MELALUI akun Instagram Story-nya, Selasa (2/4/2024) malam, Kafka Massardi menyampaikan berita duka atas kepergian sang ayah, Yudhistira ANM Massardi—penyair, novelis, dan jurnalis yang aktif dan produktif. “Innalillahi wa innailaihi roijun. Telah wafat ayah kami Yudhistira Mulyana bin Massardi Selasa 2 April 2024,” tulis Kafka.
Sebagaimana keterangan Kafka, Yudhistira meninggal pada pukul 21.12 WIB di rumah sakit umum daerah (RUSD) Kota Bekasi. Dan kabar duka tersebut juga dikonfirmasi penulis Noorca Massardi, saudara kembar Yudhistira, sebagaimana dilansir dari Kompas TV.
“Innalilahi wainnailaihi raijun, Yudhistira ANM Massardi wafat selasa 02/04/24 Pukul 21.12 WIB di RSUD Bekasi,” kata Noorca dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas TV. “Mohon dimaafkan segala kesalahannya, semoga khusnul khotimah dan amal ibadah almarhum diterima Allah SWT,” sambungnya.
Sastrawan peyandang nama Yudhistira Adi Noegraha Moelyana (ANM) Massardi itu, lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Ia merupakan pengarang yang produktif. Sebagaimana telah disinggung di awal, selama karirnya menjadi penulis dan jurnalis senior di majalah Gatra, Yudhistira telah menghasilkan berbagai jenis karya, dari novel, puisi, naskah drama, hingga naskah sinetron.
Salah satu karya Yudhis—sebagaimana ia akrab dipanggil oleh karib-karibnya—yang terkenal adalah novel berjudul Arjuna Mencari Cinta yang dinobatkan sebagai novel bacaan remaja terbaik tahun 1977 dari Yayasan Buku Utama.
Kemudian, naskah dramanya Wot atawa lembatan dan Ke memenangkan Hadiah Harapan dan Hadiah Ketiga Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ 1977 dan 1978. Sedangkan novelnya yang berjudul Mencoba Tidak Menyerah (1979), menggondol hadiah penghargaan Sayembara Mengarang Roman DKJ (1977).
Setelah pensiunan dari majalah berita mingguan Gatra, Yudhis tetap produktif menulis puisi yang diposting di laman Facebook pribadinya. Pusi-puisi tersebut kemudian dibukukan dan ada yang mendapat anugrah sebagai buku kumpulan puisi terbaik.
Buku kumpulan puisi Yudhis yang diterbitkan, “Cerita Cinta dalam 99 Sajak (2015), “Jangan Lupa Bercinta (2017-2020), dan “Luka Cinta Jakarta” (2018). Selain puisi, Yudhis tetap menulis novel. Novel terakhir yang ia tulis berjudul “Penari Dari Serdang” (2019).
Dalam esainya yang pendek, yang diterbitkan di tatkala.co tahun lalu, seorang jurnalis dari Bali yang tinggal di Jakarta, Made Suarjana Sanggra, menyebut Yudhis memiliki energi yang tak habis-habis meski umurnya tak lagi muda.
Yudhis mampu “keliling ke kampus-kampus untuk membacakan puisi-puisinya, dalam acara bertajuk ‘Safari Sastra Yudhistira’. Teman seperjalanannya, selain sang istri, Siska, adalah Reny Jayusman. Reny, pemain teater dan film ini, membacakan puisi karya Mas Yudhis dalam acara tersebut.”
“Pada setiap daerah atau kampus yang menggelar safari sastra ini, penyair lokal dan mahasiswa dilibatlkan, entah sebagai panitia atau ikut membaca puisi. Biasanya juga dimeriahkan dengan musikalisasi puisi oleh grup musik setempat. Kemudian, setelah acara selesai, dilanjutkan dengan diskusi, atau bincang-bincang santai. ‘Aku berharap tahun depan bisa bersafari ke Bali,’ kata Mas Yudhis,” tulis Made Suarjana.
Menurut Suarjana, di masa “pensiun” sebagai pekerja media, Yudhis menyempatkan diri mengelola sebuah sekolah (awalnya) Taman Kanak-Kanak yang diberi nama Al-Ilmi. “TK ini lebih dikenal sebagai TK Batutis (Baca, Hitung, Tulis) gratis, dengan menerapkan metode Sentra. Tujuannya, membangun generasi baru yang berakhlak mulia, cerdas, bahagia, dan cinta belajar sepanjang hayat,” tulis Suarjana.
Awalnya, TK Batutis diperuntukkan bagi anak-anak tidak mampu. Peserta didik kebanyakan anak-anak pemulung, buruh, atau pekerja lepas lainnya, alias anak pinggiran. Mereka, selain tidak dikenakan biaya, juga mendapat makan sebagai asupan gizi. Namun, “dalam perkembangannya, aku sudah tidak bisa menggratiskan mereka lagi,” kata Yudhis kepada Suarjana.
Akmal Nasery Basral dalam obituarinya yang berjudul Mengenang Yudhistira Massardi (1954 – 2024)—Perginya Guru Besar Ilmu Biarin, mengungkapkan salah satu kehebatan almarhum. Selain sebagai atasan, Yudhis juga seorang mentor, kata Akmal.
“Meski dirinya sudah terkenal sebagai penyair nasional, tampil di pusat-pusat kebudayaan terkemuka, dan menerima banyak penghargaan, namun tetap bersahaja dan selalu mendorong para yunior untuk berkembang tanpa memberikan beban penugasan berlebihan. Bahkan Mas Yudhis rela mengorbankan family time di akhir pekan untuk melayani reporter ndableg seperti saya,” tulis Akmal.
Menurut keterangan Akmal, beberapa tahun belakangan, Yudhis memang bolak-balik ke RS akibat penyakit jantung yang dideritanya. “Sebuah akhir kehidupan yang seakan dinubuatkannya 50 tahun silam: … /kamu bilang hidup ini melelahkan/Aku bilang biarin/kamu bilang hidup itu menyakitkan.”
Melalui esainya, Akmal bersaksi bahwa Yudhis adalah salah seorang terbaik yang pernah ia kenal, “salah seorang guru terbaik tempat menimba ilmu jurnalistik dan penulisan, salah seorang pendengar terbaik tempat berkeluh kesah (terutama periode 1994 – 1998, selama Akmal di Gatra), serta salah seorang aktivis-penggerak pendidikan anak-anak terbaik di republik ini.”
Selamat jalan, sang Arjuna.[T]
Editor: Adnyana Ole