SULIT sekali rasanya tak mencintai Indonesia, meski harus kudaki lereng terjal penuh lava mendidih. Walau dalam resah hatiku, de ja vu intrik pergolakan sejarah masa lalu Nusantara, kisah kerajaan Singosari semakin sulit kuabaikan. Dendam tak harus dengan nyawa yang direnggutkan, sebilah keris terkutuk yang tertancap di dada. Dengan kebencian saja sudah memadai, ambisi yang berkecamuk sudah mencukupi.
Ya Tuhan, adakah negeri dan bangsaku ini telah dibangun di atas puing-puing dendam dan kebencian? Yang harus kuterima sebagai hal biasa dan wajar, atas nama politik. Atas nama politik, apa pun harus dapat dimaklumi. Sebuah petuah semesta maha penting, dari tragedi kelam kerajaan Singosari, telah kita sia-siakan.
Ir Sukarno, sang proklamator negeri, di masa senjanya adalah tahanan rumah. Sebagai kaum intelektual, aku tak hanya melatih kecerdasan otak hingga pencapaian tinggi, pun membangun kecerdasan emosionalku sebagai penyeimbang.
Kau kuberitahu, pipiku basah oleh air mata, empati atas nestapa yang telah dialami pendiri bangsa itu di masa tragis sisa hidupnya. Apakah yang telah sanggup melakukan semua itu dengan sebuah ketenangan yang dingin?
Cuma kebencianlah yang sanggup. Atau ambisi yang tak tertahankan. Dan itu pun harus kumaklumi, atas nama politik. Bahkan sejarah yang ditulis, haram untuk mencatatkan kisah pilu tersebut. Demi nama baik sebuah bangsa yang bermartabat, di mata para generasi penerus dan khalayak dunia.
Jangan-jangan itu subuah dosa dan kutukan tersendiri. Aib yang hendak dimusnahkan dengan cara ceroboh, kelak akan menjadi kutukan. Seperti keris Mpu Gandring yang menyimpan dendam dan akan selalu berlumuran darah.
Jenderal Suharto tak pernah menerima balasan dendam apa pun dari penggantinya. Namun bapak pembangunan itu mendapat deraan yang jauh lebih kejam. Sebuah gerakan masa yang dipenuhi kemarahan telah memukulnya hingga jatuh. Akupun berada di sana, dalam gelombang demonstrasi di antara para mahasiswa yang mengepung hingga pelosok. Sebuah karma?
Pahalal bukanlah yang dikehendaki semesta. Itu hanyalah cara hukum berbicara. Pahala seutuhnya datang menjemput sesuai dengan karma yang telah dibuat oleh penciptanya sendiri. Seperti karma yang juga telah dibangun di atas puing-puing penelikungan, di gedung terhormat wakil rakyat di tahun 1999 saat Gus Dur didapuk menjadi presiden.
Maka ia (Gus Dur) pun berakhir sendiri ketika phala atas karmanya telah menjemput, walau hasratnya belum usai. Maka dendam dan kebencian tak selamanya datang dari lawan atau pun musuh. Ia dapat saja dicetuskan oleh diri sendiri kemudian pahalanya dihunuskan oleh orang lain, menebas leher kita.
Lalu, sebuah relasi yang kurasakan sedemikian ruwet dan menggelisahkan. Relasi Megawati, SBY ,dan Jokowi. “Bangkai” Hambalang yang sengaja dibiarkan adalah kode keruwetan relasi ini. SBY yang tak termaafkan, yang telah berkhianat, mesti dihitung saat kekuatan Megawati berkuasa.
Hambalang yang penuh noda dan penuh stigma harus dibiarkan demi membalas dengan mudah setiap kritik yang dilontarkan oleh SBY kepada penguasa setelahnya. Membuat dirinya dan Presiden Jokowi hampir sepuluh tahun berhadap-hadapan dalam pertikaian sporadis.
Konflik memuncak tatkala SBY menuduh istana terlibat kudeta Partai Demokrat, namun di pihak lain SBY pun kerap dicap sebagai pembegal Partai Demokrat oleh lingkaran istana.
Kini, di luar dugaanku, relasi Jokowi dengan Megawati pun terbelah. Demi segala legacy-nya berkesinambungan, agar ibu kota Nusantara (IKN) tak bernasib seperti Hambalang, maka semua cara harus dilakukan. Menggalang segenap kekuatan, menyesuaikan segala aturan. Segalanya untuk kesiagaan menghadapai ambisi lawan yang merasa terkhianati atau kengerian atas karma sendiri yang telah mulai menghantui?
Begitu sulit bagiku untuk tidak mencintai Indonesia. Frase indah, tanah air tumpah darahku yang telah diciptakan oleh para pujangga telah membuaiku ke dalam cinta yang begitu dalam. Harus kuakui, betapa brilian penciptanya. Kuyakini pula keputihan hatinya. Walau de ja vu prahara Singosari yang mengerikan kerap menganggu dan hadir dalam mimpi burukku.
Maka sudah saatnya para pemimpin dan politisi membasuh hati dan pikirannya yang berlumuran dendam, ambisi dan kebencian dengan puisi dan sastra yang bersahaja.[T]
- KlikBACAuntuk melihat esai dan cerpen dari penulisDOKTER PUTU ARYA NUGRAHA