Judul: Bolang dari Baon
Penulis: Sigit Susanto
Kategori: Novel
Penerbit: JBS
Tahun Terbit: Feb 2024
Tebal: 188 hlm
Ukuran: 13×19 cm
“Pelajaran yang utama menjadi manusia bukan bagaimana membaca dan menulis […] Tapi bagaimana orang harus menyimpan rahasia rapat-rapat.” ucap seorang warga menasehati Bolang ketika ia belajar mengeja untuk pertama kali.
Bolang adalah karakter utama dalam novel Si Bolang dari Baon. Hidup di tengah krisis identitas—antara menjadi manusia atau memilih menjadi binatang, Bolang menjalani nasibnya sebagai satu karakter yang hidup di antara, yang saya pribadi lebih senang menyebutnya sebagai karakter yang ambivalen, untuk menggambarkan sikap atau perasaan alih-alih status eksistensial; antara setengah rusa-setengah kera, antara hutan dan desa, maupun antara binatang dan manusia.
Si Bolang dari Baon bercerita soal makhluk setengah rusa setengah kera yang bertemu kemudian hidup dengan perempuan tua penjual kopi bernama Sariyah. Ia bertemu Sariyah di tengah hutan ketika Sariyah menjalani hari mengambil biji kopi basah.
Satu kali Sariyah kelelahan dan Bolang tampak kasihan melihatnya. Ia pun berniat untuk membantu, mengajak Sariyah untuk naik ke punggungnya dan kemudian mengantar Sariyah hingga tiba di desanya.
Seperti kebanyakan warga desa pada umumnya, warga terkaget-kaget melihat wujud Bolang, kaget antara mengangggap ia sebagai keajaiban kecil yang akan menyelamatkan desa atau malah membawa kesialan.
Warga pun antara takut dan berani untuk mendekat, hingga kemudian Sariyah menjelaskan bahwa Bolang adalah makhluk baik-baik. Warga kemudian mendekat, mencoba memberinya rumput, mengelus bulunya dan sejak saat itu cerita Bolang dengan Sariyah, dengan warga, dimulai.
Membaca Si Bolang dari Baon adalah juga melihat jika Sastra dengan S besar ini terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Beberapa dekade terakhir telah terlihat perubahan dalam bagaimana hubungan antara manusia dan hewan digambarkan dalam fiksi modern (Thompson, 2018).
Hadirnya karakter hewan dalam karya sastra memperlihatkan bahwa relasi manusia dengan hewan hadir dan bergerak dalam karya sastra.
Binatang sudah tidak lagi menjadi simbol-simbol atau semacam karakter tempelan untuk mendukung cerita yang digambarkan dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan, tetapi sudah berubah menjadi karakter selayaknya manusia (Thompson, 2018).
Hal tersebut dapat kita lihat pula dalam Si Bolang dari Baon ketika ia memutuskan untuk tinggal bersama Sariyah, berjualan kopi, mengajari warga baca tulis, dan melakukan aktivitas layaknya manusia pada umumnya.
Kecenderungan Sigit dalam Si Bolang dari Baon
Sigit cenderung menggunakan cara bercerita “tell” ketimbang “show”. Teknik “show” dalam penulisan kreatif bagi hemat saya memberi pengalaman yang lebih imersif dan emosional bagi pembaca.
“Tell” berarti penulis langsung memberi tahu pembaca tentang perasaan, pikiran, atau kejadian, sementara “show” berarti penulis menggambarkan adegan secara detail sehingga pembaca bisa merasakan dan menyimpulkan informasi sendiri melalui tindakan, dialog, dan deskripsi sensoris, yang mengaktifkan imajinasi dan keterlibatan mereka.
Narasi yang menggambarkan peristiwa secara mendetail dan konkret lebih efektif dalam membangun empati dan keterikatan emosional. Teknik ini juga memperkuat karakterisasi dan pengembangan plot dengan cara yang alami dan meyakinkan, membiarkan pembaca merasakan alur cerita secara lebih langsung.
Sebaliknya, teknik “tell” cenderung pasif dan dapat membuat narasi terasa datar dan membosankan, karena hanya memberikan informasi tanpa membiarkan pembaca merasakan atau menyaksikan peristiwa yang terjadi.
Oleh karena itu, dalam konteks penulisan kreatif, “show” tidak hanya meningkatkan kualitas narasi tetapi juga memperkaya pengalaman membaca secara keseluruhan.
Dalam Si Bolang dari Baon, kecenderungan Sigit bisa dilihat dari beberapa hal yang ia sampaikan secara “tell” seperti: deskripsi emosi secara langsung, penjelasan langsung tentang kepribadian atau sifat karakter, menguraikan peristiwa tanpa adegan yang hidup dan dialog yang terlalu ekspositori.
Saya tunjukkan dari beberapa bagian buku yang saya pilih acak:
“Ah, itu binatang yang ikut sendiri dari hutan jati. Mungkin dia kasihan melihat saya kepayahan, saat hujan turun lebat sekali. Tapi yang paling saya takuti, besok langganan-langganan kita lebih sibuk nonton binatang itu ketimbang belanja kopi.” Hal. 11.
“Saya akan melakukannya dengan sepenuh hati dan meyakinkan siapa saja yang mendengarkan.” Hal. 84.
Chekhov’s Gun
Chekhov’s gun adalah prinsip naratif yang dikemukakan oleh penulis dan dramawan Rusia, Anton Chekhov. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap elemen yang diperkenalkan dalam sebuah cerita harus memiliki fungsi dan relevansi terhadap alur cerita secara keseluruhan.
Chekhov menyampaikan ide ini dalam beberapa variasi, salah satunya yang terkenal adalah: “Jika dalam babak pertama ada senapan tergantung di dinding, maka pada babak kedua atau ketiga senapan itu harus meledak. Jika tidak akan meledak, maka tidak seharusnya digantung di sana.”
Prinsip ini mengajarkan bahwa elemen yang tidak relevan atau tidak berkontribusi pada perkembangan plot sebaiknya dihilangkan untuk menjaga kekompakan dan efisiensi narasi.
Dalam praktiknya, Chekhov’s gun ini secara tidak langsung mengingatkan penulis untuk menghindari detail atau objek yang tidak penting dan memastikan bahwa semua elemen cerita saling berkaitan dan mendukung tema utama, karakterisasi, atau perkembangan plot. Hal ini membantu menciptakan cerita yang lebih fokus dan terstruktur, di mana setiap detail memiliki makna dan tujuan, menghindari kebingungan dan memperkuat pengalaman keseluruhan bagi kita pembaca.
Dalam Si Bolang dari Baon, nyaris kita pembaca hanya disuguhi oleh narasi tambahan, karakter tambahan, dan hal-hal yang semakin kita ikut melangkah bersama karakter, semakin banyak hal diberitahunya. Bagus kalau memang hal itu perlu dan berguna kedepannya, namun itu tak terjadi dalam novel ini.
Sigit seolah memberitahu kita banyak hal apa yang terjadi terhadap karakternya, bagaimana karakternya bertemu, dan seterusnya, namun pada akhirnya, apa yang disampaikannya di awal tidak tidak ada hubungannya untuk kepentingan penceritaan di akhir.
Misalnya dalam bab “Buku yang Mendatangi Pembaca”, bab ini bercerita tentang buku-buku yang mendatangi pembaca, buku-buku yang tiba-tiba berjatuhan, jatuh di atas padi, nyangkut di pohon, dan seterusnya. Ada yang mendapatkan buku Sukreni Gadis Bali, ada yang mendapatkan buku Pegadaian dan seterusnya.
Sampai akhir cerita, tidak ada dampak dari bab ini. Ia tidak menunjukkan lebih dalam karakteristik Si Bolang, tidak pula mengembangkan plot cerita, dan buku-buku yang berjatuhan pun semisal Sukreni Gadis Bali, tidak ada penjelasan kenapa buku itu, tidak pula ada tujuan kenapa buku ini berjatuhan.
Sehingga bagi saya, ada atau tidak bab “Buku yang Mendatangi Pembaca” ini sebenarnya tidak akan mengubah apa-apa dalam Si Bolang dari Baon.
Logika Bahasa
“DESA BAON gelap di malam hari.” Ketika membaca kalimat pertama itu dalam Bab berjudul “Perpustakaan Keliling” apa yang kira-kira ada di pikiran kawan-kawan? Saya pikir sebagian dari kita akan menganggap hal itu wajar. Karena malam sudah pasti gelap? Kalau siang hari gelap karena mendung itu mungkin masih bisa kita terima secara logis. Tapi kalau malam hari bukankah memang sejatinya mesti gelap?
Hal semacam ini tampaknya Sigit tak perlu jelaskan atau tuliskan dalam karyanya, karena kita sebagai pembaca tanpa dikasih tau pun akan tau bahwa Desa Baon itu gelap di malam hari. Desa kamu gelap di malam hari. Desa saya gelap di malam hari. Desa kita gelap di malam hari. Beda hal kalau misal ada program pemerintah melalui program “Kampung Terang” untuk meningkatkan kualitas penerangan desa. Tapi karena ini desa kecil dengan masyarakat yang sebagian besar hidup dari bertani dan berdagang di pasar, apa yang sejatinya kita harapkan dari desa kecil di malam hari selain gelap itu sendiri?
Meskipun tidak banyak, namun beberapa hal cukup berpengaruh pada pembacaan saya terhadap karya ini. Misalnya lagi apa yang ditulis Sigit di halaman 19:
“Ibu-ibu harus berdiri menumbukkan lonjoran kayu berat ke dalam lubang lesung. Dan itu dilakukan berkali-kali sampai biji kopi benar-benar remuk sebesar pasir.”
“Remuk sebesar pasir.” Saya merasa biji kopi ukurannya lebih besar dari pasir dan kalau pun kopi sudah digiling atau ditumbuk, ia takkan lagi “sebesar” pasir, mungkin lebih tepat “seukuran” atau “serupa pasir”?
Alusi Mitologi; Serupa tapi Tak Sama
Dulu karakter mengenai hewan atau hubungannya dengan manusia begitu mudah kita jumpai di dalam fabel atau dongeng-dongeng. Penggunaan karakter hewan dalam genre ini dibuat untuk mewakili tipe dan atribut manusia semisal rubah yang memiliki sikap licik, anjing untuk menggambarkan kesetiaan, atau merpati mewakili cinta, dan lain sebagainya (Bolongaro, 2010).
Ketika melihat sastra hari ini, hewan digambarkan dengan cara-cara yang begitu beragam, tidak hanya dilihat dari segi religius; hewan sebagai dewa atau sesuatu yang dipuja, melainkan juga teman yang mewujud serupa manusia.
Sekilas kita bisa melihat karakter yang Sigit ciptakan itu unik; binatang itu separuh rusa, separuh kera, kedua kaki belakang tampak seperti rusa, tapi bagian kepala dan kaki depannya persis kepala dan tangan kera.
Sigit menghadirkan karakter dengan wujud bukan manusia, dengan tubuh setengah kera-rusa, namun memiliki perilaku-perilaku manusia dan bisa hidup berdampingan bersama manusia.
Membayangkan Bolang, kita sekilas untuk diajak membayangkan karakter-karakter hibrida dalam mitologi Yunani, macam Centaur, Chimera, Pegasus, yang juga adalah mahkluk setengah kuda-setengah manusia, atau yang memiliki kepala singa, tubuh kambing, dan ekor naga atau kuda bersayap dan seterusnya seterusnya.
Si Bolang, karakter fiksi dengan tubuh setengah kera dan setengah rusa, mengingatkan kita pada makhluk-makhluk dalam mitologi Yunani, meskipun ada perbedaan mendasar dalam wujud dan asal-usulnya. Centaur, dengan tubuh setengah manusia dan setengah kuda, melambangkan ketegangan antara naluri primal dan kecerdasan manusia.
Sementara itu, Chimera, makhluk berwujud gabungan dari singa, kambing, dan naga, sering dianggap sebagai simbol kekacauan dan ancaman. Si Bolang, meski juga merupakan kombinasi dari dua spesies berbeda, membawa simbolisme yang unik; perpaduan kera dan rusa seolah merepresentasikan keseimbangan antara kecerdikan dan keanggunan, ketangkasan dan kelembutan.
Si Bolang digambarkan sebagai seseorang yang peduli akan literasi, ia mengajari warga cara menulis dan membaca. Bolang pun tampak jauh lebih pintar dari warga. Warga memanggilnya dengan Pak Bolang, karena selain jago baca tulis, namun juga jago berpidato. Konon, berapa warga yang mendengar pidatonya merinding dan sangat terkesan dengan apa yang ucapkan. Dengan demikian, meskipun memiliki kesamaan sebagai makhluk hibrida, Si Bolang berdiri sebagai entitas yang unik dengan mitos dan pesan tersendiri, memperkaya bacaan fiksi modern dengan nuansa mitologis yang baru.
Menulis dan menerjemahkan adalah dua hal yang berbeda. Sama halnya dengan membaca; membaca adalah satu hal, sedangkan mengerti bacaan adalah hal yang lain. Dalam Si Bolang dari Baon ini, saya merasa Sigit seolah terburu-buru, baik dari pengembangan plot, maupun dari pengerjaan novelnya. Ia seolah tampak sangat berbeda 360 derajat dari bagaimana ia berurusan dan sabarnya menghadapi teks-teks Kafka yang rumit sekaligus menawan yang pernah saya baca.
Membaca Si Bolang dari Baon, terdapat beberapa aspek yang belum terselesaikan secara memuaskan, terutama dalam hal penggambaran emosi dan karakter. Deskripsi emosi seringkali disampaikan secara langsung tanpa melalui adegan yang hidup, sehingga pembaca kurang merasakan kedalaman perasaan tokoh-tokohnya.
Penjelasan tentang kepribadian atau sifat karakter juga cenderung terlalu eksplisit, tidak memberi ruang bagi pembaca untuk menyimpulkan sendiri melalui tindakan dan dialog. Peristiwa dalam cerita seringkali diuraikan secara naratif tanpa disertai adegan yang menggugah imajinasi, membuat alur terasa datar dan kurang dinamis.
Dialog-dialog dalam novel ini pun kadang terlalu ekspositori, lebih banyak menginformasikan daripada menunjukkan, sehingga mengurangi nuansa alami dan mendalam dalam interaksi antar tokoh. Semua ini menjadikan beberapa bagian cerita terasa kurang hidup dan kurang mampu mengundang keterlibatan emosional pembaca secara mendalam.
Namun, kalau kita melihat karakter Si Bolang, bagi saya karakter ini adalah salah satu hal yang unik yang bisa ditemukan dalam karya Sigit, meskipun pada akhirnya Si Bolang dieksekusi dengan sudut pandang yang umum dan tampak terburu-buru. [T]
- Artikel ini dimuat pertama kali di julisastrawan.com