DI seputar Hari Kartini ini mari saya ceritakan tentang Luh Andriyani. Ia tinggal di dusun kecil di Dusun Selonding, Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng.
Dusun Selonding terkenal dengan perajin dan petani tuak dari pohon lontar atau pohon siwalan. Salah satu perajin itu Luh Andriyani, wanita 32 tahun, yang hidup dari membuat lau, atau tuak wayah, minuman orang dewasa yang diramu dari tuak lontar.
Ia bekerja bersama suaminya, Nengah Sidiarta. Suaminya sehari-hari mengiris batang buah lontar untuk mengumpulkan bahan tuak. Sementara Luh Andriyani bekerja untuk proses pembuatan lau, antara lain dengan menyisit, memilah-milah sabut kelapa.
Dusun Selonding adalah dusun yang asri, berada di wilayah Buleleng bagian timur. Warganya ramah, kehidupan sederhana. Ini bisa disebut desa-desa khas Bali di tengah perkebunan yang sesungguhnya.
“Mai ngopi, mai singgah, (mari ngopi, mari mampir)!” Begitu sapa warga ketika saya jalan-jalan ke pedusunan itu, Sabtu, 20 April 2024.
Luh Andriyani bersama suaminya | Foto: Don Rare
Warga di pedusunan itu seperti tak peduli dengan kondisi perekominan Indonesia, apalagi perekonomian dunia global. Mereka biasa masuk dan keluar kebun, atau masuk keluar rumah tetangga, sembari saling sapa dengan ramah.
Saat itulah tampak seorang perempuan, Luh Andriyana, dengan tenangnya memukul serabut kelapa dengan kapaknya. Perempuan itu tampak sangat kuat, barangkali sama kuatnya dengan laki-laki ketika bekerja di rumah atau di perkebunan.
Sabut kelapa itu dipukul, dikupas, lalu dijadikan serabut yang halus. Sabtu kelapa itu adalah salah satu materi yang digunakan dalam proses pembuatan lau atau tuak wayah.
Memang sudah sejak lama Luh Andriyani bekerja sebagai pembuat lau. Ia bersama suaminya memproses tuak lontar itu menjadi lau, lalu dijual ke sejumlah pemesan yang sebagian besar sudah menjadi langganan.
Pada musim normal pasangan ini bisa menghasilkan 100 botol nira dalam sehari. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya serta bekal sekolah anak-anaknya. Dua anak pasangan ini masih di TK dan kelas 7 di SMP.
Setelah mengantar anaknya sekolah di TK di desa, Luh Andriyani memasak layaknya ibu rumah tangga biasanya. Di sela-sela aktivitas itu, ia akan menunggu sang suami mengumpulkan dan mengiris batang buah lontar sembari menyiapkan serabut kelapa yang sudah dipecah dan di-sisit.
Selain membuat lau, pasangan ini juga membuat arak dan cuka lontar. Proses pembuatan tuak lontar itu, untuk menjadi lau, arak maupun cuka, dilakukan dengan penuh cinta. Selalu ada sentuhan perempuan yang memang menjadi penentu kualitas dari apapun yang dihasilkan di dunia ini.
Kartini ada di mana-mana dan semangat kartini akan terus ada, meski samar-samar sampai pelosok desa sekalipun. Terima kasih pada semua perempuan dan semangatnya untuk tetap mencipta rasa asam, asin dan manis seperti tuak lontar itu. [T]
Reporter: Nyoman Nadiana
Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain tentang DESA LES