DALAM khazanah kesenian gong kebyar, khususnya di Bali Utara, istilah dangin njung dan dauh njung tentu bukan barang baru. Istilah ini diyakini sudah ada sejak gong kebyar di Bali Utara masih berada di puncak kejayaannya. Namun, meski demikian, catatan mengenai hal tersebut tetap saja masih belum bisa dipastikan.
Meski tidak ada yang tahu pasti kapan kedua istilah tersebut muncul di permukaan, tetapi yang jelas, kedua istilah tersebut dilekatkan pada dua desa tempat dua maestro gong kebyar Bali Utara lahir. Dangin njung identik dengan Gde Manik di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, sedangkan dauh njung disebut-sebut sebagai identitas Ketut Merdana di Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu.
Anggapan di atas tentu saja tidak sepenuhnya benar, sebab itu hanya asumsi-asumsi yang tak memiliki dasar yang kuat dan bukti ilmiah—paling tidak ada sumber sezaman yang bisa dijadikan dasar pegangan. Bisa saja kedua istilah tersebut malah hanya garis imajiner yang tak nyata, atau jika ada jangan-jangan bukan hanya persoalan sekat geografis atau identitas sosok individu semata?
Untuk menjawab asumsi-asumsi tersebut, Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram menggelar diskusi bertajuk “Identitas Musikal Dangin Njung dan Dauh Njung” yang mendaulat Dek Pas Kocok Wirsutha (srepresentasi seniman dangin njung) dan Ketut Pany Ryandhi (representasi seniman daun njung) sebagai pembicara. Diskusi tersebut dipandu oleh komponis muda pilih tanding Yogi Sukawiadnyana dan bertempat di kawasan Sasana Budaya, Singaraja, Sabtu (1/6/2024) sore.
Diskusi bertajuk “Identitas Musikal Dangin Njung dan Dauh Njung” serangkaian Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram di Sasana Budaya Singaraja | Foto: Amri
Diskusi pada sore menjelang petang itu diawali oleh materi Dek Pas Kocok tentang tabuh sekatian—yang dianggap sebagai identitas musikal di Bali Utara. Menurut Kocok, sekatian berasal dari kata “sukat” yang berarti luas, hal ini mengacu pada sebuah ukuran. Secara etimologi, sekatian berasal dari bahasa Bali yang memiliki kata dasar “katih” berarti suatu ukuran. Penggunaan kata “se” pada awalan bertujuan untuk menyebutkan angka yang artinya satu.
“Hal ini mengacu pada motif gending yang lebih banyak menggunakan teknik pukulan ngatih dalam beberapa instrumen,” seniman Sekaa Eka Wakya Banjar Paketan itu mencoba mengaitkan kata “katih” dengan motif tabuh sekatian.
Sekatian, dalam pandangan Kocok, merupakan sebuah reportoar lagu atau gending yang biasa dijumpai di daerah Bali Utara (Buleleng) dan dimainkan dengan menggunakan gong kebyar sebagai media ungkap. Gending ini biasanya dimainkan pada saat upacara Dewa Yadnya.
Namun, perlu diketahui, walaupun dimainkan dengan gamelan gong kebyar yang terkenal dengan nuansa kebyarnya (cepat, keras, dan mengagetkan), tabuh sekatian cenderung memiliki tempo yang lambat sehingga menciptakan nuansa ritual yang begitu tinggi.
Sebagaimana istilah dangin njung dan dauh njung, tabuh sekatian di Buleleng juga tidak ada sumber yang pasti mengatakan—atau sekadar menyinggung—kapan tabuh ini diciptakan pertama kali. Tetapi, jika ditelaah dan diteliti lebih jauh, kata Kocok, tabuh ini sejatinya sudah berkembang hampir di semua desa di Buleleng dengan versi yang berbeda—dengan dua gaya, dauh enjung dan dangin enjung.
“Untuk dangin enjung, salah satunya di Kelurahan Paket Agung lingkungan Banjar Paketan Buleleng dan juga desa-desa yang ada di Kecamatan sawan, Kubutambahan, dan Tejakula, memiliki ciri musikal yang sama,” terang Kocok, seniman yang memiliki nama asli Kadek Pasca Wirsutha itu.
Lantas, apa saja ciri khas tabuh sekatian Buleleng?
Dari segi penyajian, di beberapa desa di Buleleng, tabuh sekatian tidak boleh ditampilkan sembarangan sebab memiliki fungsi pengiring tahapan atau rangkaian upacara Yadnya—dan ini merupakan salah satu ciri khas tabuh sekatian Buleleng. Di Banjar Paketan Buleleng, misalnya, tabuh sekatian “Pengider Buana” hanya boleh disajikan ketika rangkaian Ida Bhatara tedun macecingak (ngider buana) disaat katur piodalan.
Tak hanya segi penyajian saja, teknik permainan instrumen dalam tabuh sekatian Buleleng juga menjadi ciri khas yang unik—lain daripada yang lain. Teknik memainkan tabuh sekatian Buleleng tidak didominasi oleh teknik kotekan-kotekan, namun lebih mirip dengan teknik permaian Gong Luang, begitu penjelasan Kocok.
“Salah satunya adanya unsur keklenyongan pada gangsa, jalinan reong atau terompong yang terkesan membawa melodi, serta minimnya peranan kendang dengan sistem pukulan yang begitu jarang, yaitu bermain pada aksen-aksen tertentu seperti menjelang pukulan kempur dan gong,” Kocok menerangkan.
Peserta Diskusi bertajuk “Identitas Musikal Dangin Njung dan Dauh Njung” serangkaian Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram di Sasana Budaya Singaraja | Foto: Amri
Sampai di sini, berbeda dengan Kocok yang panjang lebar menjelaskan mengenai identitas musikal dalam sekatian Buleleng, Ketut Pany Ryandhi lebih memilih menjelaskan mengenai identitas musikal dauh njung—yang memang seharusnya dibahas dalam diskusi ini.
Menurut Pany, berdasarkan pendapat Prof. Sukerta, istilah dangin njung dan dauh njung itu lahir secara kebetulan. “Dangin” berarti sebelah timur. Sebaliknya, “dauh” berarti sebelah barat. Sedang “njung” berasal dari kata “tanjung” yang artinya daratan yang menjorok ke laut, atau daratan yang dikelilingi oleh laut di ketiga sisinya.
Namun, menurut komponis muda lulusan ISI Denpasar itu, membahas dangin njung dan dauh njung tidak cukup hanya mengkomparasikan antara sosok Gde Manik dan Ketut Merdana atau merujuk pada geografis suatu tempat seperti misalnya Jagaraga dan Kedis. “Saya pikir tidak sesederhana itu,” ujarnya.
Dangin njung dan dauh njung, bagi Pany, seperti pernyataannya di atas, bukan hanya sekadar wilayah geografis atau identitas seorang sosok, lebih daripada itu, jika memang istilah itu bukan hanya garis imajiner, terdapat rivalitas berkarya yang konstruktif dalam istilah tersebut. “Misalnya, di Jagaraga ada Terunajaya, di Kedis ada Wiranjaya. Secara hirarkis kedua tabuh ini mirip. Di Jagaraga ada Palawakya, di Kedis juga ada. Ini kan suatu persaingan yang positif,” kata Pany.
Dalam konteks kekebyaran, identitas musikal dauh njung sepertinya tampak lebih terbuka dan kaya identitas jika dibandingkan dengan dangin njung. Dauh njung, katakanlah dalam hal ini Ketut Merdana—anggap saja begitu—banyak menciptakan karya dari hasil silang-tukar-budaya yang konteks dan realis.
“Merdana banyak mengambil objek material dari musik-musik yang tidak berkaitan dengan budayanya. Bahkan dia sempat belajar musik Jawa di keraton. Merdana juga pakai notasi—walaupun tidak seperti notasi yang kita kenal kita hari,” ucap Pany.
Apa yang disampaikan Pany justru tidak tampak dalam karya-karya yang lahir dari dangin njung. Karya-karya Ketut Merdana (yang disebut sebagai dauh njung) memang mempengaruhi atau menjadi pelopor perubahan ide atau konsep tari kekebyaran yang sebelumnya hanya menggunakan tema-tema yang senantiasa berfokus kepada tari murni dan keindahan semata. Dalam beberapa karyanya Ketut Merdana bahkan menggunakan pendekatan realisme sosial.
Misalnya, pada 1960-an, Merdana menciptakan tari kekebyaran baru bernama Tari Nelayan. Pada tahun tersebut, tari ini dipentaskan Ketut Merdana beserta Sekaa Gong Banda Sawitra di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan seperti kata Prof. I Made Bandem, lahirnya Tari Nelayan secara tidak langsung memberi pengaruh terhadap konsep tari yang pada awalnya bersifat tari murni dan keindahan semata, berubah menjadi tarian kebyar programatik—merespon perkembangan sosial politik di Indonesia pada saat itu.
Tahun ‘50-an sampai ‘80-an mungkin bisa dibilang sebagai puncak penciptaan dan perkembangan kesenian gong kebyar di Desa Kedis. Tokoh-tokoh seperti Ketut Merdana, Nyoman Sukandia (kakak dari I Ketut Merdana), dan Putu Sumiasa (anak dari I Nyoman Sukandia, ponakan dari I Ketut Merdana), merupakan seniman Kedis pilih tanding pada masa itu. Ciptaan-ciptaan mereka berupa tabuh (gending instrumental) maupun tabuh tari (gending instrumental iringan tari) mendapat sorotan dalam jagat gong kebyar di Bali.
Tari Nelayan, Tari Wiranjaya (dulu bernama kebyar Buleleng dauh enjung), Tari Merpati, Kebyar Susun, Tari Tenun Desa Kedis, Tari Palawakya Desa Kedis, Tabuh Kreasi Gambang Suling, Tabuh Kreasi Kuntul Angelayang (atau Paksi Angelayang), dll, adalah bukti bahwa seniman gong kebyar di Kedis tidak cukup puas hanya dengan mengikuti kreasi yang sudah ada sejak dulu—atau yang berkiblat pada yang indah-indah, tapi juga menciptakan repertoar sendiri dengan gaya dan konteks yang lebih segar.
“Tabuh kreasi Hujan Mas yang diciptakan Ketut Merdana sekitar tahun 1964 itu kan terinspirasi dari gending lancaran Udan Mas Jawa,” kata Pany, seolah ingin mengatakan bahwa identitas musikal dauh njung lebih bervariatif dari segi refrensi dan tidak konservatif daripada dangin njung.
Tak hanya Hujan Mas, dalam Tabuh Gambang Suling (1959) Merdana juga memasukkan objek material dari gamelan Jawa. Barangkali, mungkin, kata Pany, Gambang Suling menjadi satu-satunya tabuh gong kebyar daun 12, dari dong ditambah dua nada lagi, yakni deng. “Kalau umumnya gong kebyar, nada tertinggi itu nding,” sambung Pany.
Kocok, Yogi (moderator) dan Pany dalam Diskusi bertajuk “Identitas Musikal Dangin Njung dan Dauh Njung” serangkaian Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram di Sasana Budaya Singaraja | Foto: Amri
Daun njung, yang dilekatkan dengan nama Ketut Merdana, memiliki identitas musikal yang lebih fleksibel, dinamis, cair atau tidak kaku, kolot, dengan pakem-pakem tradisi. Hal ini terjadi karena, barangkali, salah satu faktornya adalah pergaulan lingkungan. Sebut saja Merdana, misalnya, meski hidup di Desa Kedis, Bali, ia sering melancong ke Jawa, khususnya bagian tengah—dan banyak yang mengatakan bahwa Merdana juga bergaul dengan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dan karena karya-karya ciptaannya, yang seolah dekat dan berangkat dari pendekatan realisme sosial—pendekatan yang identik dengan seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), pada huru-hara politik 1965, Ketut Merdana menjadi korban tragedi yang dikenal dengan istilah G30S atau Gestok itu.
“Kata Prof. Bandem, Ketut Merdana memang anggota Lekra. Karya-karya Merdana beberapa memang digunakan untuk tujuan propaganda,” kata Pany tegas. Dan jika benar demikian, maka wajar kalau identitas musikal dauh njung lebih realis, membumi, daripada karya-karya yang lahir dari seniman dangin njung—yang masih berdasar pada keindahan-keindahan dan konsep-konsep yang sulit dijelaskan.
Sampai di sini, terlepas dari identitas musikal dangin njung dan dauh njung, hari ini, menurut Pany, spirit seniman di Buleleng tidak seperti dulu. Hari ini tampak tidak ada semangat yang membangun, konstruktif, seperti dulu. “Menjaga warisan itu penting, tapi itu tidak cukup. Apa yang harus kita lakukan itu jauh lebih penting,” ujar Pany saat menjawab pertanyaan “mau dibawa ke mana identitas dangin njung dan dauh njung hari ini?”[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole