DI Bali utara, awal abad kedua puluh, dunia kesenian Bali dikejutkan dengan munculnya “burung phoenix” dalam bentuk kebyar, yang membawa kesenian Bali ke tingkat vitalitas yang baru.
Kebyar memindahkan gamelan ke konteks baru sehingga semakin tidak dibatasi oleh fungsi pura dan puri, berlawanan dengan estetika dan fungsi dalam pertunjukan keraton, dan terbuka untuk menyambut abad baru.
Hampir tak terbayangkan efek radikal dan menyegarkan yang timbul pada awal munculnya musik ini. Terutama menyangkut dorongan menuju teknik dan kelengkapannya yang khas dan revolusioner.
Merespon dinamika Kebyar inilah, Direktur dan Kurator Festival, Wayan Gde Yudane melihat bahwasanya, “Kebyar telah membuka pintu dengan cara seperti ini, kita sudah menuju ke suatu ruang yang tak berdinding.”
Atas respon tersebut, maka digagaslah Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram yang akan diselenggarakan selama tiga hari, dari tanggal 31 Mei sampai 2 Juni 2024, bertempat di Sasana Budaya, Singaraja, Buleleng.
Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram adalah sebuah kegiatan inovasi dan kreativitas repertoar musik sebagai upaya re-formasi, memberi format, dan pemaknaan baru (re-interpretasi) terhadap gending-gending (musik kerawitan) yang tergolong klasik atau yang sudah ada, sekaligus melakukan penciptaan (rekreatif) yang (sama sekali) baru.
“Sengaja kami pilih menampilkan Gong Kebyar Mebarung khas Bali Utara sebagai pembuka festival. Penampilan ini juga kami niatkan untuk kembali membuka telinga kita mendengar karakter, identitas musikal dangin njung dan dauh njung yang begitu rapid dan unik,” jelas Yudane.
Sedari awal, Festival Komponis Perempuan ini diniatkan sebagai upaya merayakan bentuk- bentuk musikal yang lahir dari ekspresi kekinian, dengan capaian artistik yang tinggi. Mendobrak batasan menuju wilayah baru untuk menjabarkan dan memahami bentuk keterhubungan yang melawan, melanjutkan, dan melewati satu sama lainnya.
Mengharap setiap komponis bisa mencurahkan sesuatu yang bernuansa, sesuatu yang mencerminkan kebenaran tentang dirinya, apapun bentuk dan bahasa komposisinya. Sehingga menampakkan bahwa musik bisa merupakan bagian dari konstruksi sesuai dengan cara komponis menciptakan karya.
“Meskipun kita tampak telah mencapai kemajuan, perbedaan gender masih terjadi di banyak bagian masyarakat. Feminisme tidak hanya tentang hak-hak perempuan; hal ini menuntut dunia yang adil bagi semua orang, tidak peduli gender mereka. Bahkan pada tahun ini, kita terus mendorong masa depan yang lebih baik dan setara,” imbuh Yudane.
Pranita Dewi, Manajer Sanggar Wrdhi Cwaram menambahkan, “Salah satu pilihan jalan keluar yang dapat membuka sekat keadilan dan kesetaraan gender adalah melalui seni. Sang seniman, baik laki dan perempuan, mendayagunakan seluruh potensi kemanusiaannya—sebuah keadaan ideal yang disebut sebagai ‘aktualisasi diri’.”
Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram memiliki empat program utama, di antaranya adalah (1) diskusi; (2) pertunjukan gong mebarung; (3) presentasi karya komponis perempuan; serta (4) bincang seniman.
Dalam tiga hari ke depan, festival ini akan menjadi sebuah ajang bagi komponis-komponis perempuan untuk mengekspresikan capaian-capaian terkininya yang mencerminkan kesungguhan pencarian kreatifnya.
Selain menampilkan pertunjukan musik, acara juga akan diperkaya dengan timbang pandang atau dialog bersama para komposer bersangkutan; sebentuk pertanggungjawaban penciptaan. Pemilihan penampil berdasar pertimbangan diantaranya: generasi, bahasa komposisi dan ensemble; dari full gamelan ensemble, mix gamelan, serta mix ensemble.
Sejumlah seniman yang akan tampil dalam festival, yakni (1) Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya Br Paketan yang akan menampilkan repertoar Tabuh Nem Lelambatan “Galang Kangin” Style Banjar Paketan dan Tari Subali Sugriwa; (2) Sanggar Seni Wahana Santhi Br. Umejero yang akan menampilkan repertoar tabuh Tari Teruna Jaya an Taruna II.
Serta (3) para komponis perempuan yang akan menampilkan karya mereka. Yakni, Pranamya Swari dengan repertoar “NG”, Desak Suarti Laksmi dengan “Kelangensih”, Ni Made Ayu Dwi Sattvitri dengan karya bertajuk “Mutusake”, serta Ni Komang Wulandari dengan karya “Hasrat”.
Menurut keterangan Pranita, juga akan ada diskusi dalam festival yang menyoal tentang wacana musik, pertunjukan, serta isu perempuan dalam seni dan kenyataan sehari-sehari. Seperti diskusi “Peran Perempuan dalam Seni Pertunjukan” bersama Swasthi Bandem dan Ni Luh Menek yang dimoderatori oleh Made Adnyana Ole.
Juga “Identitas Musikal Dangin Njung dan Dauh Njung” bersama I Made Pasca Wirsutha dan I Ketut Pany Ryandhi yang dimoderatori oleh Yogi Sukawiadnyana, serta “Feminisme di Dalam dan di Luar Musik” bersama Wayan Sudirana dan Kadek Sonia Piscayanti.
Festival Komponis Perempuan Wrdhi Swaram diharapkan bisa menjadi dorongan bagi para komponis perempuan pada khususnya, seni dan budaya Indonesia secara umum. Semoga bisa terus bertahan, bahkan dikembangkan.
Menurut Yudane, acara ini adalah bentuk dukungan dan pengakuan untuk komponis perempuan, yang jumlahnya cukup sedikit.
“Berjalan sendiri menjelajahi wawasan dunia musik baru dengan sejumlah kesulitan yang dihadapi pada era ini yang disebabkan oleh berbagai faktor. Termasuk kendala sosial dan ikatan ketat yang dibentuk oleh tangan sesama musisi dan komposer, yang matanya tidak dapat melihat sejauh telinga mereka dapat mendengar,” terang Yudane.
Program Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram diinisiasi oleh Sanggar Gamelan Wrdhi Cwaram, Yayasan Suara Asia Pasifik, dan New Music for Gamelan Festival. Didukung oleh Kemdikbudristek dan LPDP Kemenkeu RI melalui platform Dana Indonesiana kategori Penciptaan Karya Kreatif Inovatif.
Pelaksanaan program berkolaborasi dengan sejumlah lembaga, yakni Kubu Art Space, Mulawali Institute, Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya Br. Paketan, Sanggar Seni Wahana Santhi, Bumi Bajra, Sanggar Seni Citta Usadhi, Sanggar Seni Palwaswari, Sekaa Black Kobra, STAHN Mpu Kuturan, Tatkala.co, Roras Ensemble, Sanggar Sembroli, Sanggar Lemah Tulis, Kelompok Sekali Pentas, Jelana Creative Movement, Napak Tuju, dan Citranala Records.[T][Rls]