan dan laut. Melalui pendekatan performatif, program ini menampilkan isu lingkungan dan perempuan yang jarang terhubung dalam konteks cagar budaya.
Peserta Workshop, Pembicara, Moderator, dan Panitia Inklusifitas Seni Komunitas Aghumi | Foto: Dok. Panitia
Secara berkesinambungan, Aghumi, sebagai sebuah komunitas yang memiliki konsen terhadap penyandang disabilitas, melalui kesenian dan pendampingan. Program ini terbuka untuk masyarakat umum yang ingin turut berpatisipasi dan mengapreasiasi proses kreatif pada ruang inklusi.
Sejak berdiri pada 2018, Aghumi menjadi salah satu komunitas seni di Bali yang berfokus pada kesehatan mental, khususnya mengasah daya cipta seni anak spektrum autisme. Aghumi menggunakan pendekatan praktik kesenian terapiutik partisipatoris dalam upaya terwujudnya penyembuhan, penyelarasan, dan kesadaran-kesadaran diri.
Maka, “keadilan sosial” dalam program ini juga tak hanya menyoal lelaki-perempuan saja. Melainkan juga diperluas dalam konteks keadilan bagi masyarakat rentan khususnya anak-anak dan disabilitas.
Alih-alih mereproduksi wacana masa lalu, program ini ingin membuka ruang agensi produksi dan distribusi pengetahuan wacana kritis kenyataan hari ini melalui situs cagar budaya.
Dalam Workshop Inklusifitas Seni tersebut, juga dihadiri kawan-kawan dari Yayasan Teratai, Yayasan Narwastu, serta komunitas seni remaja di Denpasar.
Hari pertama banyak mempercakpakan kesadaran berkomunikasi dalam konteks kesenian bersama anak dengan spektrum autism. Kemudian, peran keluarga sebagai ruang domestik untuk anak spektrum autism bekesenian. Serta, proses pendampingan anak spektrum autism dalam bekesenian.
Hari kedua membicarakan kelembagaan Narwastu dan peran Halo Coffee sebagai ruang informal yang menjawab tantangan kebutuhan fasilitas untuk anak spektrum autism dan ruang aman berkesenian remaja.
Respon-Respon Positif
Bagaimana cara kerja Aghumi dalam merangkul anak autism dan remaja yang dihadapkan pada kesiapan kondisi kesehatan mereka? Apa peluang yang diharapkan dengan hadir sebagai ruang informal anak spektrum autism dan ruang aman bekesenian bagi remaja?
Pada momen itu, Siluh Made Ratih Triastuti menegaskan bahwa autisme bukan suatu penyakit, melainkan suatu kondisi tubuh dan perkembangan. Kemudian stigma anak autis selalu dipandang sebelah mata, hal ini membuatnya jengah.
Maka ia mendirikan sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar mampu mandiri, melatih keterampilan diri, dan cerdas berprilaku.
I Made Purtiasa juga mengatakan bahwa memiliki anak dengan spektrum autis adalah hal yang spesial. “Saya justru mempertanyakan, siapakah sebenarnya yang berbeda? Kita ataukah anak-anak saya ini? Saya melihat anak-anak saya sebagai guru saya yang mengajarkan saya kesabaran,” ujarnya.
“Kebetulan saya memang suka mengarahkan anak-anak saya, Keisa yang sudah sering pentas dengan Aghumi memang memiliki kegemaran berkesenian. Dia sangat suka menggambar, menyanyi, ya saya arahkan anak saya ke medium seni agar dapat berekspresi dan terapi,” lanjut Purtiasa.
Retno Sulistyowati, pendiri Halo Coffee, menerangkan bahwa dirinya membuat ruang kreatif bagi remaja agar bakat-bakat anak mampu terasah dengan diberikan kesempatan. Halo Coffee sudah menjadi tempat aman bagi para remaja yang ingin berdiskusi, menyalurkan keterampilan seni, atau berlatih mengadakan event-event menarik.
Peserta Workshop Inklusifitas Seni Komunitas Aghumi | Foto: Dok. Panitia
Bagi Retno, perjumpaannya dengan anak-anak di Halo Coffee bukalah hal kebetulan belaka. Anak-anak yang datang ke Halo Coffee adalah mereka yang hendak mencari jati dirinya melalui banyak dinamika persitiwa remaja. Tidak jarang pula, secara natural, forum diskusi digelar untuk mempercakapkan tentang keresahan masing-masing remaja.
Wulan Dewi Saraswati, founder Aghumi, juga menyampaikan inklusifitas seni merupakan suatu pandangan, bahwa seni bukan hanya estetika atau ekslusif semata, tapi seni hadir dalam konteks sosial, seni membawa kesadaran masyarakat melalui masyarakat difabel, autism, dan masyarakat rentan.
Seni dalam konteks ini, seni mampu mendekatkan diri kita pada hal-hal inklusif, bukan sifatnya ekslusif (biasanya para seniman khusyuk berada di ruang seniman seolah kedap dari kenyataan yang ada di luar ruang dirinya).
“Aghumi yang konsen tentang ruang perempuan dan difabel, menarik untuk dipercakapkan. Hadirin diharapkan sadar dengan isu-isu kesetaraan perempuan, dan disabilitas.” ujarnya.
Sementara itu, Gusde, salah satu anggota Yayasan Teratai, menyambut baik dengan senang dan bangga diadakannya acara ini. Dan Elo, salah satu penyandang disabilitas juga mengatakan, “Senang dan bahagia karena di Bali ada komunitas yang membahas inklusivitas di bidang kesenian.”[T]