SAYA sempat ragu untuk menuliskan pikiran, perasaan dan pandangan saya terhadap situasi sekolah dan pendidikan saat ini, terutama sekolah menengah, baik menengan pertama (SMP) maupun menengah atas (SMA). Saya khawatir akan menimbulkan reaksi dan ketersinggungan dari sejumlah pihak.
Namun, tuntutan intelektual membuat saya tak bisa berdiam diri saja menyaksikan dinamika sekolah menengah saat ini. Setidaknya di kota saya tinggal di Singaraja. Namun rasanya, setelah diamati, kecenderungan tersebut hampir terjadi di sekolah-sekolah di semua wilayah urban.
Kebetulan saya pun memiliki seorang anak remaja yang sedang bersekolah di salah satu sekolah menengah atas. Apalagi saya juga diberikan kepercayaan sebagai sekretaris komite sekolah di SMA itu. Jadi, saya akan berpandangan sebagai orang dalam dengan rasa memiliki. Bukan orang luar yang skeptis dengan segala intrik, tudingan apalagi kebencian.
Kita mulai dari debu hitam kasus asusila di kalangan remaja sekolah. Meskipun menjadi heboh karena video mesum yang terlepas ke media sosial, sejujurnya dapat diyakini, itu hanyalah secuil puncak gunung es yang muncul ke permukaan. Fenomena itu pun masih disebabkan karena berbagai faktor pencetus. Aspek keluarga yang permisif, lingkungan yang kurang peduli, kemudahan akses media dan informasi, pengaruh public figure yang kuat serta kepribadian remaja yang rentan.
Tunggu dulu, jangan-jangan sistem di sekolah pun telah memberi kontribusi. Murid-murid sekolah menengah yang menerapkan sistem full day, rata-rata sudah berangkat dari rumah sejak jam 6 pagi. Kembali ke rumah sekitar jam 4 sore.
Di luar itu mereka masih sering mendapat tugas kerja kelompok, bahkan di hari Sabtu dan Minggu. Dengan alasan untuk kerja kelompok tugas sekolah tersebut, mereka lebih mudah mendapat izin dari orang tua untuk pergi keluar rumah.
Timbul pertanyaan merisaukan, betulkah mereka keluar rumah hanya untuk kerja kelompok tugas sekolah?
Sebagai seorang dokter praktek, sudah cukup banyak saya merawat siswa sekolah yang jatuh sakit karena kelelahan. Di samping itu, dari diskusi dengan sejumlah orang tua siswa, anak-anak bahkan sudah tak sempat lagi mengurus kerapian kamar tidur mereka. Alih-alih sempat membantu pekerjaan rumah tangga sehari-hari.
Tujuan pendidikan, tidak hanya mencetak anak-anak kita menjadi cerdas, namun juga bertanggung jawab dan beretika.
Debu yang lain adalah gaya siswa sekolah yang semakin konsumtif. Untuk hanya perayaan kelulusan, saat ini mereka menuntut penyelanggaraan wisuda mewah. Jubah dan toga, riasan salon, buket bunga, gaun sepanjang tiga meter, sepatu boot artis, fotografer pribadi dan seterusnya. Bukankah kelulusan sekolah menengah hanya sebuah fase yang begitu biasa dan tembok beton tantangan berdiri menjulang di hadapan mereka?
Kalaulah betul ada segelintir siswa dan orang tua yang menuntut pelaksanaan seremonial tersebut, haruskah sebagian besar anak dan orang tua kalah dan mengikuti kemauan yang segelintir itu?
Selain pihak sekolah, pemangku kewenangan seperti dinas pendidikan pun perlu mengeluarkan aturan demi sekolah kembali pada misi mulianya. Berfokus pada penyelenggaraan proses belajar mengajar terbaik dan efisiensi segala macam pengeluaran yang tak bersifat perinsip. Meski era telah berubah, nilai-nilai seharusnya jangan sampai terdegradasi.
Masih terang ingatan saya, duduk bersila di lantai aula hanya mengenakan baju batik sekolah, saat dulu mengikuti acara perpisahan sekolah. Dan kami semua sudah cukup merasa senang. Pun para guru yang akan kami tinggalkan.
Demikian pula berbagai seremonial lain seperti perayaan ulang tahun sekolah. Merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah demi menampilkan hiburan spektakuler, bukanlah hal yang bijaksana. Banyak pilihan kegiatan yang kaya nilai dan moral. Berbagi ke panti asihan, tanam pohon, bersih-bersih sampah plastik hingga lomba inovasi maupun kesenian dan olah raga.
Terlalu banyak hal sederhana namun kaya nilai yang dapat dilakukan, jika dibandingkan dengan kegiatan konsumtif berlebih yang tak jarang juga memancing keributan. Apakah dengan pilihan-pilihan tersebut, kemudian sekolah harus takut karena akan dicap jadul atau ketinggalan zaman?
Menurut saya, itu kekhawatiran berlebihan. Justru saat ini, sekolah yang berani mengambil sikap dan langkah demikian justru dapat menjadi pelopor mengembalikan marwah sekolah sebagai pusat pendidikan berkualitas dan bermartabat.
Ini momentum yang tepat. Karena saya meyakini, sesungguhnya demikianlah sebagian besar ide dan pemikiran para siswa dan orang tua. Atau jika tidak segera bersikap, semua pemikiran akan terkontaminasi menjadi konsumtif karena risih dan takut dibilang ketinggalan zaman.
Debu lain yang tak kalah mengotori adalah, masih ada tradisi buruk senioritas yang berisiko mencederai siswa yang lebih junior. Sekolah bukanlah institusi militer yang memerlukan pendekatan militeristik. Perploncoan sudah ditekankan lebih banyak pada penggojlokan intelektualitas. Dari alasan sederhana, karena kelak mereka harus menjadi masyarakat intelektual.
Demikian juga, gelagat pembentukan kelompok-kelompok di luar organisasi sesuai aturan seperti OSIS, pramuka, PMR, kelompok ilmiah atau kelompok peduli Aids, sebaiknya tidak diberikan ruang jika tidak memiliki visi dan misi yang selaras dengan visi dan misi sekolah. Organisasi semacam itu dapat menjadi kekuatan yang bukan tidak mungkin menjadi duri dalam daging dalam lingkungan sekolah.
Jajaran guru, organisasi resmi sekolah, komite sekolah dan pemangku kebijakan yang menaungi sekolah wajib bahu-membahu dan bergandengan tangan mengembalikan karakter sekolah yang cerdas dan intelek. [T]
- KlikBACAuntuk melihat esai dan cerpen dari penulisDOKTER PUTU ARYA NUGRAHA