KIAI Ali Manshur, sang pencipta Sholawat Badar—yang terkenal itu—pernah menetap di Singaraja pada tahun 1954-1956. Di antara tahun itu beliau aktif berdakwah memperkenalkan NU ke masyarakat, ke kampung-kampung, dan ke majelis-majelis.
Belakangan, ada kesaksian dari salah satu sesepuh yang pernah mengikuti pengajian Kiai Ali Mansur di tahun-tahun itu, ia pernah mendengar bait Sholawat Badar yang dilantunkan langsung oleh Kiai Ali di tengah-tengah pengajian.
Sementara dari sejarah “resmi”, Sholawat Badar digubah pada tahun 1960 ketika beliau menetap di Banyuwangi. Lalu, dengan kesaksian itu apakah sholawat yang mendunia itu ditulis di Bali? Berikut kira-kira analisis pinggiran, yang masih diperbincangkan di warung kopi.
Pertama, pindahnya Kiai Ali Mansur ke Bali pada tahun 1954 tidak lepas dari status pegawai negeri di Departemen Agama. Bali yang saat itu masih menjadi bagian dari Provinsi Sunda Kecil, oleh PBNU Kiai Ali Mansur ditunjuk menjadi Ketua Konsul NU (sekarang setingkat PWNU) yang berkududukan di Ibukota Provinsi, yakni di Singaraja.
Tentu bagi Kiai Ali, tidak mudah memperkenalkan NU, apalagi mengajak untuk memilih dan memenangkan NU sebagai Partai Politik yang akan berkontestasi pada Pemilu pertama tahun 1955. Di Bali, untuk kalangan muslim, Masyumi lebih dulu dikenal ketimbang NU yang baru bertransformasi menjadi partai.
Kedua, untuk memopulerkan NU, pada tahun 1954, Rais Aam PBNU KH. Abdul Wahab Chasbullah turun langsung ke Singaraja meyakinkan dan mengajak tokoh sentral umat Islam setempat, seperti KH. Ali Murtadho untuk ikut terlibat dalam membesarkan NU secara organisasi.
Kedatangan Kiai Wahab ke Bali ini disaksikan langsung oleh Guru Affandi, salah satu santri KH. Hasyim Asyari yang berasal dari Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Wawancara dengan Guru Affandi ini kemudian ditulis oleh I Wayan Suardika, mahasiswa Udayana, dalam skripsinya yang berjudul “Sejarah dan Perkembangan NU di Bali” pada tahun 1987.
Pasca kehadiran Kiai Wahab ke Buleleng ini, tak lama berselang turun SK PBNU Nomer 5989/tnf/V/’54 tertanggal 15 Mei 1954 tentang berdirinya NU “Tjabang Singaradja” dengan ditetapkan KH. Ali Murtadho sebagai Rois Syuriah dan R.H Moh Kamil sebagai Ketua Tanfidziah. Dua nama ini juga sesuai dengan catatan pribadi Kiai Ali Mansur dalam Buku Biografi Sang Pencipta Sholawat Badar yang ditulis Saiful Islam (Hal. 44).
Ketiga, sulitnya berkampanye mengenalkan partai yang berbasis agama di Bali yang mayoritas non muslim menjadi tantangan tersendiri bagi Kiai Ali Mansur. Belum lagi saat itu ada dua kekuatan partai yang dominan di Bali, yakni PNI dan PKI yang dikenal dengan basis massa militan dan agresif. Kondisi tersebut memaksa Kiai Ali Mansur datang ke desa-desa untuk berdakwah dan memperkenalkan NU.
Di sinilah, menurut kesaksian salah satu sesepuh bernama Muhammad Zaidi yang saya temui di Desa Pengastulan, Buleleng, pada tahun 2021. Pada saat meranjak remaja Zaidi mengaku pernah mendengar Kiai Ali Mansur, di tengah-tengah pengajian, membacakan sholawat yang belakangan baru diketahui bahwa itu adalah Sholawat Badar. Di Pengastulan, Kiai Ali Mansur sangat populer di kalangan para sepuh, beliau dikenal sebagai “Ustadz Ali, Ketua NU”.
Keempat, melihat kondisi umat Islam yang minoritas di Bali, bisa jadi semangat Sholawat Badar ini merujuk pada para sahabat dalam peperangan badar yang masih sedikit, tapi mampu mengalahkan musuh dengan jumlah besar.
Memenangkan NU pada Pemilu 1955 di Bali merupakan bagian dari perjuangan agama untuk keterwakilan Islam di parlemen di tingkat lokal, maupun di pusat. Dan ini tidak mudah menyosialisasikan NU dengan SDM yang sangat terbatas.
Kelima, selain pengajian dan sholawatan yang digencarkan oleh Kiai Ali Mansur, Partai Nahdlatul Ulama untuk dapil Sunda Kecil yang saat itu meliputi Bali, NTB, danNTT, menarik sejumlah tokoh di berbagai daerah.
Belakangan ditemukan dokumen daftar calon anggota konstituante dapil Sunda Kecil sebanyak 17 nama, 6 diantanya dari Bali: Nomer urut 1 R.M Ali Mansur (Singaraja), nomer 3 R.H Moh. Kamil (Singaraja), nomer 5 S. Ali Bafaqih (Negara), nomer 6 Asmuni (Denpasar), nomer 7 Saifuddin (Negara), dan nomer 16 R Hasim Wijokusumo (Singaraja). Dari hasil Pemilu itu, Kiai Ali Mansur terpilih menjadi anggota Konstituante.
Keenam, penugasan Kiai Ali Mansur ke daerah minoritas Islam, menurut catatan Saiful Islam, merupakan perintah langsung dari Kiai Wahid Hasyim. Sebelum ke Bali pada 1954, Kiai Ali Mansur ditugaskan di Sumbawa pada tahun 1952. Tentu ini bukan hanya sekadar peritah kedinasan kementrian agama saat itu, tapi misi untuk membangkitkan semangat Islam.
Sehingga, spekulasi yang mengatakan Sholawat Badar ini terinpirasi dari pengalamannya selama berada di kantong minoritas muslim menjadi masuk akal. Terlebih, menjelang “pertarungan” ideologi negara yang sedang mencari bentuk melalui kontestasi Pemilu 1955.
Ketujuh, kehadiran putra Kiai Ali Mansur, Kiai Siddiq ke Buleleng pada Ahad (16 Juli 2023) memberikan kesan tersendiri bagi para kader NU di Bali. Selain “mengijazahkan” Sholawat Badar kepada yang hadir, beliau juga menyampaikan di hadapan jamaah tentang “kesohehan” kesaksian sesepuh Buleleng yang mengaku pernah mendengar bait syiir Sholawat Badar pada tahun 1955.
Terkait dengan itu, secara pribadi saya kembali menanyakan kepada Kiai Siddiq sebelum beliau kembali ke Jawa, dan beliau menjawab begini: “Sohih, itu sohih, karena Sholawat Badar itu bagian dari rahasia abah, saya tidak berani menyangkal, bisa jadi sudah ditulis di sini, baru disempurnakan di Banyuwangi tahun enam puluh.”
Terlepas di mana pun ditulis, Sholawat Badar merupakan hasil karya asli Ulama NU yang mendunia. Sebagai Kader NU Bali, tentu saja saya memiliki kesan dan kebanggaan tersendiri, di mana Kiai Ali Mansur yang melegenda itu, pernah menjadi motor penggerak NU di Bali, dan saatnya kini kita yang terus melanjutkan. Wallahuaalam.[T]