Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari laporan pandangan mata pelaksanaan semiloka dwiwindu ilmu pariwisata yang digelar di Kampus Poltekpar Bali, pada Senin 25 Maret 2024. Ada tiga pembicara yang hadir kala itu yakni Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt; Prof. Azril Azahari, Ph.D dan Prof. Dr. Diena Mutiara Lemy, A.Par., M.M., CHE. Berikut, ulasannya ditulis I Made Sarjana.
***
ADA empat faktor penting dalam menopang perkembangan ilmu pengetahuan, yakni konsep dan teori, metode, lembaga pendidikan, dan komunitas akademik. Komunitas akademik tidak lain dari kumpulan orang (akademisi) yang berinteraksi dalam bidang keilmuan tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Lantas siapa saja komunitas akademik dan apa perannya dalam pengembangan ilmu pariwisata?
Dalam pengembangan ilmu pariwisata, eksistensi dan kontribusi Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) tidak bisa dikesampingkan. Pendapat ini dilontarkan Ketua ICPI Prof. Azril Azahari, Ph.D kala mengawali presentasi pada Semiloka Dwiwindu Ilmu Pariwisata di Kampus Poltekpar Bali pada Senin (25/03/2024). Cendikiawan pariwisata berpartisipasi aktif dalam mendorong lahirnya ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri.
Sesuai dengan piagam momentum pengakuan pariwisata sebagai ilmu mandiri tanggal 13 Februari 2008 yang ditandatangani Dirjen Dikti Depdiknas Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D. bersama Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Depbudpar RI, Ketua Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (HILDIKTIPARI) Himawan Brahmantyo, SE.,MM., serta Tim 9 Plus Pengembangan Bidang Ilmu Pariwisata Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, M.Sc., ada sejumlah akademisi yang berjuang secara aktif agar ilmu pariwisata mendapat pengakuan baik dari komunitas akademik dan non akademik.
Ketua ICPI Prof. Azril Azahari pun menyatakan terima kasih kepada akademisi yang disebutnya sebagai pencetus ilmu pariwisata. “Ada 27 orang akademis yang berperan aktif sebagai pencetus lahirnya ilmu pariwisata,” papar Prof. Azril.
Ditegaskan akademisi yang berperan sebagai pemacu ilmu pariwisata tersebut sudah menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Ada tiga peran yang dijalankan komunitas akademik kelompok ini, yakni sebagai accelerator (pemacu), developer (pengembang), dan booster (pendorong). Syaratnya yang bersangkutan harus memiliki sikap profesional yang tinggi di bidang pariwisata.
Selain peran sebagai pencetus, peran-peran yang ada ditangan komunitas akademis meliputi sebagai pengawal, penggerak perubahan, dan kontributor pembangunan kepariwisataan. Peran sebagai pengawal atau agen transformasi mencakup supervisor (aktivitas pengawasan), controller (supervisor), pengontrol (controller), pengawal (guard). Keahlian yang dimiliki dalam menjalankan peran pengawal ilmu pariwisata tidak lain high performance in tourism atau kinerja yang baik dalam penelitian, pendidikan maupun pengabdian kepada masyarakat.
Selanjutnya peran cendikiawan selaku penggerak pariwisata dengan klasifikasi sebagai inventor/originator (pencetus), researcher (peneliti), thinker (pemikir), penggiat (activator) dan motivator (penggerak). Tolok ukurnya tentu high scientific approach in tourism.
Cendikiawan pariwisata, lanjut Prof. Azril, memiliki kontribusi besar pada pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Kontribusi dicermati dari contributor (sumbangan pemikiran), evaluator/assessor/appraiser (penilai), analyzer (penganalisis), observer (pemerhati). Untuk mengimplementasikan peran ini dibutuhkan kemampuan high impact in tourism (dampak pariwisata), multiplier effect (pengaruh pengganda), servicescapes (lanskap layanan), zoning/landskap/spatial plans (zonasi/lanskap/ serta rencana tata ruang wilayah).
Prof. Azril menekankan cendikiawan memperjuangkan ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri karena ilmu pariwisata yang mampu menyediakan konsep dan teori untuk memahami pariwisata itu sendiri.
“Kajian pariwisata sebagai implementasi ilmu pariwisata bertujuan meningkatkan kapasitas SDM pariwisata untuk mengelola hospitality, transportasi, event maupun destinasi secara efektif. Disamping meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat setempat,” tegas Prof. Azril.
Prof. Azril menekankan batang tubuh keilmuan pariwisata ada empat dimensi, yakni hospitaliiti/keramahtamahan (akomodasi, kuliner dan hiburan), jasa perjalanan dan transportasi (jasa perjalanan, jasa transportasi), event (special event, business event atau MICE). Serta pengembangan maupun pengelolaan destinasi pariwisata dan daya tarik wisata. Fakta ini menjadi dasar argumentasi Prof. Azril mengklasifikasikan ilmu pariwisata sebagai bagian dari ilmu profesi dan terapan atau profession and applied sciences.
Keberadaan ilmu pariwisata setara dengan ilmu pertanian, arsitektur maupun bisnis serta yang lainnya. “Body of knowledge ilmu pariwisata bukanlah ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti anggapan orang selama ini tetapi rumpun ilmu yang mengkaji dan mendalami aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia alias applied sciences,” ujar Prof. Azril berapi-api meyakinkan peserta semiloka.
Lebih jauh, Prof. Azril melukiskan peta jalan ilmu pariwisata Indonesia. Pada tahun 2008, kajiannya lebih bersifat multidisipliner di mana melibatkan minimal dua disiplin akademik untuk menyelesaikan suatu masalah di bidang pariwisata secara bersama-sama. Mulai tahun 2015, kajian pariwisata bersifat interdisipliner, yakni mentransfer suatu disiplin akademik ke dalam disiplin akademik yang lainnya untuk menyelesaikan suatu masalah sehingga mampu memunculkan metode baru atau disiplin akademik yang baru. Sebut saja transfer pengetahuan pariwisata ke bidang akademik pertanian memunculkan istilah akademik baru yakni agrowisata.
Selanjutnya, mulai tahun 2022 ilmu pariwisata menggunakan kajian trandisipliner dalam hal ini pemangku kepentingan lain di luar akademisi seperti pelaku bisnis, pemerintah, masyarakat, maupun media dilibatkan sehingga penelitian pariwisata memiliki probalititas/kemungkinan dinggi untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Prof. Azril berharap, mulai tahun 2029 ilmu pariwisata memiliki kajian dengan pendekatan metamono disipliner, yakni fokus pasa satu disiplin akademik untuk menyelesaikan masalah tertentu. “Peta jalan ilmu pariwisata ini sangat bermanfaat dalam mencarikan solusi atas permasalahan pariwisata yang berubah dari waktu ke waktu,” tuturnya.
Perubahan tersebut sesuai dengan transformasi perilaku wisatawan dalam menikmati produk wisata. Semula wisatawan menikmati produk wisata sekadar untuk bersenang-senang (pleasure) saat aktivitas pariwisata masal menggejala dengan pendirian akomodasi mewah. Karena pariwisata masal disertai dampak negatif yang sangat banyak seperti menimbulkan pemiskinan masyarakat lokal mengingat eksploitasi sumber daya alam dan budaya bagi aktivitas pariwisata, pendekatan kajian beralih ke peningkatan perilaku wisatawan yang respek terhadap masyarakat lokal. Respek ini berkembang kearah pariwisata bertanggung jawab, dan pada masa pandemic covid-19 rasa aman dan perilaku hidup menjadi syarat utama orang berwisata.
Saat ini, diprediksi produk wisata yang diinginkan wisatawan yakni customized tourism mengingat wisatawan menginginkan produk yang sesuai dengan personal preferensinya atau special interest.
Bagaimana pun kompleksnya permasalahan dan seperti apa keinginan wisatawan serta bagaimana masyarakat setempat (host community) merespon aktivitas pariwisata. Semua itu membutuhkan peran dan fungsi akademisi/cendikiawan pariwisata untuk menyelaraskan melalui kajian dan penelitian. Semangat cendikiawan pariwisata dalam mewujudkan ilmu pariwisata sebagai ilmu terapan mesti tetap terjaga untuk masa depan pariwisata Indonesia.[T]