MENDENGAR kata ‘menabung’, Made Merta jadi teringat lagu lawas yang sangat populer ketika dia masih kanak-kanak dulu. Kalau dia tidak salah, begini liriknya:
“…Bing beng bang, yuk kita ke bank. Bang bing bung, yuk kita nabung. Tang ting tung, hey jangan dihitung. Tau-tau kita nanti dapat untung…”
Generasi milenial pasti tahu dong lagu itu. Ya, itu adalah lagu berjudul Menabung karya Titiek Puspa. Lagu itu diciptakan tahun 1996 dan dipopulerkan oleh penyanyi cilik saat itu: Geofanny dan Saskia. Mereka membawakannya dengan asyik dan ceria. Isinya tak lain dan tak bukan, ajakan untuk menabung.
Selain teringat lagu, kata ‘menabung’ juga membuat Made Merta terkenang akan masa-masa dia SD dulu. Di SD-nya dulu ada 6 ruang kelas. Dinding-dindingnya memang kusam, namun sarat pesan. Di sana tertempel kertas-kertas manila penuh kata-kata bijak dan mulia, berbunyi “Mari Gemar Menabung”, “Menabung Untuk Bekal Masa Depan”, “Hemat Pangkal Kaya”, dan sejenisnya; Menghiasi semua sisi, ditulis dengan penuh penghayatan dan penuh jiwa seni, sangat persuasi.
Kemudian saat SD juga, di akhir masa kelas VI, setelah Ebtanas, Made Merta ikut tamasya. Lokasinya di Kebun Raya Bedugul yang sejuk, nun di Tabanan sana. Sedih dia lantaran setelah ini harus berpisah dengan kawan-kawannya, melanjutkan ke SMP yang berbeda-beda, namun juga senang. Pasalnya, dia naik bus, tidak usah bayar. Tiket masuk tidak usah bayar. Makan dan minum juga tidak bayar. Rupanya segala ongkos sudah diambil dari tabungan, tak perlu lagi keluar uang. Ah, sungguh menyenangkan.
Di rumah pun, saat kecil dulu, Made Merta punya tabungan. Sisa uang saku Rp50, Rp100, atau Rp500 dia masukkan ke sebuah celengan. Celengan Made Merta terbuat dari tanah, berwarna cokelat dan gendut seperti ceret, hanya saja tidak ada moncongnya. Dia isi dengan tekun setiap hari. Sekeping demi sekeping, selembar demi selembar. Kian lama celengan Made Merta kian berisi dan berat.
“Ternyata benar kata pepatah, sedikit demi sedikit, dua-tiga pulau terlampaui!” serunya kala itu dengan penuh gairah, tak sadar dia pepatahnya salah.
Lalu pada Umanis Galungan, celengan itu dia pecahkan. Memecahkannya tidak sembarangan, tidak dengan cara dibanting hingga pecah berkeping-keping, melainkan dengan dipukul bagian bawahnya, pelan-pelan, menggunakan palu kecil. Dia pecahkan sedikit saja, membentuk lubang. Dengan begitu, celengan itu bisa dia gunakan lagi. Setelah isinya dikuras, tinggal tambal lubang tadi dengan kertas. Biasanya pakai kertas tebal bekas pembungkus Baygon bakar; Biar hemat.
Uang yang terkumpul, yang membuat kantong Made Merta melendung bak perut kucing bunting, dia gunakan untuk membeli baju baru. Belinya di Tiara Dewata, mall termegah di Denpasar kala itu. Memecahkan celengan adalah ritual spesial di hari raya yang selalu dia tunggu-tunggu. Baginya, hari raya belum berasa kalau belum beli baju baru.
Segala kenangan-kenangan itu menempel di otak Made Merta, membentuk persepsi bahwa menabung adalah sesuatu yang positif dan menyenangkan. Ketika mendengar kata ‘menabung’, di sanubarinya akan melintas perasaan gembira, asyik, ceria, indah, seru, untung, banyak uang. Dalam kamus Made Merta, menabung adalah menyisihkan sebagian uang untuk disimpan, yang suatu saat nanti akan digunakan untuk membeli impian. Setelah dewasa Made Merta mengerti, menabung ternyata masih bersaudara dengan kesederhanaan dan kesahajaan.
Namun demikian, meski Made Merta tahu menabung itu baik, kebiasaan menabung tidak serta-merta terbawa sampai ketika dia sudah berumah tangga. Setelah menikah dan punya anak, menabung dirasanya berubah menjadi sesuatu yang sulit. Lebih sulit daripada soal tes CPNS yang dia hadapi tempo hari di kantor BKN. Ya, menyisihkan sedikit uang dari penghasilannya yang sudah sedikit bukanlah perkara mudah. Jika kau ingin tahu, kini Made Merta tidak punya tabungan sepeser pun. Tragis memang.
Made Merta merasa kehidupan setelah berkeluarga tidak semudah masa kanak-kanak dulu. Pada masa itu kita masih bisa, orang Bali bilang, natakin lima alias meminta kepada orang tua; Biaya sekolah, tinggal minta. Ingin beli apa-apa, tinggal bilang. Kita belum mengenal kata ‘tanggung jawab’. Orang tualah yang menanggung, kita hanya menjawab. Yang perlu kita lakukan hanya mengikuti perintah orang tua. Betapa menyenangkan menjadi kanak-kanak.
Made Merta yakin itulah alasan mengapa lagu-lagu bertema menabung kebanyakan dinyanyikan oleh anak-anak; juga slogan-slogan ajakan menabung ditempel di sekolahan, bukan di kantoran. Mungkin maksudnya supaya kita menabung sejak kecil, sejak sebelum punya tanggung jawab keuangan.
Nah, setelah berkeluarga, semua jadi berbeda. Pengeluaran merajalela. Kebutuhan membengkak dan serba mendesak. Bayar kontrakan, bayar cicilan kendaraan, bayar arisan, bayar uang kebersihan, bayar listrik, bayar SPP, beli buku, susu, tisu, beras, gas, minyak, sayur, lauk-pauk, sabun, BBM, pulsa, kuota, dan lain sebagainya. Di ATM, uang gaji bak cairan alkohol: cepat sekali menguap.
Terlebih Made Merta adalah orang Hindu-Bali dengan seabrek kegiatan adat dan agama, baik di keluarga, di banjar, maupun di desa. Semua kegiatan itu sudah barang tentu menimbulkan pengeluaran, seperti bayar piturunan, bayar pangepok, bayar dedosan, bikin banten setiap rahinan, menyama braya, potong babi, biaya ngaben, dan lain sebagainya. Semua jadi sulit dan rumit tatkala penghasilan sedikit. Kalau begitu ceritanya, jangankan menyisihkan sedikit uang untuk ditabung, bisa tidak berutang saja Made Merta sudah merasa tenteram.
“Sentosalah kalian yang belum menjadi orang tua,” desahnya pada suatu hari kepada murid-murid zaman now yang hedonis.
Di media daring Made Merta sempat membaca sepotong artikel. Tertulis di sana, sebagian besar penabung sepakat bahwa minimal tabungan dan investasi adalah 10% dari penghasilan. Menarik, pikirnya.
Para pakar finansial punya pendapat lebih brilian. Menurut mereka, bagian penghasilan yang harus disisihkan untuk ditabung setiap bulan adalah 30%. Menurut mereka pula, kalau kita bisa menabung 30% dari penghasilan per bulan, peluang pensiun dengan tenang semakin mendekati kenyataan. Luar biasa!
Made Merta merasa tulisan itu sangat renyah dan ringan macam kerupuk. Teori-teori dan tips-tips yang dihadirkan yahud. Ide-ide cemerlang dari para ahli keuangan itu sukses membuatnya termotivasi. Dia tercerahkan! Membacanya membuat Made Merta tiba-tiba merasa optimis dan penuh harapan. Langsung saja di kepalanya terbayang masa depan yang mapan, gilang-gemilang, jauh dari yang namanya kekurangan.
Amboi, pakar finansial sungguh merupakan profesi yang mengagumkan. Sebuah profesi cerdas yang bisa menuntun umat manusia menata masa depan yang lebih baik. Hanya orang-orang yang diberkati Tuhan dengan IQ tinggi yang bisa menjadi pakar finansial. Mereka adalah orang-orang kritis dan penuh analisa. Lulusan cumlaude fakultas ekonomi perguruan tinggi luar negeri pastinya.
Hanya saja, bayangan masa depan yang mapan dan gilang-gemilang itu dalam sekejap sirna, Made Merta menemukan satu kendala: dari mana mendapatkan 10% ataupun 30% untuk ditabung? Bukankah uang selalu habis, bahkan sudah habis sebelum dia terima? Oh, my god! Padahal hidupnya sudah sangat irit, jauh lebih irit daripada Ibu Menteri Keuangan republik ini. Made Merta jadi paham, berteori adalah satu hal dan bagaimana mempraktikkannya adalah hal lain.
Tetapi untunglah Made Merta punya anak sudah kelas 3 SD. Rajin betul anak lanangnya itu menabung di sekolah, padahal Made Merta tidak pernah mengajari. Mungkin di kelasnya juga ada slogan-slogan persuasif berisi ajakan untuk menabung seperti di kelas bapaknya saat SD dulu. Atau jangan-jangan dia terinspirasi lagu ‘Menabung’ karya Titiek Puspa yang dinyanyikan Saskia dan Geofanny? Entahlah. Apapun itu, Made Merta senang.
Setiap hari Made Merta memberi anaknya Rp2000, Rp5000, terkadang Rp10000, untuk ditabung. Sampai buku tabungannya penuh dan harus diganti. Ketika sudah kelas 6 nanti, uang tabungan itu bisa dipotong oleh sekolahnya untuk ongkos bertamasya ria ke Bedugul, pikir Made Merta.
Di rumah, sang anak juga punya celengan. Bukan dari tanah melainkan dari bahan kaleng, bergambar superhero. Tiap malam ketika tidur, celengan itu selalu dia peluk. Betapa Made Merta bangga dengan anaknya yang semata wayang. Diam-diam, Made Merta ingin sekali kelak dia bisa menjadi seorang pakar finansial, yang cerdas, terkenal, dan pandai berteori. Jangan seperti bapaknya yang hanya seorang guru. Sudah miskin, honorer pula![T