KUJUR, kata istri saya dalam bahasa Bali ketika menggambarkan sesuatu yang kencang dan bersih seperti uang kertas baru beredar di masyarakat atau pakaian yang telah disetrika rapi. Selama masa edar tidak selalu tangan siaga menjaga uang kertas tetap kencang dan tetap bersih. Tida sedikit uang kertas menjadi kumal dan kusam, dalam bahasa Bali disebut bera (baca: bêrê).
Bera menggambarkan sesuatu yang sedang dalam proses membusuk (yang berair atau mengeluarkan lendir) atau sesuatu tidak membusuk akan tetapi jauh di bawah kondisi awal. Bera untuk sesuatu yang mulai membusuk seperti jamur sudah lewat masa mekar, daun-daun, janur, bunga, sayuran, bulih (bibit padi siap tanam), dan buah-buahan. Selain uang kertas, sesuatu yang belum membusuk seperti daun yang diremas-remas hingga lembek maka disebut bera. Nasi yang membasi disebut demek, sedangkan makanan yang ditumbuhi jamur disebut maong atau oongen.
Tidak semua jamur yang sedang dalam proses membusuk dikatakan bera. Oong melinjo, jamur berbentuk bulat yang biasanya tumbuh di sekitar pohon melinjo dengan diameter 3 – 8 cm, tidaklah berair atau mengeluarkan lendir ketika sedang dalam proses membusuknya. Daging oong melinjo justru kering dan berhamburan seperti debu ketika dikupas atau meletus dengan sendirinya. Setengah membusuk yang mengering untuk oong melinjo disebut buwu.
Buwu disebutkan juga untuk sedang membusuknya oong tain sampi yaitu jamur berbentuk bulat kecil berwarna putih bersih yang tumbuh pada kotoran sapi yang sudah sempat mengering dan disebar di lahan lembap. Namun proses membusuknya oong tain sampi jenis lain yang tumbuh dengan batang dan daun disebut bera, sebab setengah membusuknya justru berair. Setengah membusuk lainnya ada yang disebut sangi untuk umbi-umbian seperti umbi ketela pohon dan umbi ketela rambat.
Jamur yang bera dan buwu tidak layak dimasak untuk disantap. Umbi yang sangi masih bisa dimasak dan disantap, hanya saja cita rasanya sangat jauh dari umbi yang masih segar. Terpaksa disantap, hitung-hitung menyantap gorengan sengauk (nasi aking atau yang sejenisnya).
Duh, serba setengah yang kurang atau tidak enak dinikmati. Tidak selalu. Ada juga setengah yang nikmat, yaitu mengguh. Mengguh memiliki dua pengertian yaitu setengah matang direbus dan sejenis bubur ayam. Mengguh yang bubur ayam ini sejak masih kanak-kanak saya kenal dari seseorang yang bernama Komang Deg, teman seperjuangan ayah saya sesama petani penggarap.
Mengguh versi Komang Deg adalah makanan berbahan pokok beras dan daging ayam kampung dengan bumbu cenderung pedas. Sekali pembuatan mengguh dibutuhkan 500 gram beras, satu ekor ayam kampung yang masih muda dengan berat hidup kurang dari 1 kg, satu liter air, dan bumbu secukupnya yaitu cabai, garam, terasi, buah limau, minyak kelapa, daun salam, bawang putih, kencur, dan bangle.
Proses membuat mengguh tidaklah rumit. Setelah dicuci bersih, beras direbus direbus dalam satu liter air. Daging ayam kampung dipotong-potong seukuran satu ruas ibu jari tangan. Cabai, bawang putih, kencur, bangle dirajang lalu diremas-remas (bejek atau indel dalam bahasa Bali) bersama garam, terasi, air buah limau, daun salam, dan minyak kelapa. Daging ayam dan bumbu dimasukkan ke beras yang direbus begitu air rebusan beras mulai mendidih.
Mengguh disajikan hangat-hangat untuk dinikmati ketika beras dan daging ayam sudah setengah matang. Mengguh versi Komang Deg ini menu yang jarang aromanya ada di dapur, dibutuhkan hanya untuk mengembalikan stamina tubuh yang menurun ketika tubuh terasa meriang atau pilek menyerang. Ada peluang menawarkan mengguh ini kepada penyuka kuliner bercita rasa pedas dengan promosi menjaga atau meningkatkan stamina penikmatnya.
Bubur sejenis mengguh adalah kalimoto, ada yang menyebutnya klemoto. Daging ayam kampung pada bubur ayam mengguh diganti dengan sayuran seperti daun katuk atau daun kelor maka disebut kalimoto. Proses pembuatan kalimoto hampir sama dengan pembuatan mengguh. Bumbu bubur kalimoto dimasukkan setelah beras hampir setengah matang, beberapa saat kemudian disusul memasukkan sayuran agar sayuran tidak sampai lepah atau lebih dari setengah matang.
Bisa jadi karena tidak terbiasa merebus sayuran dan telur hanya sampai setengah matang maka mengguh dengan pengertian setengah matang direbus tidak lazim dialamatkan untuk sayuran dan telur setengah matang yang direbus. Mengguh lazim untuk beras, ubi, jagung, dan kacang setengah matang direbus. Tidak juga disebut mengguh untuk beras dikukus yang sudah setengah matang dan siap diarun, akan tetapi disebut sedeng aru.
Ketika proses belum tuntas, setengah jadi, atau setengah perjalanan, dikatakan apa dalam bahasa Bali? Setahu saya dikatakan mingtengah atau mara mingtengah, dan yang setengah-setengah tidak dituntaskan dikatakan nenga-nenga.
Kujur, bera, buwu, sangi, mengguh, aru, mingtengah, dan nenga-nenga adalah kruna mider, kata yang digunakan ketika manatya maupun madegag dalam berbahasa Bali. Memang mingtengah itu sebagian atau setengah, sementara nenga-nenga itu atenga-atenga atau setengah-setengah. Meski setengah itu atenga, dan atenga itu asigar, akan tetapi mingtengah itu bukan mingsigar, dan nenga-nenga itu bukan nyigar-nyigar.[T]
- BACA artikel lain dari penulisKOMANG BERATA