TULISAN ini terinspirasi dari caption kritis seorang teman di status WA. Dia menanggapi sebuah gambar berisi foto juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, diiringi dukungan vokal negara tersebut terhadap Palestina di PBB. Sikap China ini, kata teman saya, segendang-sepenarian dengan Amerika Serikat (AS) yang seolah sedang memainkan peran Good and Bad Cops.
Meski demikian, dia tampak tidak senang dengan keduanya. Kepada AS dia mengingatkan, “Kami tak akan lupa betapa jahatnya kamu kepada Palestina”, dan kepada China dia berseru, “Kami tak akan lupa betapa jahatnya kamu kepada etnis Muslim Uighur di Xinjiang”. Mari kita analisis isu standar ganda kebijakan ini lebih mendalam.
Ada kontradiksi dibalik keputusan China mendukung Palestina. Pada April 2024, China mengambil langkah signifikan untuk mendukung Palestina sebagai negara merdeka dan mendorong keanggotaan penuh Palestina di PBB. Namun, di sisi lain, represi China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang terus menjadi isu yang mengemuka.
Menurut laporan PBB tahun 2022, sekitar 1,8 juta Muslim Uighur dan minoritas lainnya telah ditahan di “kamp pendidikan ulang” sejak 2017. Mereka mengalami indoktrinasi politik, larangan menjalankan praktik keagamaan, kerja paksa, hingga kekerasan seksual.
China membantah tuduhan ini dan menyebut kamp tersebut sebagai “pusat pelatihan vokasi” untuk memberantas ekstremisme. Situasi ini menciptakan dilema bagi China dalam menyelaraskan kebijakannya terhadap umat Muslim.
Hipotesis saya adalah bahwa dualisme kebijakan China didorong oleh kompleksitas kepentingan geopolitik, keamanan internal, dan persepsi ancaman yang berbeda. Dukungan terhadap Palestina dapat dilihat sebagai alat geopolitik untuk meningkatkan pengaruh dan citra China di dunia Muslim.
Dengan mendukung kemerdekaan Palestina, China ingin menunjukkan kepemimpinannya dalam mengatasi isu internasional yang penting bagi negara-negara Muslim. Ini juga bagian dari persaingan pengaruh dengan AS di Timur Tengah.
China telah lama menjadi pendukung kemerdekaan Palestina dan solusi dua negara. Pada Mei 2023, Presiden China Xi Jinping menerima Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Beijing, menegaskan bahwa “hak-hak sah rakyat Palestina tidak dapat dinegosiasikan”. China juga mengusulkan inisiatif baru untuk perdamaian Palestina-Israel yang disebut “Inisiatif Keamanan Kolektif Timur Tengah”. Pada Februari 2024, utusan khusus China untuk Timur Tengah mencela pendudukan Israel yang berkepanjangan dan mendorong komunitas internasional untuk bertindak.
Kontras dengan sikap terhadap Palestina, pendekatan China terhadap Muslim Uighur menunjukkan sisi lain dari kebijakannya. Kekhawatiran akan separatisme dan ancaman terhadap stabilitas internal mendorong tindakan represif China terhadap Uighur.
China melihat identitas etnis dan agama Uighur yang berbeda sebagai potensi ancaman bagi persatuan dan keamanan nasional. Namun tindakan keras China justru memicu kecaman internasional luas terkait pelanggaran HAM. Inkonsistensi kebijakan ini dapat merusak reputasi China di dunia Muslim.
Secara historis, Xinjiang merupakan wilayah strategis bagi China karena kekayaan sumber daya alam, lokasi perbatasan, dan peran dalam inisiatif Belt and Road. Selama puluhan tahun, ada ketegangan dan konflik berkala antara Uighur dengan pemerintah pusat China yang menginginkan kontrol lebih ketat atas wilayah tersebut.
Serangan sporadis kelompok militan Uighur pada awal 2010-an menjadi pemicu represi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap populasi Muslim. China mengatakan langkah-langkahnya bertujuan memerangi “tiga kekuatan jahat” terorisme, separatisme, dan ekstremisme agama.
Jika terus dibiarkan, dualisme kebijakan China terhadap Muslim ini dapat menjadi bumerang. Dukungan terhadap Palestina bisa dilihat sebagai upaya mengalihkan perhatian dari pelanggaran berat HAM terhadap Uighur. China menghadapi tantangan untuk menyelaraskan kebijakannya dan membangun hubungan lebih konstruktif dengan dunia Muslim secara keseluruhan. Situasi Uighur juga dapat merusak hubungan dan kepercayaan negara-negara mayoritas Muslim kepada China.
Untuk mengatasi dualisme ini, China perlu mengevaluasi kembali pendekatannya dan mengadopsi kebijakan yang lebih menjunjung HAM dan kebebasan beragama Uighur. Dialog konstruktif dengan komunitas Uighur, jaminan perlindungan hak minoritas, dan upaya melestarikan identitas budaya mereka dapat membantu meredakan ketegangan. Komunitas internasional juga punya peran penting mendorong China memperbaiki rekor HAM-nya dan menerapkan standar sama dalam memperlakukan Muslim di semua wilayah.
Melalui pendekatan holistik ini, China bisa menjadi kekuatan positif dalam menjunjung perdamaian dan stabilitas di tingkat regional dan global. Ini memerlukan komitmen kuat dari pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan terhadap umat Muslim dan menunjukkan kepemimpinan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah kompleks. Dengan itu, China dapat meredakan kekhawatiran dunia Muslim dan memperkuat reputasinya sebagai mitra yang bisa diandalkan. [T]