AKU terbangun malam itu. Tubuhku gemetar, seolah menjadi alarm. Jarum jam sudah menunjuk pukul 9 malam. Aku tidak sakit, hanya ini pertanda bahwa perut sudah bisa diisi kembali. Ya, sebelum tidur, ini semacam menjadi acara puncak yang kutunggu-tunggu. Bergegaslah aku ambil dompet dan kunci motor. Dengan penuh harap, semoga para pedagang belum menutup kedainya lebih cepat.
Kecepatan motorku standar saja, hanya 45 km/jam, tentu itu masih kalah jauh untuk bisa menandingi Marc Marquez. Aku berhenti di tempat para pedagang makanan di dekat pasar. Tetapi aku tak begitu menyukai beberapa menu yang terpampang di tempat ini. Aku lihat hanya ada kedai es campur dan kedai sate-gulai kambing yang masih bertahan.
“Tidak ada yang menarik,” ucapku pada diri sendiri sembari membelokkan motor dan berjalan kembali. Dalam perjalanan itu, aku lihat pedagang sate favoritku. Ia masih kokoh berdiri di pinggir jalan besar itu. Tetapi, belum sempat aku berbicara, tukang sate nyeletuk, “Maaf dik, satenya sudah habis,” sembari masih mengepet sate milik pelanggan terakhirnya.
Rasanya ingin kembali pulang untuk memasak mie instan, sekadar untuk mengisi perut. Tetapi ingatanku kembali disadarkan, mie sudah menjadi menu makan malamku seminggu yang lalu, tak baik jika dalam waktu dekat menyantapnya lagi.
Dengan penuh harap dan rasa sabar, aku memutuskan untuk kembali membawa motorku berkeliling. Langkahku terhenti ketika melihat jejeran sepeda motor yang begitu tertata dengan rapi. Ketika aku perhatikan kembali, ternyata ini salah satu tempat food court yang ada di Kota Singaraja, tepatnya di Jalan A. Yani, seberang toko-toko smartphone.
Kendaraan begitu ramai malam itu, kesempatan untuk menyeberang sangat kecil. Aku pun bingung, karena dari arah depan dan belakang rasanya tidak ada satu pun pengendara yang menghiraukan lampu sein kananku yang telah menyala.
Namun, sesaat setelah itu, pengendara dari arah kanan mendadak berhenti, memberikan kesempatan untukku menyeberang. Oh, salah, pikirku. Ternyata itu berkat bapak petugas parkir yang menghentikan para pengendara itu. Begitu ramainya motor yang terparkir, membuat diriku bingung untuk kedua kalinya. Bapak itu menghampiriku ke tempat di mana aku parkirkan motor bututku.
“Dik, biarkan saja, nanti bapak yang atur motornya ya,” ucap bapak itu sembari menunjukkan senyum ramahnya kepadaku. Aku menjawab, “Terimakasih, Pak.” Aku bengong sembari melihat bapak itu sedang membantu menyebrangkan pengunjung lain.
Seumur hidup, baru kali ini aku bertemu dengan seorang tukang parkir seramah itu. Senyum, sapa, serta ramahnya itu, aku kira hanya diperlihatkan kepadaku saja, namun setelah aku perhatikan lagi, ternyata itu berlaku untuk semua pengunjung food court.
Aku lanjutkan langkahku menuju food court itu. Di sini memang banyak kedai kecil yang menawarkan berbagai macam menu. Tentu saja semua bisa aku coba, meski tidak semua bisa aku beli. Nasi goreng menjadi bidikan pertamaku. “Nasi goreng sosisnya satu, tidak pedas,” pesanku kepada penjual nasi goreng sambil menunjuk daftar menu dengan background berwarna merah itu.
“Serius harganya delapan ribu?” ucapku heran, saat langkahku terhenti di sebuah kedai minuman. Aku melihat minuman milo, salah satu minuman favoritku dari kecil. Dengan size gelas yang bagiku itu cukup besar, harga Rp. 8,000,- tentu cukup murah. Maka tak tanpa pikir panjang, sudah pasti aku pesan itu.
Aku duduk di salah satu bangku yang kebetulan menghadap ke jalan raya. Tak sengaja, kembali aku lihat bapak tukan parkir itu membantu pengunjung yang ingin meninggalkan area food court. Tak terasa memandang, nasi gorengku tiba. Bayangkan saja, hanya Rp. 12,000,- Anda sudah mendapatkan porsi yang cukup banyak.
Tak berselang lama, ini yang sebenarnya aku nantikan, es milo-ku akhirnya tiba. Dengan penuh terburu-buru aku santap semua, karena perut sudah tidak bisa diajak bekerja sama.
Sesekali aku melihat bapak itu. Wajahnya nampak lesu, semakin malam geraknya semakin berkurang. Namun yang aku perhatikan bukan itu saja. Tapi juga senyum dan sikap ramahnya kepada pengunjung, membuatku kagum dengan pribadinya.
Makananku telah habis, saatnya aku beranjak dari tempat ini. Tapi langkahku terhenti ketika ditanya, “Dik, ini mau ke mana, mau lewat kiri atau kanan? Biar bapak keluarin dulu motornya,” ucap bapak itu sembari mendekat ke motorku. Benar-benar belum sempat kuberpikir, bapak itu datang lagi, bukan untuk menagih uang parkir, tapi untuk menawarkan bantuan dulu.
“Terima kasih, Pak, saya mau lanjut ke kiri,” jawabku dengan penuh rasa terima kasih. Tanpa berpikir panjang bapak itu mulai memindahkan satu demi satu motor yang menghalangi motorku. Sontak aku bertanya singkat dan penasaran, “Kenapa Bapak bisa begitu ramah dengan semua pengunjung?”
Pak Wayan, juru parkir, sedang berinteraksi dengan pengunjung food court | Foto: Pande
Bapak itu tersenyum sembari memindahkan motorku. “Sudah terbiasa, Dik. Orang itu bisa menilai kita dari kesan pertama yang kita berikan kepada mereka. Kalau dari awal sudah tersenyum, pasti orang itu akan senang,” jawab lelaki yang hanya ingin dipanggil dengan nama Wayan itu.
Pekerjaannya mungkin dianggap sepele oleh beberapa orang, namun semangat dan kerja kerasnya benar-benar patut untuk dijadikan panutan. “Bapak di sini selalu semangat, bertahan di sini semata hanya untuk keluarga saja, Dik,” tutur Pak Wayan dengan tatapan kosongnya, entah apa yang ada dipikirannya kala mengatakan hal demikian.
Di bawah lampu penerangan jalan, percakapanku dengan Pak Wayan terasa cukup kaku. Aku menyimak saat ia bercerita. Di tangan kanannya ada benda yang selalu setia menemaninya. Sekali lagi aku perhatikan, itu bukanlah smartphone, namun lampu stick panjang berwarna merah.
Cuaca cukup cerah, sesekali aku melihat ia mengelap keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya. Ia berharap tidak ada rintik-rintik air yang bisa menghentikan geraknya untuk membantu pengunjung kala itu.
“Semoga saja tidak hujan, Dik. Kalau hujan pasti bapak yang norokin. Sehari, misalnya, harus setoran Rp. 60,000, tapi jika dapatnya hanya Rp. 50,000, mau tidak mau harus tambahin lagi Rp. 10,000 agar nutup. Jadinya tidak dapat upah sama sekali,” tuturnya sambil menggaruk gatal di tangannya yang tampak lemas.
Setoran menjadi acuan utama dalam pekerjaan Wayan. Kadang jika ia ada keperluan dan tidak bisa bekerja, ia harus mencari seorang pengganti, yang bisa mengisi kekosongan di wilayah di mana tempat ia bekerja.
“Meskipun sakit, biasanya bapak tetap paksa, cuaca panas dan hujan harus tetap dilawan,” ucap Wayan sambil menunjukkan gesture “tahan dulu”. Ya, percakapanku dengannya harus terpotong sebentar, ada banyak pengunjung yang akan meninggalkan food court malam itu, jadi ia harus extra lebih sigap.
Pak Wayan mencoba masuk perlahan menuju badan jalan, ditiupnya peluit kecil itu, diiringi lampu stick lalu lintas dengan ayunan tangan naik-turun, itu tanda supaya pengendara dari arah lain dapat mengurangi kecepatan mereka.
“Upah juru parkir itu dapatnya dari uang sisa setoran, kalau setoran kurang, harus bisa ditutupi,” ujarnya. Aku bertanya secara spontan, “Ah, apakah bapak tidak rugi?”. Ia menjawab, “Sudah menjadi risiko, Dik. Tapi besoknya harus extra kerja keras lagi, agar dapat setoran lebih banya.”
Diriku termenung sejenak sebelum bertanya bertanya kepada diri sendiri, “Kapan ia merasa lelah?” Aku melihat Pak Wayan mengatur keluar-masuk kendaraan pengunjung.
Seolah mengetahui pertanyaanku, ia menjawab, “Kalau dibilang lelah atau mengeluh, itu pasti pernah, Dik. Bahkan selalu jadi pertanyaan, kenapa aku bisa jadi tukang parkir? Tapi intinya bersyukur saja. Bapak percaya Tuhan tidak akan pernah tidur.” Ia perlahan menghampiriku. Sepertinya ia tahu dengan apa yang sedang aku pikirkan.
Dalam suasana dinginya malam, interaksi Pak Wayan dengan pengunjung tidak ada hentinya. Aku tahu ia pasti merasakan dingin yang sama denganku. Aku saja yang sudah menggunakan jaket dingin masih saja mencoba menusuk masuk ke dalam tubuhku. Apalagi dia yang tidak mengenakannya.
Pak Wayan selalu memberikan pelayanan terbaik untuk semua orang. 3 S (senyum, sapa, dan salam) menjadi dasar untuk melaksanakan pekerjaannya. “Namanya suka duka di setiap pekerjaan itu pasti ada, kita harus tetap professional melayani dengan sepenuh hati,” tuturnya yang semakin menguatkan kekagumanku padanya.
Sempat terlintas di benakku, bahwa pasti tidak hanya faktor cuaca saja yang menjadi halangan saat ia bekerja. “Kadang ada yang sudah kami layani dengan baik, malah ditinggal pergi; kadang ada juga yang marah-marah. Tetapi kami tidak boleh menaruh rasa dendam, Dik,” ujarnya seolah kembali dapat menebak apa isi pikiranku.
Secara spontan aku bertanya kepadanya, “Lalu bapak bertahan di sini, apa ada sukanya juga?” Aku bertanya dengan penuh penasaran sembari mendekati motorku itu. Aku bisa menebak, bapak ini orang baik, tapi sekali lagi, jawabannya kala itu tidak bisa aku tebak sama sekali.
“Bapak suka menolong orang. Meskipun hanya seorang juru parkir, setidaknya kami sudah menyelamatkan orang, itu bapak anggap sebagai sebuah berkah,” jawabnya dengan penuh serius namun masih dengan senyum khasnya itu. Jawabannya benar-benar membuatku terdiam. Bagiku, jarang ada tukang parkir yang bisa berpikir hingga sejauh itu. Banyak pelajaran hidup yang bisa aku ambil dari pertemuan ini.
Lampu penerangan jalan itu benar-benar menjadi saksi bisu, ketika aku terdiam kagum mendengar cerita inspiratif dari Pak Wayan. Dari sekian banyak cerita itu, yang bisa aku ambil dan patut ditiru adalah tentang belajar arti bersyukur.
Belajar tentang berbuat baik tidak perlu menunggu punya materi, cukup dengan melakukan tindakan-tindakan yang baik, itu berarti kita sudah ikut menebarkan kebaikan bagi setiap orang.
Dalam kamus perjuangan Pak Wayan tidak mengenal kata lelah. Dan akhir dari tulisan ini, aku ingin menyampaikan “Selamat Hari Buruh Internasional, bagi seluruh buruh hebat di dunia ini.”[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
Editor: Jaswanto