KISARAN tahun 1931 suasana Pelabuhan Buleleng begitu sibuk. Dari pelabuhan itu pengiriman barang terus bergerak, mulai dari pengiriman rempah rempah sampai pengiriman hasil ternak. Para perantau dari Bugis, Tionghoa, dan pribumi memadati suasana perdagangan waktu itu.
Suara gamelan iring-iringan melasti bercampur baur dengan suasana bising urban di Pelabuhan Buleleng. Colin McPhee, seorang komposer, pianis dan penulis berkebangsaan Kanada, saat itu masih berada di atas kapal layar yang akan berlabuh. Kebisingan di daratan itu membuat pandangannya terpaku ke arah iring-iringan melasti. Nada gamelannya sangat berbeda dengan nada musik yang dia pelajari waktu kuliah.
Layar kapal mulai diturunkan. Colin McPhee bersama istrinya, Jane Belo yang seorang anthropologist, bergegas turun dari kapal. Baju jas loreng hitam putih kesukaan Jane Belo sudah kelihatan kotor. Begitu pula baju kemeja putih dan celana linen pendek berkantong yang dikenakan Colin McPhee. Kaos kakinya pun sudah bau.
Mereka berdua membawa barang bawaannya, lengkap dengan kamera dan alat perekam lainnya. Dengan keringat yang bercucuran, dan bau amis ikan di mana-mana, mata Colin McPhee masih tertuju ke arah penabuh baleganjur yang masih melakukan kegiatan melasti di pantai.
Seorang ibu paruh baya bernama Fatimah, adalah penyedia jasa travel agent pertama di Bali. Beliau mengantar mereka berdua. Ibu Fatimah yang fasih berbahasa asing, menjelaskan mengenai kota Singaraja. Sementara pasangan tersebut menjelaskan tujuan mereka ke Bali, yaitu sebelumnya pernah melihat catatan mengenai seni dan kebudayaan dari seorang misionaris bernama Van der Tuuk, dan juga lukisan dari seorang seniman pertama yang tinggal di Bali bernama W.O.J Nieuwenkamp. Istrinya juga tertarik untuk meneliti kehidupan etnik masyarakat kota Singaraja.
Ketertarikan Colin McPhee mengenai musik, membuat ia bertanya tentang iring-iringan melasti yang dilihatnya tadi. Ibu Fatimah pun menjelaskan mengenai penabuh yang melakukan kegiatan melasti. Ia juga menceritakan seniman kerawitan yang sangat terkenal yang sedang memainkan gambelan kendang, bernama Gde Manik yang berasal dari Desa Jagaraga. Ia juga menceritakan seniman kerawitan Gde Lila yang berasal dari Jineng Dalem.
Tanpa pikir panjang, meskipun lelah dari perjalann menyeberangi lautan, keesokan harinya mereka memutuskan untuk mengunjungi seniman Gde Manik dan Gde Lila. Kebetulan mereka sedang berlatih gamelan bersama di Jagaraga.
Gde Lila menabuh terompong dan Gde Manik menabuh kendang. Istri Gde Manik, Mangku Ongko, sedang menarikan kebyar legong, yang merupakan cikal bakal tari Truna Jaya. Awalnya diciptakan oleh I Wayan Renders dan disempurnakan kembali oleh Gde Manik. Colin McPhee memasang alat perekam suara dan kamera video pada sebuah tripod kayu.
Rasa capek dari perjalanan jauh hilang rasanya ketika mendegarkan alunan gong kebyar yang dimainkan sekaha gong Jagaraga. Seolah mereka menemukan harta karun di utara pulau Bali, mereka mulai membuat catatatan catatan kecil yang akhirnya diterbitkan menjadi beberapa buah buku. Selain itu, Colin McPhee pun membuat garapan musik piano yang terinspirasi oleh karya seni gamelan tersebut.
Setelah ke Buleleng, mereka menetap di Ubud, di daerah Sayan, yang sekarang bernama Hotel Taman Bebek. Mereka berdua melanjutkan merekam kegiatan seni dan budaya di seluruh Bali sampai akhir tahun 1938.
Sepulang ke negaranya, rekaman musik, fotografi dan video rekamannya mulai menyebar di dunia Barat. Gamelan gong kebyar Gde Manik dan tarian Truna jaya Gede Manik disaksikan banyak orang di luar negeri. Hal itu membuat wisatawan di masa perang dunia II mengunjungi Bali. Sampai saat ini wisatawan tetap berkunjung ke Bali, karena kekagumannya akan seni, budaya, dan keindahan kehidupan masyarakat Bali. Mereka menyebutnya sebagai the last paradise. [T]
Lovina 1 April 2024