TERNYATA hari ini, 10 Juni, Indonesia memperingati Hari Media Sosial Nasional. Handi Irawan, CEO Frontier Group, mencanangkannya sejak 2015. Tujuannya sederhana namun krusial: mendorong masyarakat untuk bijak dan berhati-hati dalam ber-medsos.
Namun, di tengah perayaan ini, kita juga dihadapkan pada realitas yang lebih kompleks. Media sosial telah menjadi arena di mana informasi dan disinformasi, aktivisme dan penindasan, serta koneksi dan perpecahan, saling berbenturan dalam skala global.
Informasi vs Disinformasi
Media sosial telah mentransformasi cara kita mengonsumsi dan berbagi informasi. Menurut laporan Hootsuite dan We Are Social pada Februari 2023, dari total populasi Indonesia, 198,2 juta atau 71,4% adalah pengguna aktif media sosial.
Angka ini meningkat 4,2% (8 juta) dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadikan media sosial sebagai salah satu sumber utama informasi bagi banyak orang. Selama pandemi COVID-19, misalnya, platform ini menjadi saluran penting untuk menyebarkan pesan kesehatan masyarakat dan membantu orang tetap terhubung.
Namun, kemudahan berbagi informasi di media sosial juga membuatnya rentan terhadap disinformasi. Sebuah studi oleh MIT menemukan bahwa berita palsu menyebar enam kali lebih cepat di Twitter dibandingkan berita faktual. Selama pandemi, media sosial dibanjiri oleh teori konspirasi dan informasi keliru tentang asal-usul virus, pengobatan, dan vaksin.
Menurut laporan dari Mafindo, ada lebih dari 2.000 kasus hoaks terkait COVID-19 yang terdeteksi di Indonesia sepanjang 2020. Disinformasi ini tidak hanya membingungkan publik, tetapi juga dapat menimbulkan konsekuensi nyata jika menghambat upaya penanganan pandemi.
Aktivisme vs Penindasan
Media sosial juga telah menjadi alat yang kuat untuk aktivisme dan perubahan sosial. Dari Arab Spriing hingga gerakan #MeToo dan #BlackLivesMatter, platform ini telah memungkinkan individu untuk berbagi pengalaman, mengorganisir protes, dan menyoroti ketidakadilan.
Di Indonesia, tagar #PapuanLivesMatter menjadi trending di Twitter pada 2019, menarik perhatian pada isu rasisme dan kekerasan terhadap orang Papua. Baru-baru ini, gerakan “Block Out 2024” menggunakan media sosial untuk memprotes tokoh publik yang dianggap abai terhadap situasi di Palestina. Ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan untuk menekan para pembuat opini dan memengaruhi wacana publik.
Namun, aktivisme daring juga dapat memiliki sisi gelap. Pemerintah otoriter telah menggunakan platform ini untuk menyebarkan propaganda, mengawasi aktivis, dan menekan perbedaan pendapat.
Laporan dari Freedom House menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori “partly free” dalam hal kebebasan internet, dengan catatan adanya kasus penahanan dan pelecehan terhadap individu terkait ekspresi online mereka. Ini menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana melindungi kebebasan berekspresi di media sosial sambil mencegah platform ini digunakan sebagai alat penindasan.
Koneksi vs Perpecahan
Pada dasarnya, janji terbesar media sosial adalah kemampuannya untuk menghubungkan orang. Dengan lebih dari 3,8 miliar pengguna media sosial di seluruh dunia (Hootsuite, 2021), platform ini telah memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga, menemukan komunitas baru, dan menjangkau audiens di seluruh dunia. Selama pandemi, media sosial bahkan menjadi garis hidup bagi banyak orang, menyediakan koneksi yang sangat dibutuhkan di masa karantina dan pembatasan sosial.
Namun, media sosial juga dapat menjadi kekuatan yang memecah belah. Algoritme dirancang untuk menunjukkan konten yang disukai pengguna. Hal ini menciptakan “echo chamber” yang memperkuat pandangan yang ada dan meminggirkan perspektif alternatif. Studi CSIS menemukan bahwa polarisasi politik di Indonesia semakin meningkat. Salah satunya dipicu oleh kecenderungan orang hanya mengonsumsi informasi yang sesuai dengan pandangan mereka di media sosial.
Platform ini juga kerap menjadi tempat terjadinya perundungan, pelecehan, dan ujaran kebencian. Menurut data dari Kominfo, ada lebih dari 16.000 aduan konten negatif di media sosial yang diterima sepanjang 2020, meliputi isu SARA, hoaks, dan konten kekerasan.
Refleksi
Peringatan Hari Media Sosial Nasional menjadi momen tepat untuk merefleksikan peran kompleks platform ini dalam masyarakat kita. Media sosial ibarat dua sisi mata uang, dia punya potensi besar untuk menyebarkan pengetahuan, memupuk solidaritas, dan menyatukan manusia, namun juga risiko nyata untuk menjadi ajang disinformasi, perpecahan, dan penindasan.
Untuk mengatasi tantangan ini, kita perlu terus meningkatkan literasi digital masyarakat agar mampu mengenali dan menangkal disinformasi. Platform media sosial juga harus lebih proaktif dalam moderasi konten dan perlindungan pengguna, sementara regulasi yang cermat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan akuntabilitas.
Namun, yang terpenting adalah kesadaran bahwa dampak media sosial pada akhirnya bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Apabila kita bijak dan berhati-hati, lebih mengedepankan empati, rasa hormat, dan saling pengertian, sudah dapat dipastikan bahwa media sosial akan tetap menjadi kekuatan positif dalam masyarakat. Ini memang tantangan yang berkelanjutan, tapi jika kita berhasil, dunia yang lebih terhubung, berpengetahuan, dan berempati, akan lebih dari sekadar layak untuk diperjuangkan. [T]
- Baca artikel lain dari penulis ELPENI FITRAH