SETIAP negara, masyarakat, atau daerah memiliki makanan tradisional yang khas, yang dapat membedakan antara satu negara atau daerah dengan yang lain. Kekhasan itu dapat berkaitan dengan bahan baku, rasa, cara memasak, warna, bentuk, cara menyajikan, dan cara menyantapnya.
Oleh sebab itu makanan tradisional merupakan bagian dari budaya suatu negara atau daerah. Pentingnya makanan dalam kehidupan manusia tak terbantahkan. Bukan hanya sebagai produksi organisme untuk mempertahankan hidup, makanan adalah juga fenomena kebudayaan.
Menurut Foster dan Anderson, simbolisasi makanan mencakup ikatan sosial, solidaritas kelompok, ketenangan jiwa, dan simbolisme makanan dalam bahasa. Makanan jelas penting untuk kehidupan biologis, namun ia juga penting dalam hubungan sosial. Kerap kita temukan makanan ditautkan dengan suatu kepercayaan, keyakinan atau takhayul. Ini menunjukan kuatnya arti simbolik makanan itu (Malagina, 2008) .
Seiring dengan kemajuan era keterbukaan komunikasi, makanan tradisional juga mengalami dampak buruk globalisasi, yaitu keterpinggiran. Makanan tradisional mulai ditinggalkan oleh masyarakat lokal. Padahal makanan tradisional bukan hanya berfungsi sebagai bahan makanan pokok saja, tetapi juga sebagai simbol identitas suatu daerah (Nurhayati, 2013 ).
Makna Komunikasi
Makanan, baik yang tradisional maupun modern, memang bukan sekadar untuk pemenuhan kebutuhan biologis seseorang. Makanan dan orientasi orang untuk mengkonsumsi makanan juga dapat menjadi gaya hidup, identitas, maupun produk budaya suatu daerah.
Sebagaimana dikatakan Lee (dalam Murwani, 2012), konsumsi tidak hanya semata-mata merupakan tindakan yang wajar untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Lebih dari itu; konsumsi makanan digunakan sebagai alat komunikasi kepada orang lain untuk menunjukkan identitas, posisi sosial maupun gaya hidupnya.
Makanan pada umumnya dipandang sebagai salah satu faktor pemenuhan kebutuhan biologis manusia. Makanan juga memiliki makna sosial, budaya, politik, dan ekonomis. Bahkan makanan dapat dipandang sebagai fungsi magis atau religi.
Banyak simbol religi atau magis yang dikaitkan dengan makanan. Dalam agama Islam, kambing sering dikaitkan dengan upacara penting siklus kehidupan, seperti upacara selamatan kelahiran bayi atau khitanan.
Anggur dalam agama Katolik diibaratkan darah Kristus, dan roti sebagai tubuhnya. Masyarakat Jawa juga melakukan upacara selamatan dengan menghidangkan nasi tumpeng dan nasi kuning (Almatsier dalam Mapandin, 2006 ).
Makanan tradisional sebagai produk sosial budaya erat kaitan dengan komunikasi. Makanan dapat bermakna mengkomunikasikan status sosial seseorang di masyarakat. Makanan juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk saling berkomunikasi sesama anggota masyarakat dalam suatu kegiatan.
Makanan dapat pula menjadi identitas diri dan sosial masyarakat, yang akan menjelaskan tentang asal daerah seseorang. Ketika orang menyebut Rendang, maka kita dapat merujuk pada makanan yang berasal dari daerah Sumatera Barat. Begitu pun ketika orang menyantap makanan Gudeg, maka akan membayangkan bagaimana masyarakat Yogya mengolah masakan tersebut.
Hasil penelitian menjukkan, bahwa meskipun makanan impor banyak terdapat di Indonesia, namun makanan tradisional berbagai daerah masih dapat ditemui dan tidak ditinggalkan oleh masyarakat.
Makanan tradisional berbagai daerah masih bisa bertahan, karena memiliki makna komunikasi di masayarakat. Makna yang terdapat di balik makanan tradisional adalah sebagai bagian dari ritual siklus kehidupan, simbol persaudaraan, serta akulturasi dua budaya yang berbeda (Chusmeru,2020).
Ikon Wisata
Makanan khas suatu daerah atau kuliner tradisional dianggap penting, selain sebagai ciri khas suatu daerah juga menjadi salah satu daya tarik wisata. Menurut Wikipedia, culinary is difined as something related to, or connected with, cooking or kitchen.
Kuliner berhubungan dengan memasak atau dapur. Dalam perkembangannya, kuliner sering dikaitkan dengan masakan khas suatu daerah atau makanan yang memiliki keunikan dan citarasa tersendiri.
Salah satu komponen budaya Bali yang menarik wisatawan misalnya, adalah makanan tradisional. Makanan tradisional Bali adalah makanan khas daerah Bali yang telah dikenal dan dibuat dengan cara sederhana dan secara turun temurun digunakan oleh masyarakat Bali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penghayatan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam makanan tradisional Bali dapat meningkatkan jatidiri budaya Bali sendiri (Trisna Eka Putri, 2010). Sejak pariwisata budaya berkembang di Bali, makanan tradisional Bali ikut pula menjadi salah satu hal yang diminati oleh wisatawan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu makanan tradisional Bali. Selain teknik pengolahan dan penerapan teknologi modern, makanan tradisional Bali juga dijual di rumah makan, restoran, dan hotel bertaraf internasional.
Makanan atau kuliner merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat terlepas dari kegiatan apa pun, termasuk dalam berwisata. Pentingya posisi kuliner dalam dunia pariwisata bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan, namun makanan khas suatu daerah juga dapat menjadi ikon maupun branding daerah tersebut.
Pantai Jimbaran di Bali, misalnya, identik dengan ikan bakar atau seafood, sajian babi guling dan ayam betutu dari daerah Gianyar dan Ubud, Siobak dari daerah Buleleng, atau Kintamani yang khas dengan ikan mujair (Sri Aryanti, 2016).
Kuliner khas daerah memang bisa menjadi ikon wisata yang dapat menarik minat wisatawan untuk datang berkunjung. Salah satu yang menarik minat wisatawan adalah kuliner lokal yang memiliki ciri khas tersendiri. Pada saat ini ada juga tren wisatawan yang mengunjungi suatu daerah untuk menikmati kuliner lokal sambil bernostalgia.
Misalnya, nasi pecel di sekitar kampus UGM Yogyakarta adalah salah satu kuliner lokal yang diburu oleh pengunjung. Dengan mengajak teman dan keluarga sambil bernostalgia masa-masa kuliah. Kuliner lokal juga bisa dimanfaatkan untuk menciptakan berbagai paket kegiatan yang menarik bagi wisatawan.
Contohnya, wisatawan diajak memasak makanan khas suatu daerah sebelum menikmatinya. Di Bali, paket wisata belajar membuat makanan tradisional banyak digemari wisatawan; misalnya belajar membuat lawar Bali, memasak ayam betutu, dan membuat plecing.
Apalagi, pada saat ini, wisatawan memiliki semacam kebiasaan untuk mengunggah foto kuliner ke media sosial. Yang biasa diunggah adalah tempat kuliner atau jenis makanan khas daerah. Dengan demikian, sangat penting untuk menyediakan spot foto bagi wisatawan di tempat kuliner tersebut.
Makanan kadang memang bukan sekadar apa yang dinikmati oleh lidah, tetapi juga apa yang dirasakan dalam hati. Layak jika penulis Amerika Alan D.Wolfelt berujar, makanan adalah simbol cinta ketika kata-kata tidak memadai.[T]
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU