SIAPA yang tidak tahu istilah depresi? Dengan maraknya media sosial yang membahas masalah mental, depresi adalah label yang mudah muncul saat melihat orang lain mengalami kesedihan. Atau, saat diri sendiri sedang tertekan akibat mengalami masalah besar. Padahal, gejala perasaan sedih saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosa depresi.
Perlu tambahan gejala mayor lain seperti mudah kelelahan dan hilangnya semangat serta kegembiraan dalam menjalani keseharian. Belum lagi, tambahan gejala minor seperti insomnia, nafsu makan menurun, konsentrasi menurun, percaya diri yang menurun, rasa bersalah serta tidak berguna, pandangan akan masa depan yang suram, dan ide untuk melukai diri—bahkan mengakhiri hidup.
Dari berbagai gejala tersebut, depresi pun terbagi menjadi tiga tingkatan—menurut ICD 11—menjadi depresi ringan, sedang, dan berat berdasarkan banyaknya gejala mayor dan minor yang dialami oleh seseorang.
Dari berbagai gejala yang ada, terdapat benang merah di mana seseorang yang mengalami depresi memiliki kecenderungan berkesimpulan negatif terhadap diri sendiri, dunia—atau lingkungan, dan masa depan. Tiga kesimpulan negatif ini pertama kali disodorkan oleh Aaron Beck pada tahun 1967 dan dikenal dengan Trias Kognitif Beck.
Walaupun tampak merugikan, kesimpulan negatif awalnya dibentuk manusia untuk melindungi diri dari ancaman yang mungkin terjadi. Masalahnya, senjata yang awalnya dipakai untuk bertahan, berakhir dengan memakan tuannya sendiri.
Menyimpulkan sesuatu merupakan proses evolusi untuk bertahan hidup. Jika berkaca dari proses tersebut, pada dasarnya manusia memerlukan waktu yang cukup untuk berpikir, menyimpulkan, dan akhirnya memutuskan sesuatu. Saat waktu yang tersedia cukup banyak, berpikir dengan tenang dan menyimpulkan sesuatu dengan bijak dapat dilakukan.
Tetapi, jika kondisi semakin darurat, waktu yang tersedia pun akan memendek dan muncul kesimpulan otomatis yang menggantikan pikiran rasional, yang sering kali didasarkan pada pola-pola kesimpulan yang pernah dilakukan sebelumnya. Misalkan saja, seseorang akan langsung berlari saat dikejar anjing tanpa berpikir panjang.
Pada konteks tersebut, menghabiskan waktu untuk berpikir sebelum keputusan lari diambil akan membuat anjing dapat mengejar dan menggigit. Keputusan untuk lari pun didasarkan pada pola lama yang pernah dilakukan. Dalam psikoterapi kognitif, pola ini sering disebut dengan schema.
Kemungkinan munculnya schema akan meningkat saat kondisi semakin mengancam—dan mengesankan makin sedikitnya waktu yang dimiliki. Pola kesimpulanyang muncul saat kondisi mengancam sebenarnya adalah mode bertahan hidup dengan cara mengidentifikasi kemungkinan buruk yang akan terjadi dengan cepat—walau kurang presisi.
Awalnya pola ini bersifat positif karena membuat seseorang berada dalam posisi berjaga-jaga. Tetapi, pada kebanyakan kasus yang berujung pada depresi, pola iniberubah menjadi sangat negatif: seolah-olah semuanya berakhir buruk dan tanpa harapan.
Pada Trias Kognitif Beck yang terjadi di depresi, kesimpulan negatif mengenai diri yang bersalah dan tidak berdaya adalah bentukan dari kesalahan berpikir yang bernama personalisasi. Personalisasi adalah sikap untuk menaruh beban tanggung jawab akan segala nasib sial di diri sendiri walaupun segala nasib sial tersebut tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol diri.
Misalkan saja, seorang anak yang merasa bersalah akibat perceraian orang tuanya. Anak tersebut menganggap bahwa jika ia bisa menjadi penengah yang baik bagi perselisihan orang tua, perceraian tidak mungkin terjadi.
Variabel penyebab perceraian tidak sesederhana itu. Penyebab perceraian yang ditumpukan ke anak merupakan kesalahan logika yang dipaksakan agar sesuai dengan kebutuhan personalisasi yang menyalahkan diri sendiri.
Selain perasaan diri yang bersalah, dua variabel lain dari Trias Kognitif Beck juga sering muncul pada depresi, yaitu pandangan akan dunia dan masa depan yang suram. Kedua pandangan salah tersebut dapat berakar pada berbagai kesalahan berpikir.
Dari banyaknya kesalahan berpikir yang mendasari, beberapa di antaranya adalah abstraksi selektif, magnifikasi, generalisasi yang berlebihan, dan arbitrary inference.
Abstraksi selektif adalah menyimpulkan sesuatu dengan hanya mengambil sedikit fakta secara selektif. Padahal, ada banyak fakta lain di luar fakta yang dipilih. Cara ini menjadi bermasalah akibat dari banyaknya fakta-fakta positif, hanya fakta negatif yang diambil sehingga menghasilkan kesimpulan akhir yang negatif.
Contoh dari kasus ini adalah seseorang wanita single parent yang sangat sibuk di tempat kerja sehingga tidak bisa merayakan ulang tahun anaknya. Wanita tersebut menjadi sangat bersalah dan beranggapan bahwa dirinya bukanlah ibu yang baik bagi tumbuh kembang anaknya sehingga masa depan yang suram bagi anak adalah sebuah kepastian.
Kesimpulan tersebut berakhir negatif akibat fakta yang dipakai hanyalah satu kejadian negatif tanpa peduli berbagai fakta positif lain yang dapat membuat kesimpulan akhir menjadi berkebalikan, seperti rela bekerja siang malam agar anak dapat hidup layak. Pada contoh kasus ini, jika kembali pada Trias Kognitif Beck, selain pandangan akan masa depan yang suram, muncul juga pandangan negatif terhadap diri.
Terlalu memperbesar sebuah kejadian (magnifikasi) juga sering terjadi pada depresi. Contoh dari tindakan ini adalah menganggap bahwa segalanya sudah berakhir saat seseorang baru saja dipecat dari tempatnya bekerja. Padahal, diberhentikannya seseorang dari tempat kerja bukanlah akhir dari dunia.
Lagi pula, dunia tidak hanya berputar sebatas pekerjaan semata. Terlalu memperbesar masalah akhirnya membuat kesimpulan akan dunia yang sudah berakhir dan masa depan yang suram pun muncul.
Selain magnifikasi, generalisasi yang berlebihan terhadap sebuah kejadian sering terjadi pada berbagai kasus depresi yang saya tangani di praktik klinis. Generalisasi adalah menganggap satu kejadian pasti mewakili semua kejadian.
Contoh dari cara berpikir ini adalah seorang laki-laki yang menganggap bahwa semua orang di lingkungan kerja tidak menyukai dirinya akibat pernah ada satu orang pegawai yang secara terang-terangan mengatakan tidak menyukai laki-laki tersebut.
Kesimpulan ini menjadi tidak tepat karena sikap satu pegawai yang tidak menyukai laki-laki tersebut tidak bisa mewakili sikap semua pegawai. Kesalahan logika ini pada akhirnya memunculkan pandangan negatif dan pesimisme terhadap lingkungan.
Jika meneruskan contoh kasus laki-laki yang merasa lingkungan kerjanya adalah tempat yang tidak kondusif, kesalahan logika lain bisa saja ikut muncul. Misalkan, pada akhirnya laki-laki tersebut semakin menganggap bahwa tidak ada yang menyukainya di tempat kerja karena ia tidak pernah mendapatkan pujian dari pegawai lain saat hasil kerjanya baik.
Dalam konteks ini, ketiadaan bukti yang dipakai untuk menyimpulkan sesuatu adalah contoh dari arbitrary inference yang juga dapat berujung pada pesimisme terhadap lingkungan.
Jika logika yang salah dapat menyebabkan depresi, maka cara untuk terhindar dari depresi adalah dengan membetulkan kesalahan logika tersebut. Cara untuk mengatasi logika yang terdistorsi adalah dengan merunut akar logika dengan memahami ulang berbagai fakta yang ada dan menganalisis kembali kesimpulan yang terbentuk.
Cara yang sering dipakai untuk merunut kesalahan logika dalam psikoterapi berbasis kognitif—salah satunya, cognitive behaviour therapy—adalah dengan melakukan pertanyaan sokrates (socratic question).
Pertanyaan sokrates adalah menanyakan kembali pikiran; berpikir ulang mengenai apa yang dipikirkan. Beberapa contoh dari pertanyaan ini adalah: “Apa alasan dari munculnya kesimpulan bahwa dunia ini sudah berakhir? Apakah dasar dari kesimpulan bahwa diri ini penyebab dari semua masalah? Apakah ada fakta-fakta lain yang terlewat dan tidak dilibatkan dalam membangun kesimpulan ini?”
Walaupun tampak sederhana, pertanyaan sokrates sering terkesan menyerang dan memberikan rasa tidak nyaman. Hal tersebut terjadi akibat seseorang sudah merasa aman dengan kesimpulan otomatisnya—walaupun kesimpulan itu bersifat negatif.
Lagi pula, jika pertanyaan akan suatu pikiran terus dilakukan, ketidaktahuan akan selalu hadir sebagai jawaban akhir. Bahkan, jika jawaban akan ketidaktahuan awal akhirnya tercapai, ketidaktahuan baru akan tetap membayangi.
Dalam kondisi ini, amygdala akan menemui sumber ketakutan terbesarnya, yaitu ketidaktahuan. Selain itu, jika melihat pikiran dan perasaan sebagai dua entitas berbeda yang saling berhubungan secara timbal balik, perasaan negatif yang memuncak akan memaksa kesimpulan otomatis tetap muncul dan menghambat hadirnya pikiran logis walaupun sudah diarahkan dengan cara berpikir yang benar.
Lalu, apa solusi agar otak dapat diajak berpikir logis saat derasnya perasaan negatif masih membuat kesimpulan salah tidak dapat dibendung? Seperti halnya mesin yang tidak dapat dipegang dan diperbaiki saat masih sangat panas, tentu saja caranya adalah dengan mendinginkan dahulu mesin tersebut.
Dalam hal ini, diperlukan terapi obat yang berfungsi mendinginkan perasaan untuk sementara waktu sampai kerusakannya pikiran dapat diperbaiki kembali. Pernyataan ini senada dengan banyaknya penelitian metaanalisis yang menyebutkan bahwa terapi obat yang diberikan bersamaan dengan psikoterapi menunjukan hasil yang jauh lebih baik daripada terapi obat tunggal atau intervensi psikoterapi tunggal.[T]
- BACA ESAI-ESAIKRISNA AJA