DI The North View Ngiring Ngewedang Restaurant, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, beberapa menit sebelum acara dimulai, tamu undangan berbincang-bincang santai di kursi yang telah disediakan panitia.
Orang-orang itu datang dari berbagai kalangan, dari pejabat pemerintah, pelaku usaha dan petani kopi, jurnalis, sampai orang-orang perbankkan. Mereka, orang-orang itu, sedang menghadiri acara peresmian Heritage Coffee Farm and Roastery yang digagas oleh Kopi Banyuatis, Rabu (15/5/2024) pagi.
“Ini dalam rangka meneruskan warisan—atau merawat sejarah usaha Kopi Banyuatis. Makanya kami menggunakan istilah heritage,” ujar Gede Pusaka Harsadena, Owner Kopi Banyuatis sekaligus penggagas Heritage Coffee Farm and Roastery. Saka, begitu ia akrab dipanggil, memang pewaris industri kopi yang berdiri sejak 1960 itu. “Kami akan membuka kebun kopi dan akan dijual di sekitar sini,” sambungnya.
“Heritage Coffee Bali” adalah lini usaha baru Kopi Banyuatis yang menaungi Heritage Coffee Farm dan Heritage Coffee Roastery. Berada di Desa Munduk, Buleleng, Heritage Coffee Farm terletak tepat di depan restaurant Ngiring Ngewedang sementara Heritage Coffee Roastery bertempat di area restaurant itu sendiri yang sesungguhnya dimiliki oleh pemilik yang sama dengan Hotel Bali Taman Beach Resort & Spa dan Kopi Banyuatis, ya, itu, Gede Pusaka Harsadena.
Peresmian kebun kopi Arabika seluas 70 are ini ditandai dengan penanaman bibit kopi secara simbolis oleh Gede Pusaka bersama para tamu undangan yang sudah berdatangan Rabu pagi itu.
Pj. Bupati Buleleng yang pada kesempatan kali ini diwakili oleh Kepala Dinas Pariwisata Gede Dody Sukma Oktiva Askara.S.Sos,. M.Si turut hadir dalam acara pada Rabu (15/5). Ada pula Kepala Dinas Pertanian Ir I Made Sumiarta, Kepala Dinas Kominfosanti Ketut Suarmawan S.Stp. M.M, Perbekel Munduk I Nengah Sudira S.H, Kelian Subak Abian Wija Sari, Wakil Pimpinan Bank BNI Wilayah Bali Acta Suryadinata dan pihak perwakilan dari pemiliki hotel dan restaurant sekitar area Munduk serta travel agent yang menjadi rekanan unit bisnis mereka.
“Dinamakan Heritage Coffee karena ini merupakan warisan dari kakek buyut saya Jro Dalang Gelgel. Kebun kopi pertama yang kami miliki dari tahun 1928 di Desa Banyuatis adalah perkebunan kopi Robusta, sedangkan di Munduk dengan ketinggian 1.250 mdpl kami menanam kopi varietas Komasti Arabica dengan potensi panen 2,1 ton/ha pada 2 tahun mendatang,” kata Gede Pusaka.
Ngiring Ngewedang merupakan restaurant yang memiliki 2 lantai ini memberikan pengalaman bersantap sembari menikmati pemandangan indah Desa Munduk dengan udara segar. Kopi yang disajikan hasil panen dari kebun pribadi milik Gede Pusaka, sehingga terjamin kualitas dan rasanya. Restoran yang telah beroperasi pada tahun 1998 ini, tampil lebih modern setelah direnovasi pada tahun 2018.
Kapasitas restoran yang dapat menampung hingga 200 tamu membuat Ngiring Ngewedang menjadi tempat yang ideal untuk melangsungkan gathering dan acara spesial lainnya. Kedepannya, dengan berdirinya Heritage Coffee Farm & Roastery yang berlokasi di sekitar area restaurant tersebut dapat meningkatkan daya tarik tamu domestik maupun internasional untuk mengunjungi Ngiring Ngewedang pada khususnya dan Munduk pada umumnya.
Bibit kopi komasti di kebun Heritage Coffee Farm di Munduk | Foto: Panitia
Bersama timnya, untuk mengawali kerja Heritage Coffee Farm, Saka mencoba menanam varietas kopi komasti di lahan seluas 70-an are. Letak kebun tersebut hanya sepelemparan batu dari Ngiring Ngewedang Restaurant. Saka hendak membangun destinasi kopi yang terintegrasi dari hulu sampai hilir di sana. “Kopinya kami tanam sendiri, olah sendiri, jual sendiri, dan dikonsumsi langsung dari kebun sendiri,” katanya sembari tertawa.
Benar. Heritage Coffee Farm ini memang mengadopsi konsep Edu Eco Tourism—kegiatan pariwisata berbasis lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial-budaya-ekonomi masyarakat lokal, serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Jadi, setiap pengunjung dapat merasakan pengalaman bersentuhan langsung dengan pengolahan kopi dari hulu sampai hilir dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Gede Pusaka Harsadina, Owner Kopi Banyuatis | Foto: Rusdy
Munduk dipilih sebagai tempat Heritage Coffee Farm tentu bukan tanpa alasan. Sebagai daerah yang bertengger di ketinggian 1.250 meter di atas permukaan laut (mdpl), Munduk sangat ideal untuk dijadikan kawasan perkebunan kopi, khususnya arabika.
Jika mengacu pada literatur sejarah, sejak era sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, Munduk sudah menjadi sentra budidaya kopi pemerintah kolonial Belanda, memang. Selain faktor ketinggian, temperatur juga menjadi pertimbangan utama budidaya kopi di sana.
Sebagaimana telah disinggung di atas, kopi yang ditamam adalah varietas komasti—kopi arabika yang telah dilepas-tanamkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia pada tahun 2013.
“Bibit yang kami tanam ini dari Gesing. Enam daun baru dibawa ke sini. Kalau yang kita taman tadi, umurnya sekitar delapan bulanan. Usia dua tahun setelah tanam baru bisa kami panen. Dan kami menjadi yang pertama menanam varietas ini di Bali,” terang Saka.
Suasana peresmian Heritage Coffee Farm | Foto: Rusdy
Tetapi, mengenai jumlah bibit yang ditanam, Saka tak terang betul menyebutnya. “Untuk satu hektar butuh lima ribu bibit. Karena ini kurang dari satu hektar, ya tinggal dibagi aja, berapa itu?” ujar Saka. Ia tertawa setelah mengatakan hal tersebut.
Kopi komasti yang ditanam di Heritage Coffee Farm akan dirawat secara organik, dari pupuk sampai pengendalian hama. Pengolahan lahan dan perawatan akan dijalankan petani lokal. Dan proses pengolahan produk akan dilakukan secara tradisional. “Jadi, dijemur dulu selama beberapa minggu, baru kemudian dipilah dan diolah di roastery,” jelas Saka.
Cita rasa kopi yang diolah secara tradisional, kata Saka, memiliki tempat tersendiri di lidah penikmatnya dibanding biji kopi yang diproses secara full wash atau semi wash. Menurutnya, cita rasa kopi yang diolah secara tradisional memiliki cita rasa yang lebih asam.
Menumbuhkan Ekosistem Kopi Bali Utara
Di Buleleng bagian selatan, selain cengkeh dan buah-buahan, sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, kopi juga termasuk komoditas yang menjanjikan. Tanaman yang ditemukan di Benua Afrika sekitar 800 SM—pendapat lain mengatakan pada tahun 850 M—itu, tumbuh subur di lereng-lereng Desa Wanagiri, Munduk, Gobleg, Gesing, Umejero, Banyuatis, Kedis dan sekitarnya. Ini bukan sesuatu yang baru, tapi sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Zaman itu, orang-orang di sana sudah menanam kopi.
Namun, mengenai produktifitas, Buleleng masih belum bisa menyuplai kopi secara nasional. Artinya, peningkatan produksi kopi sangat penting sebenarnya. “Kami ingin membangun dari hulu dulu,” kata Saka.
Hadirnya gagasan Heritage Coffee Farm ini, secara tidak langsung, bertujuan untuk menumbuhkan dan menguatkan ekosistem perkopian di Bali Utara. Untuk itulah, Putu Ardana, tokoh masyarakat Adat Dalem Tamblingan sekaligus petani/pelaku usaha kopi di Munduk, menyambut baik akan ide tersebut. Selain dapat menumbuhkan ekosistem kopi di Bali Utara, gagasan ini juga sejalan dengan sejarah Desa Munduk dan sekitarnya, katanya Ardana.
Para tamu undangan menanam bibit kopi komasti | Foto: Rusdy
“Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, Desa Gobleg, Gesing, Umejero, dan Munduk itu memang penghasil kopi dari dulu, meskipun Banyuatis lebih terkenal,” ujar Ardana yang membuat hadirin tertawa. Sebelum tahun 70-an 80-an, daerah Catur Desa Adat Tamblingan merupakan penghasil kopi yang produktif di Buleleng. “Tapi, setelah cengkeh masuk, banyak petani yang meninggalkan kopi,” sambungnya.
Desa Munduk dan sekitarnya, menurut Ardana, termasuk jalur perdagangan kopi di zaman kolonial. Bahkan, pada 1920-an, petani sekitar sudah ada yang mampu membeli mobil dari hasil berkebun kopi. “Belanda menjajah Bali itu kan masuknya dari utara. Mereka punya dua tempat peristirahatan, di Bubunan dan Munduk,” jelas Ardana.
Dalam rangka menumbuhkan ekosistem perkopian di Buleleng, menurut Ardana, masih membutuhkan kerja yang lebih keras. Oleh karena itu, dia sangat bersyukur dan senang mengetahui Kopi Banyuatis berkomitmen untuk membangun ekosistem tersebut melalui Heritage Coffee Farm ini.
“Sebab ekosistem ini penting. Tidak hanya ekosistem alamnya saja yang harus dipikir, tapi juga ekosistem yang lain, seperti sosial masyarakat dan bisnisnya,” ujar Ardana. Dengan adanya Heritage Coffee Farm ini, menurut Ardana, dapat juga membangun citra baik di kawasan Catur Desa Adat Tamblingan.
Sementara itu, menyambut gagasan Heritage Coffee Farm ini, melalui Kepala Dinas Pariwisata, I Gede Dody Sukma Oktiva Askara, Pemerintah Kabupaten Buleleng berencana mewujudkan Festival Kopi Bali Utara.
Festival tersebut diharapkan dapat menjadi wadah komunitas pecinta kopi, hotel, restoran, dan coffee shop di Kabupaten Buleleng nantinya—atau sebagai ajang unjuk gigi dan peningkatan popularitas dalam mengolah komoditas kopi Buleleng.
Gede Pusaka Harsadina dan para tamu undangan melepas-liarkan puluhan ekor merpati | Foto: Panitia
“Ini bisa memopulerkan warisan kopi di Bali Utara. Juga dapat bersinergi dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Jadi tidak hanya menjadi konsumsi lokal saja,” kata Dody.
Sebelum acara peresmian Heritage Coffee Farm selesai, pihak penyelenggara, selain menggelar penanaman bibit kopi komasti bersama tamu undangan, mereka juga melepas-liarkan puluhan ekor merpati di kawasan kebun kopi tersebut. Bersama merpati-merpati yang terbang bebas, doa-doa dan harapan baik didengungkan.[T]