JARI Tengah merupakan buku kumpulan puisi karya Alfian Dippahatang yang memperoleh penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2021. Buku-buku yang berhasil ia tulis memang seringkali mendapat penghargaan dan apresiasi bagi khalayak, sebab dalam karakteristik penulisannya dianggap unik dan berani.
Salah satu buku yang akan diulas secara lugas dan tegas pada esai ini adalah buku berjudul Jari Tengah (2020). Buku ini berisi 45 puisi yang dikemas secara padat dalam satu buku yang tidak terlalu tebal yakni berjumlah 52 halaman.
Jika dilihat secara keseluruhan, puisi ini mengangkat teori ekspresif yang memandang karya sastranya sebagai pernyataan atau bentuk ekspresi berdasarkan dunia pengarang. Karya sastra yang ditulis bukan hanya tentang hasil imajinasi, melainkan sebagai sarana pengungkpaan ide, pikiran, hinga pengalaman pengarang.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Umry (2005) yang mengemukakan bahwa kritik ekspresif adalah kritik yang menekankan hubungan antara karya sastra dengan pengalaman batin dan maksud pengarang.
Dilihat dari pernyataan di atas, penyair mengungkapkan maksud secara eksplisit bahwa setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang tenang dan damai, namun apalah daya, kehidupan di dunia tidak menjamin semua insan memiliki sifat yang sama, apalagi sifat dalam hal kebaikan.
Terlalu banyak iming-iming yang ditawarkan oleh dunia kepada setiap insan untuk memilih. Memilih terhadap jalan yang benar, atau justru sebaliknya. Banyaknya kaum yang tertindas dan menindas menjadi salah satu bentuk adanya ketidakadilan dan ketamkan setiap insan. Mungkin, hal itu terjadi lantaran ego semata, keberpihakan dalam memproleh tahta dan cinta, kesenjangan sosial, atau bahkan ingin berkuasa dalam setiap situasi yang ada.
Semua itu hanyalah kenikmatan semata. Roda akan terus berputar, sangat mungkin orang yang tertindas akan bangkit untuk menggemparkan suara untuk memperoleh keadilan.
Dengan adanya hal tersebut, penyair menekankan pada hubungan karya sastra yang diciptakan dengan keadaan jiwanya. Hal ini diungkapkan mulai dari perlawanan terhadap ketidakadilan politik, kritik sosial, personal, hingga pada hal-hal yang dianggap tabu oleh sebagian orang, semuanya diaplikasikan dalam bentuk karya sastra berupa puisi.
Alfian menuliskan puisinya bersumber dari pengalaman. Kategori pengalaman yang pertama yakni berasal dari lingkungan sekitar, dan pengalaman yang kedua berasal dari dalam dirinya sendiri.
Setiap diksi yang dituliskan oleh penyair, adalah ungkapan kekecewaan, kemarahan, dan juga perlawanan. Semua perasaan itu dibalut dengan bahasa yang menunjukkan sifat keberanian. Sebagai bentuk sifat keberanian dapat dilihat secara gamblang dan jelas melalui sampul yang digunakan pada kumpulan puisi tersebut.
Penggunaan gambar jari tengah, melambangkan sebagai simbol perlawanan, kemarahan, dan penolakan. Salah satu kelebihan dan menjadi karakteristik dalam buku ini, terletak pada penulisan judul.
Pada setiap puisinya, Alfian menunjukkan keberanian untuk mengangkat hal-hal yang tabu, sensitif, dan menumpas ketidakadilan jika dilihat secara sekilas. Alfian merupakan penyair yang tidak takut untuk menyuarakan gagasannya, mesikipun harus melibtatkan diksi yang bisa dikatakan vulgar, dalam hal ini merupakan bentuk ekpresifnya.
Sebagai pembaca, diperlukan ketelitian dalam menafsirkan pesan yang hendak disampaikan penyair sebab, jika tidak demikian akan menimbulkan kesalah pahaman. Mungkin, ketika seseorang atau anak kecil yang secara sengaja maupun tidak sengaja membaca judul ini dengan sekilas akan menimbulkan daya imajinasi yang tinggi.
Daya imajinasi yang tecipta, entah itu pemikiran yang baik atau buruk tetapi pada kenyataannya memanglah demikian.
Adapun judul yang dimaksudkan diantaranya yaitu, “Celana Dalam” dan “Kemaluan Mengendur”. Pada judul tersebut akan menimbulkan banyak pertanyaan seperti halnya apa dan bagaimana, ketika membaca judul tersebut dengan sekilas saja. Tetapi siapa sangka, judul “Celana Dalam” secara tersirat memiliki kebermaknaan tentang ungkapan rasa kesedihan dan kekecewaan atas berakhirnya suatu hubungan.
Pada puisi tersebut terdapat kata-kata “celana dalam” dan “bercak darah” yang mungkin akan dianggap tabu oleh beberapa orang.
Sementara itu, pada puisi yang berjudul “Kemaluan Mengendur” juga dapat menimbulkan banyak penafsiran. Pada puisi tersebut, Alfian ternyata memanfaatkan simbol-simbol untuk menghidupakan puisinya. Kemaluan yang dimaksudkan merupakan simbol dari harga diri.
Penggunaan diksi secara vulgar terkadang menjadikan pembaca menjadi spontan terbelalak atas tulisan yang terpampang nyata di depan mata. Tentu timbulnya banyak persepsi mengenai kekurangan dan kelebihan dalam suatu karya merupakan hal yang wajar.
Perlu diingat bahwa ini adalah sebuah sastra dan seni dalam beretorika. Seorang pernyair termasuk Alfian dengan bebas dapat mengungkapkan pengalamannya berupa untaian kata-kata indah, dan kita sebagai penikmat perlu untuk memberikan apresiasi.
Sebagai bentuk empati dan apresisasi terhadap puisi ini, perlu untuk memberikan penilaian bahwa sebenarnya penggunaan simbolisme
terkadang menjadikan pembaca merasa kesulitan dalam hal pemaknaan terlebih lagi bagi pembaca awam.
Tidak semua puisi yang ada pada buku Jari Tengah sepenuhnya menggunakan simbolisme yang merumitkan. Puisi yang berjudul “Jari Tengah II” secara lugas dan tengas menggambarkan situasi kemarahan dan kekecewaan.
Penggunaan diksi jari tengah merupakan makna yang tersirat dari adanya sikap penolakan dan pemberontakan terhadap realitas sosial. Pada bagian ini, pembaca seraya diajak pada suatu ruang untuk merenungkan. Merenungkan kritik terhadap masyarakat yang penuh dengan tipu daya. Pembaca diajak untuk terlarut dalam setiap rentetan kisah yang ada.
Pemanfaatan majas yang beragam dalam puisi menjadikannya memiliki nilai estetis dan kepuitisan yang tinggi. Pendayagunaan kata-kata yang dibalut dengan berbagai suasana dan nada menambah citra dalam rentetan peristiwa.
Secara kompleks kumpulan puisi ini memaang mengangkat banyak tema dan peristiwa. Semuanya dikumpulkan menjadi satu dalam satu kesatuan berjiwa memberontak demi suatu keadilan dan keselarasan. Tidak hanya diksi yang memainkan kata demi kata, larik demi larik, dan bait demi bait sebagai karakteristiknya.
Penggunaan diksi telah digabungkan dengan tatanan tipografi yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadikan larik dan baitnya menjadi unik. Ketidakteraturan dalam tatanan tipografi, menggambarkan kericuhan dan kekacauan yang berhasil diekspresikan. Penggalan contoh tipografi sebagai gambarannya, yakni pada judul puisi “Tunduk”
Penggunaan tipografi pada pengalan puisi di atas, menggambarkan penekanan pada setiap kata untuk menekankan makna yang terkandung di dalamnya.
Penggunaan spasi yang tidak teratur atau bahkan bentuknya seperti zig-zag akan mempermudah pembaca dalam menempatkan posisi nada yang berguna untuk memberikan jeda sehingga menimbulkan efek dramatis.
Tidak hanya tipografi, melainkan juga gabungan kolaborasi antara tipografi dan pemanfaatan tanda baca yang digunakan secara maksimal. Penulisan kata pada setiap bait yang dituliskan dengan singkat akan lebih mudah dipahami bagi pembaca, dan juga menimbulkan rasa penasaran untuk melanjutkan pada bait-bait selanjutnya atau bahkan pada puisi selanjutnyaa.
Secara gamblang tidak dapat dipungkiri bahwa Alfian memang betul-betul mendayagunakan aspek-aspek pembangun puisi untuk memberikan nyawa pada puisinya, sehingga pembaca seraya berada pada situsi yang dialaminya. Selanjutnya, mari kita lihat secara keseluruhan tentang makna yang terkandug dalam kumpulan puisi tersebut.
Alfian berusaha untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara tanpa adanya isu deskirminasi dan ketidaksetaraan. Tanpa segan isi dari puisinya berfokus pada aspek moralitas dan keberanian Tidak pandang bulu terhadap siapa ia berbicara. Bahkan norma yang ada pada masyarakat yang dianggap menyimpang akan ditegakkan pada kosakata konotasi yang dianggap telah tepat sebagai bentuk sindiran.
Banyak konflik yang dibangun dalam puisi ini, sehingga pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca didominasi dengan unjuk sikap dalam menyuarakannya. Pada dasarnya seseorang yang berani dalam mengungkapkan ketidakadilan atas dasar dirinya sudah terlalu jenuh dan muak terhadap berbagai penindasan.
Keadilan merupakan kebijkan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (John Rawls, 2006). Banyak hal yang perlu ditafsirkan dalam kumpulan puisi ini, sebab di dalamya tidak hanya membahas satu aspek saja. Penyair membagi rasa kekecewaan, amarah. dan rasa unjuk diri melalui berbagai peristiwa. Kisah cinta yang berakhir begitu saja akibat terhalangnya norma yang dianggap telah kuno, sehingga terdapat pembeda antara kaum miskin dan kaya pria dan wanita yang diungkapkan dalam judul “Celana Dalam”.
Peralakuan orang lain yang tidak menyenangkan hingga membuatnya terpuruk yang diceritakan dalam “Kemaluan Mengendur”. Rasa dendam yang cukup kuat sehingga harus ditegakkan sebagai bentuk
kebangkitan pada judul “ Petarung dalam Sarung”. Hingga kritikan bagi para politisi pun diungkapkan dalam puisi ini. Kesemuanya dianggap sebagai kehidupan yang tidak menyenangkan.
Ketidakadilan dalam memperoleh cinta, padahal setiap individu berhak untuk merasakannya, Ketidakadilan dalam pengakuan di masyarakat, hingga pada pemerintahan. Hal-hal yang tidak mengenakkan dibungkam dengan suara dan simbolisme jari tengah sebagai bentuk perlawanan dan pembalasan.
Puisi ini mengkolaborasikan perasaan, peristiwa dan kata-kata untuk dituangkan dalam bait-bait yang penuh makna. Satu hal yang saya tegaskan dalam pengkajian atau penafsiran puisi, tidak semua individu memiliki asumsi yang sama dalam hal memahami makna. Walau demikian, penyair telah berusaha dan berkenan telah menuangkan rentetan pengalamannya dalam bentuk suatu karya sastra.
Mari bersama-sama untuk mencintai dalam hal kebaikan, tumpaskan ketidakadilan, dan selamat menunaikan. Suaramu, suaraku, suara kita, dan semuanya yang akan digelorakan Sampai jumpa pada kemenangan. [T]
DAFTAR PUSTAKA
Dippahatang, Alfian. 2020. Jari Tengah. Yogyakarta: Basa-basi.
Rawls, John. 2006. A Theory Of Justice Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Umry, Shafwan Hadi. (2005). Kritik Sastra: Transformasi Budaya, Upaya
Aplikasi dan Apresiasi. (makalah Seminar Kritik Sastra). Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.